Kasus ACT Berpotensi Terjadi Di Lembaga Serupa, Pemerintah-DPR Harus Gercep Perbarui UU Pengumpulan Uang Dan Barang

Rabu, 06 Juli 2022 | 09:01 WIB
Kasus ACT Berpotensi Terjadi Di Lembaga Serupa, Pemerintah-DPR Harus Gercep Perbarui UU Pengumpulan Uang Dan Barang
Logo ACT. [Dok.Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dugaan penyelewengan donasi publik oleh pimpinan Aksi Cepat Tanggap (ACT), bisa saja terjadi di filantropi atau yayasan yang bergerak dalam bidang serupa. Hal itu dikarenakan kekosongan dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang tidak mengatur secara detail standarisasi komisi yang diperbolehkan diambil.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri menyebut, kasus ini terekspos ke publik karena nama besar ACT yang sudah terkenal.

"Sepanjang yang saya tahu untuk skala besar ya, ini baru terjadi sekarang. Tidak tertutup kemungkinan untuk skalanya lebih kecil, mungkin lembaga atau pengelolah yang sebesar ACT ada juga kejadian seperti ini. Jadi ini bisa menimpa kepada institusi pengelolah donasi manapun," kata Ronald saat dihubungi Suara.com, Selasa (5/7/2022) malam.

Dia menjelaskan, dugaan penyelewengan terjadi karena kekosongan dalam Undang-Undang Tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang tidak eksplisit mengatur besaran komisi yang boleh diambil lembaga.

Baca Juga: Fakta-fakta PPATK Temukan Kejanggalan dalam Aliran Dana ACT

"Salah satunya ketidakmampuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 beradaptasi dengan situasi sekarang, dan Undang-Undang itu tidak dilaksanakan secara maksimal," ujarnya.

Beranjak dari kasus dugaan yang menimpa ACT, sudah saatnya pemerintah dan DPR memperbarui aturan yang ada. Karena dikhawatirkan berdampak terhadap kepercayaan publik.

"Lembaga pengelolah donasi yang sudah punya nama sekalipun seharusnya tidak membuat masyarakat menjadi abai, karena bagaimana pun, ini kan haknya masyarakat sebagai donatur untuk menanyakan," ujar Ronald.

Kasus yang diduga menimpa ACT juga dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk lebih jeli menyalurkan bantuannya.

"Jadi ini ada edukasi dan literasi juga. Dan ini sebenarnya dapat difasilitasi dengan standar minimum kontrak, antara donatur dengan lembaga pengelolah donasi ditujukan kepada masyarakat," tuturnya.

Baca Juga: Mahfud MD Ngaku Pernah Tiba-tiba Ditodong Endorse oleh ACT

"Pekerjaan rumah yang terbanyak itu sebenarnya ada di pemerintah bersama DPR untuk memperbarui Undang-Undang Nomor 9 tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang. Karena tadi yang saya katakan standar minimum kontrak harusnya bisa diatur dalam pembaharuan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1961," sambungnya.

Respons ACT

Saat mengelar konferensi pers di Kantor ACT, Jakarta Pusat, Presiden ACT, Ibnu Khajar mengungkap alasan digulingkan Ahyudin. Dia mengatakan sosok pendiri ACT dinilai otoriter dan cenderung bersikap one man show selama menahkodai lembaga.

"Gaya kepemimpinan beliau yang one men show yang cenderung otoriter sehingga organisasi tidak nyaman, dinasehati dan dia mengundurkan diri," kata Ibnu pada Senin (4/7/2022) kemarin.

Namun, Ibnu membantah sejumlah temuan majalah Tempo di antaranya gaji Ahyudin Rp 250 juta, fasilitas mobil mewah, dan penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi Ahyudin.

Kekinian semenjak Ahyudin digulingkan pada 11 Januari 2021, ACT melakukan sejumlah perbaikan struktural di antaranya menetapkan masa jabatan presiden selama 3 tahun dan boleh menjabat dua kali. Kemudian dewan pembina, masa jabatannya hanya 4 tahun, dan boleh menjabat dua kali melalui pemilihan.

Investigasi Majalah Tempo

Diketahui, berdasarkan laporan majalah Tempo, lembaga kemanusiaan ACT diduga menyalagunakan anggarannya untuk kepentingan pribadi pimpinannya.

Diduga saat Ahyudin menjadi petinggi ACT dia memperoleh gaji sebesar Rp250 juta setiap bulan, sementara posisi di bawahnya seperti senior vice president digaji Rp200 juta pe rbulan, vice president Rp 80 juta, dan direktur eksekutif Rp 50 juta.

Di samping itu, masih berdasarkan laporan majalah Tempo, Ahyudin saat menjabat sebagai petinggi difasilitasi tiga kendaraan mewah, seperti Toyota Alphard, Misubishi Pajero Sport, dan Honda CR-V. Majalah Tempo juga menemukan dugaan dana ACT yang digunakan untuk kepentingan pribadi Ahyudin berupa keperluan rumah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI