Suara.com - Pakar hukum pidana Prof Hibnu Nugroho optimistis wacana legalisasi ganja untuk medis bakal terealisasi di Indonesia.
"Saya melihatnya optimistis karena hukum harus merespons kebutuhan masyarakat," kata Hibnu ketika dihubungi Antara di Jakarta, Kamis (7/7/2022).
Ia mengemukakan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, menjawab perubahan zaman, serta mampu melayani masyarakat (lex progresif).
"Hukum harus progresif, ada untuk kepentingan manusia," kata Guru Besar Hukum Acara Pidana itu.
Baca Juga: Pro dan Kontra Ganja Medis untuk Kesehatan: Dari Klaim Manfaat Hingga Risiko Legalisasi
Karena merupakan pengecualian, menurut dia, regulasi ganja untuk pengobatan harus memuat batasan yang jelas sehingga kekhawatiran akan penyalahgunaannya bisa mengantisipasinya.
"Ini dibutuhkan untuk kepentingan pengobatan, batas-batas sudah dikoordinasikan dengan tim medis," ujar Hibnu.
Diterangkan bahwa rumusan pidana harus dimaknai tegas tanpa ada analogi atau lex stricta. Regulasi, lanjut Hibnu, tidak bisa ditafsirkan sembarangan karena untuk obat-obatan berbahaya itu orang medis yang tahu.
Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto itu tak menyangkal ada kendala dalam proses legalisasi ganja untuk kepentingan medis.
Hibnu mengutarakan bahwa kelahiran suatu aturan berpotensi memunculkan oknum penyalahgunaan dari ketentuan kekhususan. Oleh karena itu, parameternya harus jelas.
Baca Juga: Jangan Legalisasi Ganja Walau untuk Medis, Ini Kata Guru Besar Farmasi UGM
"Saya sepakat tetapi harus ada suatu kepastian yang bisa diberikan sehingga tafsirnya tidak terlalu luas, kemudian ada penyalahgunaan," ujar dia.
Sementara itu, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Narkotika memasukkan ganja dalam golongan satu.
"Saya yakin pihak paramedis paham manfaat dari ganja. Akan tetapi, manfaat dan dampak perlu ditimbang-timbang apakah memang manfaat ganja lebih banyak daripada kurang banyak," kata Tubagus Erif Faturahman.
Apalagi, kata dia, Badan Narkotika Nasional (BNN) menilai ganja di Indonesia berbeda dari luar negeri dan tingkat bahayanya lebih banyak.
"Pihak medis tahu ganja ada manfaatnya. mereka pikir kalau ada pengobatan konvensional, itu dahulu sehingga tidak perlu ganja," ujar Erif.
Erif mengakui peliknya upaya melegalkan ganja untuk keperluan pengobatan sehingga Pemerintah mengkaji kembali manfaat ganja untuk kepentingan medis.
Kali ini, lanjut dia, tidak hanya melibatkan Kementerian Kesehatan dan ahli medis, tetapi juga ahli tumbuh-tumbuhan dan sosiolog. "Tuntutan dari DPR akan dibuka lagi kajian, MUI mendukung kajian lebih dalam," kata Erif. (Antara)