Mayoritas Warga Arab Percaya Demokrasi Justru Melemahkan Ekonomi

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 06 Juli 2022 | 23:11 WIB
Mayoritas Warga Arab Percaya Demokrasi Justru Melemahkan Ekonomi
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Orang-orang di jazirah Arab kehilangan kepercayaan pada demokrasi, menurut sebuah survey terbaru. Demokrasi semula diharapkan bisa mewujudkan stabilitas ekonomi di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Hampir 23.000 orang di sembilan negara, termasuk Palestina, diwawancarai oleh Arab Barometer untuk BBC News Arabic. Sebagian besar dari mereka setuju dengan pernyataan bahwa ekonomi justru melemah di bawah demokrasi.

Temuan itu muncul lebih dari satu dekade setelah gerakan Revolusi Arab (Arab Spring) menyerukan perubahan yang demokratis.

Kurang dari dua tahun setelah demonstrasi besar-besaran itu, hanya satu negara, yaitu Tunisia, yang tetap menjadi negara demokrasi. Namun, sebuah rancangan undang-undang berpotensi mendorong negara itu kembali ke otoritarianisme.

Baca Juga: Ukraina Diserang: Kisah Jurnalis BBC di Garis Depan Pertempuran

Direktur Arab Barometer, Michael Robbins, mengatakan telah terjadi perubahan pandangan tentang demokrasi di jazirah Arab, sejak survei terakhir mereka pada tahun 2018-2019.

Robbins merujuk pada hasil survei yang dilakukan antara akhir tahun 2021 sampai musim semi 2022. Arab Barometer bekerja sama dengan sejumlah universitas dan lembaga jajak pendapat di Timur Tengah dan Afrika Utara.

"Ada paham yang berkembang bahwa demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan yang sempurna dan tidak akan memperbaiki segalanya," kata Robbins.

"Yang kami lihat di seluruh wilayah ini adalah orang-orang kelaparan, orang-orang membutuhkan roti, orang-orang frustrasi dengan sistem yang mereka miliki," tuturnya.

Baca juga:

Baca Juga: Duh! Dianggap Menyebarkan Berita Palsu, Rusia Batasi Akses Situs BBC dan Radio Liberty

Di sebagian besar negara yang disurvei, rata-rata lebih dari setengah responden setuju dengan pernyataan bahwa ekonomi melemah di bawah sistem demokrasi.

Di setiap negara yang disurvei, lebih dari setengah responden juga setuju atau sangat setuju bahwa mereka lebih mementingkan efektivitas kebijakan pemerintah daripada jenis pemerintahannya.

Menurut Indeks Demokrasi EIU, kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara memiliki peringkat terendah dari semua wilayah yang tercakup dalam indeks.

Israel digolongkan sebagai negara dengan "demokrasi yang tidak sehat", Tunisia dan Maroko digolongkan sebagai "rezim campuran", dan sisanya, dikategorikan sebagai negara "otoriter".

Di tujuh negara dan Palestina, lebih dari separuh responden setuju dengan pernyataan bahwa negara mereka membutuhkan seorang pemimpin yang dapat "melanggar aturan" untuk menyelesaikan sesuatu.

Hanya di Maroko, kurang dari setengah responden setuju dengan pernyataan itu. Namun, ada juga sebagian besar yang tidak setuju dengan pernyataan itu, yaitu di Palestina, Yordania, dan Sudan.

Di Tunisia, 8 dari 10 responden setuju dengan pernyataan itu dan 9 dari 10 orang mengatakan mereka mendukung keputusan Presiden Tunisia, Kais Saied, untuk membubarkan pemerintahan dan menangguhkan parlemen pada Juli 2021.

Padahal tindakan Saied itu mendapatkan kecaman dari lawan-lawannya politiknya karena dianggap bentuk kudeta. Namun dia berdalih langkah hal itu dibutuhkan untuk merombak sistem politik yang korup.

Tunisia adalah satu-satunya negara yang berhasil membentuk pemerintahan demokratis yang langgeng, setelah Revolusi Arab tahun 2011. Namun, Tunisia tampaknya tergelincir kembali ke pemerintahan otoriter di bawah Presiden Saied.

Menurut indeks demokrasi EIU 2021, Tunisia turun 21 peringkat dan telah diklasifikasikan sebagai negara dengan "rezim campuran", bukan lagi "demokrasi yang tidak sehat".

Survei di Tunisia dilakukan antara Oktober dan November 2021. Sejak survei itu telah terjadi beberapa demonstrasi terhadap Saied setelah dia membubarkan parlemen, mengambil kendali komisi pemilihan, dan mendesak referendum terhadap undang-undang baru.

Banyak kalangan menyebut otoritasnya meningkat. Pada saat yang sama, ekonomi Tunisia semakin tenggelam menuju krisis.

