Suara.com - Asosiasi penyelenggara haji dan umrah menuntut pengaturan yang lebih terperinci tentang pelaksanaan pemberangkatan haji di luar kuota pemerintah, tapi Kementerian Agama berkukuh itu bukan kewenangan mereka.
Tanpa pengaturan yang terperinci, menurut Ketua Syarikat Penyelenggara Umrah dah Haji (SAPUHI) Syam Resfiadi, membuat implementasi di lapangan penyelewengan dan penipuan.
Masalah haji nonkuota menjadi sorotan ketika sebanyak 46 jemaah haji Indonesia jalur khusus ini dideportasi dari bandara Jeddah, Arab Saudi, akhir pekan lalu sebab visanya menyalahi aturan.
Baca juga:
Baca Juga: Banjir Pujian Pelaksaan Haji, Menteri Agama: Ini Kebanggaan Bagi Bangsa dan Negara
- Pemerintah tetapkan biaya haji 2022 Rp39,8 juta, apa saja rinciannya?
- Biaya haji 2022: 'Saya sudah prediksi akan naik, tapi saya kaget tambahannya sebesar itu'
- Calon jemaah haji dibatasi usia 65 tahun: 'Kecewa sudah ditunda dua tahun, sekarang ada pembatasan'
Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas memastikan akan memberi sanksi bagi travel haji yang menipu dengan menggunakan visa tidak resmi, seraya menegaskan "mempermainkan keinginan ibadah orang itu dosa besar"
Adapun kuota haji Indonesia dalam penyelenggaraan haji tahun ini mencapai lebih dari 100.000, setelah selama dua tahun vakum akibat pandemi Covid-19. Dari total jumlah itu, sebanyak 92.825 adalah haji reguler, sedangkan 7.226 adalah haji khusus.
Menjelang pelaksanaan wukuf sebagai puncak ibadah haji di Arab Saudi pada Jumat (08/07), sebanyak 4.000 calon haji Indonesia gagal berangkat tahun ini. Mereka adalah jemaah haji yang menggunakan visa di luar kuota yang dimiliki pemerintah.
Di bawah ini adalah beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentang haji furada.
46 jemaah haji dideportasi
Arab Saudi menetapkan kuota haji tahun ini satu juta jemaah, 85% adalah jemaah internasional dan selebihnya jemaah dalam negeri.
Baca Juga: Pelaksanaan Haji 2022 Banjir Pujian, Gus Men Ingatkan Jangan Cepat Puas
Berkurangnya kuota ini menambah waktu tunggu bagi para jemaah haji Indonesia. Kondisi ini menyebabkan ada yang mencoba menempuh jalur cepat menuju tanah suci yang ditawarkan oleh oknum-oknum tertentu yang menawarkan jalan pintas.
Pelaksanaan haji tahun ini diwarnai dengan insiden 46 haji yang mendarat di bandara internasional King Abdulaziz di Jeddah, Arab Saudi pada Kamis (30/07) dini hari, terpaksa dideportasi dan dipulangkan ke Indonesia.
Rencana untuk menunaikan rukun Islam yang ke-lima, akhirnya pupus.
Kementerian Agama mengatakan mereka tak lolos proses imigrasi sebab visa yang mereka bawa tidak ditemukan dalam sistem imigrasi Arab Saudi.
Mereka berangkat ke Arab Saudi dengan penerbangan reguler, menggunakan visa dari Singapura dan Malaysia.
"Setelah kami telusuri tim kami di bandara Jeddah melihat mereka ini menggunakan visa yang diperoleh dari Singapura, dan ternyata visa ini visa palsu," kata Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus di Kementerian Agama, Nur Arifin.
Travel agen fiktif
Mereka disebut diberangkatkan oleh agen travel PT Alfati Indonesia Travel yang berbasis di Lembang, Kabubaten Bandung Barat di Jawa Barat.
Kantor kementerian agama tempat travel yang memberangkatkan 46 jemaah haji dengan iming-iming kuota undangan raja Arab Saudi ini tidak terdaftar di Kementerian Agama sebagai Lembaga penyelenggara haji khusus.
Dari hasil penelusuran Kementerian Agama Kabupaten Bandung Barat, didapati kantor PT Alfati Indonesia Travel yang berada di Kawasan Lembang, Bandung Barat, diketahui memiliki alamat palsu.
"Bisa dipastikan [fiktif] karena memang di data penyelenggara ibadah haji khusus, yang ada datanya di kantor wilayah Kementerian Agama Jawa Barat, tidak ada muncul nama Alfati sebagaimana dimaksud," ujar kepala seksi penyelenggaraan haji dan umrah Kementerian Agama Kabupaten Bandung Barat, Didin Saepudin, kepada wartawan di Bandung, Yuli Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Kami mensinyalir kemungkinan bahwa PT Alfati ini hanya biro perjalanan wisata saja," imbuhnya.
Modus penipuan?
Lebih jauh, Didin memandang apa yang dilakukan oleh agen travel itu adalah "penipuan".
"Minimal mereka berbisnis dan mengabaikan aturan-aturan," ungkapnya.
Berbeda dengan jemaah haji reguler yang dikelola pemerintah, haji furoda yang diberangkatkan dengan visa mujamalah, tak disertai dengan layanan lengkap. Para jemaah haji furoda melakukan ritual haji secara mandiri.
Pemberangkatan haji dengan visa jalur khusus ini sudah dilakukan selama bertahun-tahun, kata Ketua Syarikat Penyelenggara Umrah dah Haji (SAPUHI) Syam Resfiadi, namun kali ini penyelewengan terjadi ketika terjadi pemalsuan visa elektronik.
"Itu visanya palsu. Jadi bukan saja penipuan keberangkatan tapi juga penipuan dokumentasi dan pidana sekali," jelas Syam kepada BBC News Indonesia.
Sanksi tegas tapi problematis
Pascapemulangan 46 jemaah haji, Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas memastikan akan memberi sanksi bagi travel haji yang menipu dengan menggunakan visa tidak resmi, seraya menegaskan mempermainkan keinginan untuk melakukan ibadah di tanah suci adalah "dosa besar".
"Kita akan berikan sanksi yang saya kira yang paling tegas bagi mereka, karena tidak boleh mempermainkan nasib orang," ujar Yaqut di tengah pelaksanaan ibadah haji di Makkah, Arab Saudi, Senin (05/06).
Didin Saepudin dari Kementerian Agama Kabupaten Bandung Barat, Didin Saepudin menambahkan sanksi yang dilakukan bagi penyelenggara ibadah haji khusus yang terbukti melakukan penyelewengan adalah pencabutan izin.
"Permasalahannya kan dicabut izin itu harus yang berizin, ini enggak berizin," cetusnya.
Ia mengimbau agar jemaah atau calon jemaah haji yang merasa dirugikan oleh PT Alfati dan travel agen serupa, untuk melaporkannya agar bisa ditindak lanjuti.
Namun, memprosesnya ke ranah hukum, kata Didin, "bukan ranah kami".
"Harus ada yang lapor, kalau dari sisi hukum yang melapor itu harus punya legal standing."
"Kalau tidak ada pengaduan, proses [hukum] belum bisa berjalan."
Senada, Kapolres Cimahi, AKBP Imron Ermawan, mengatakan mereka baru bisa memproses indikasi penipuan yang terjadi, jika ada laporan.
Insiden berulang
Insiden calon haji Indonesia dideportasi terjadi empat tahun lalu pada 2018, ketika 116 calon haji ditahan aparat Arab Saubi saat hendak menunaikan ibadah haji tanpa prosedur resmi.
Sebagian besar dari 116 WNI ini memegang visa kerja, sementara sisanya menggunakan visa umrah dan ziarah.
Baca juga:
- Ingin berhaji secara tidak resmi, 116 WNI ditangkap aparat Arab Saudi
- Main curang di Rumah Tuhan : Kisah-kisah terluputkan dari perjalanan haji
- Tanpa pengawasan, penambahan sejuta kuota haji Indonesia 'tidak cukup'
Sebelumnya, pada 2016 silam, pihak berwenang Filipina menangkap 177 WNI calon jemaah haji pengguna paspor palsu.
Selain bersiasat berangkat ke Arab Saudi melalui Filipina, mereka mengakali dengan menggunakan visa selain visa haji, seperti visa ummal (pekerja), visa tijari (pedagang), atau visa mujamalah (visa haji yang diperoleh melalui undangan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi di luar kuota visa haji).
Apa itu haji furada dan mujamalah?
Dalam bahasa Arab, kata mujamalah berarti 'penghormatan' atau 'sanjungan'. Adapun visa mujamalah adalah visa yang diberikan Kerajaan Saudi sebagai penghormatan untuk orang-orang terpilih.
Pemberian visa itu merupakan diskresi dari pemerintah Saudi kepada siapapun yang dianggap perlu untuk meningkatkan hubungan antara pemerintah Saudi dan pemerintah setempat, termasuk Indonesia.
Sementara furoda berarti 'sendiri' atau 'individual'. Itu berarti jemaah haji furoda melakukan ibadah haji secara mandiri di luar jalur yang dikelola Kementerian Agama.
Pada awalnya haji mujamalah tidak berbayar atau grátis. Sebab pemberian visa merujuk pada undangan khusus yang diberikan oleh Kerajaan Saudi, artinya mereka menanggung seluruh akomodasi dan transportasi.
Namun dalam perkembangannya, menurut Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus di Kementerian Agama, Nur Arifin, ada pihak-pihak tertentu di Arab Saudi yang memperjualbelikan visa mujamalah.
Imbasnya, jemaah haji dengan visa ini terpaksa harus membayar sebagian, bahkan seluruh biaya haji.
"Dalam bahasa Arab mandiri ini disebut furoda. Jadi haji dengan visa furoda ini awalnya adalah dari mujamalah kemudian berbayar sendiri," katanya.
Dia menambahkan, saat ini sedang ada pengetatan di Saudi terkait prosedur haji, sebab "ada indikasi penyalahgunaan visa mujamalah", yang sebenarnya diperuntukkan bagi tamu kehormatan dan tidak berbayar.
Karena di luar kuota pemerintah, yang mengatur keberangkatan dan seluruh keperluan para jemaah adalah lembaga travel haji, perorangan atau yayasan yang terafiliasi dengan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Apa bedanya dengan haji reguler?
Berbeda dengan jemaah reguler yang harus menunggu belasan, bahkan puluhan tahun agar bisa menunaikan haji, jemaah haji furada hanya perlu waktu yang lebih sedikit agar bisa pergi ke tanah suci.
Implikasinya, mereka harus merogoh kocek lebih dalam ketimbang calon jemaah reguler. Jemaah haji furoda yang yang menggunakan visa umum (bukan visa mujamalah) harus membayar sekitar Rp150 juta - Rp300 juta.
Dalam sebuah promosi yang didistrubiskan di media sosial, paket jemaah haji furoda dibanderol US$62.000, atau setara Rp931 juta.
Paket itu termasuk visa haji, privat jet, sejumlah layanan VIP, pembimbing ibadah dan asuransi perjalanan.
Sebagai perbandingan, biaya haji reguler pada 2022 sebesar Rp81 juta per jemaah.
Aturan diperinci
Ketua SAPUHI, Syam Resfiadi mengimbau pemerintah agar memerinci teknis pemberangkatan haji nonkuota, yang menurutnya,
"Pemerintah belum melakukan perincian dari teknis bagaimana mujamalah itu diatur, baru meresmikan, melegalkan bahwa visa mujamalah diperbolehkan dan dilakukan operatornya oleh penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK)," kata Syam.
Namun, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief di Kementerian Agama menegaskan bahwa sama sekali tidak memiliki kewenangan dalam mengelola visa haji mujamalah.
Menurutnya, Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur bahwa visa haji Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu: visa haji kuota Indonesia dan visa haji mujamalah undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
"Karena sifatnya adalah undangan raja, pengelolan visa tersebut di bawah kewenangan langsung Kedutaan Besar Arab Saudi."
Ayat (2) pasal 18 UU No 8 Tahun 2019 mengatur bahwa warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi wajib berangkat melalui PIHK.
"Ketentuan ini dimaksudkan agar proses pemberangkatan setiap WNI yang akan menunaikan ibadah haji tercatat. Di samping itu, pihak penyelenggara yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah PIHK," tutur Hilman.
"Ayat (3) pasal 18 mengatur bahwa PIHK yang memberangkatkan WNI yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi wajib melapor kepada Menteri," pungkasnya.
*Laporan tambahan oleh wartawan di Bandung, Yuli Saputra.