"Sekarang, sayangnya, Tunisia kembali ke otoritarianisme atau yang kita sebut kemunduran demokrasi, yang merupakan tren di seluruh dunia saat ini," kata Amaney Jamal, salah satu pendiri Arab Barometer, sekaligus dekan School of Public and International Affairs, Princeton University.

"Saya pikir salah satu pendorong utama bukanlah komitmen terhadap otoritarianisme atau budaya politik otoriter. Itu murni keyakinan bahwa sekarang demokrasi telah gagal dalam konteks ekonomi di Tunisia."

Situasi ekonomi dipandang sebagai tantangan paling mendesak bagi tujuh negara dan Palestina. Setelah isu ekonomi, persoalan berikutnya adalah korupsi, ketidakstabilan politik, dan penyebaran Covid-19.

Hanya di dua negara situasi ekonomi tidak dilihat sebagai masalah yang paling penting. Irak, dengan korupsinya, dan di Libya yang dilanda perang saudara, dengan ketidakstabilannya.

Setidaknya satu dari tiga orang di setiap negara yang disurvei setuju dengan pernyataan bahwa selama setahun terakhir, mereka kehabisan makanan sebelum mereka memiliki cukup dana untuk membeli makanan berikutnya.

Perjuangan untuk mendapatkan makanan paling terasa di Mesir dan Mauritania. Dua dari tiga orang di negara itu menyebut kesulitan mendapatkan makanan kerap atau bahkan sering.

Survei tersebut sebagian besar dilakukan sebelum invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022. Perang itu semakin memperburuk kerawanan pangan di seluruh kawasan Arab, terutama untuk Mesir, Libya, dan Tunisia yang sangat bergantung pada ekspor gandum dari Rusia dan Ukraina.

Responden survei yang mengaku tidak mampu membeli makanan kurang mendukung demokrasi. Mereka adalah warga Sudan, Mauritania, Maroko, dan sejumlah negara lainnya.

Prospek ekonomi di seluruh jazirah Arab suram. Tidak sampai setengah dari total responden bersedia menyebut bahwa situasi ekonomi di negara mereka baik-baik saja.

Lebanon berada di peringkat terendah dari semua negara dalam survei. Kurang dari 1% orang Lebanon yang disurvei mengatakan bahwa situasi ekonomi saat ini baik dari era sebelumnya.

Bank Dunia menilai krisis ekonomi Lebanon sebagai salah satu yang paling parah di dunia sejak pertengahan abad ke-19.

Secara keseluruhan kebanyakan responden tidak berharap situasi ekonomi di negara mereka akan membaik dalam beberapa tahun ke depan.

Namun, ada sedikit optimisme. Di enam negara, lebih dari sepertiga warga yang disurvei mengatakan situasinya akan lebih baik atau agak lebih baik dalam dua hingga tiga tahun mendatang.

Terlepas dari gejolak ekonomi yang saat ini melanda Tunisia, responden dari negara itu adalah yang paling memiliki harapan tentang masa depan. Sebanyak 61% responden mengatakan segalanya akan jauh lebih baik atau agak lebih baik dalam beberapa tahun.

Masa depan itu "tidak pasti", kata Dr Robbins dari Arab Barometer.

Warga di jazirah Arab mungkin mencari sistem politik alternatif, seperti model China—sistem satu partai yang otoriter—yang diklaim telah membawa banyak orang keluar dari kemiskinan dalam 40 tahun terakhir.

"Jenis pembangunan ekonomi yang cepat itulah yang dicari banyak orang," kata Robbins.

Tabahan jurnalisme data oleh Erwan Rivault.

Metodologi

Survei dilakukan oleh jaringan penelitian, Arab Barometer. Proyek ini mewawancarai 22.765 orang secara tatap muka, di sembilan negara, termasuk Palestina.

Arab Barometer adalah jaringan penelitian yang berbasis di Universitas Princeton. Mereka telah melakukan survei seperti ini sejak 2006. Wawancara dilakukan selama 45 menit, yang sebagian besar menggunakan tablet, oleh para peneliti dengan peserta di ruang pribadi.

Penelitian itu berbasis opini warga jazirah Arab, jadi tidak termasuk Iran, Israel, atau Turki, meskipun Palestina masuk dalam jajak pendapat ini. Sebagian besar negara di kawasan itu dilibatkan, tapi beberapa pemerintah di wilayah Teluk itu menolak akses penuh dan adil terhadap survei.

Hasil survei di Kuwait dan Aljazair datang terlambat untuk dimasukkan dalam liputan BBC Arabic. Suriah tidak bisa diikutsertakan karena akses yang sulit.

Untuk alasan hukum dan budaya, beberapa negara meminta untuk tidak mengikutsertakan beberapa pertanyaan. Pengecualian ini diperhitungkan saat mengungkapkan hasil, dengan batasan yang diuraikan dengan jelas.

Anda dapat mengetahui detail lebih lanjut tentang metodologi survei di situs Arab Barometer.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI