Suara.com - Pemuda Asia Afrika (Asian African Youth Government-AAYG) telah menyelenggarakan Webinar Internasional dengan tema “Dampak Konflik Rusia-Ukraina Terhadap Ekonomi Asia-Afrika”. Konflik Rusia-Ukraina mengakibatkan adanya gelombang krisis secara ekonomi khususnya di kawasan Asia dan Afrika.
Respiratori Saddam Al-Jihad, Presiden AAYG periode 2021-2026, menyampaikan bahwa negara-negara Asia dan Afrika selain masih berkutat dengan problematik politik dan sosial budaya, juga diperparah persoalan ekonomi sebagai dampak dari konflik tersebut dan Covid-19.
Sebab itu, Saddam mengharapkan para pemuda dapat merumuskan solusi dan kebijakan untuk mengatasi masalah kritis ini, mengingat persoalan pangan semakin kerasa di Afrika dan Asia.
“Saya sangat berharap forum ini bisa membahas problematika khususnya potensi krisis ekobomi di Asia dan Afrika, kemudian merumuskan solusi bagaimana kita berkontribusi untuk penyelesaian konflik. Pemirintahpun juga bisa fokus pada pemulihan ekonomi pasca COVID-19,” kata Saddam Al-Jihad dalam sambutannya.
Gracia Paramitha, Dosen Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR Jakarta, berpendapat misi Presiden Indonesia , Joko Widodo, melalui kunjungan diplomatik ke Russia dan Ukraina merupakan insiatif yang bagus. Namun, menurutnya, kita tidak bisa hanya mengandalkan pertemuan itu sebagai faktor penentu keberhasilan penyelesaian perdamaian.
"Perjalanan masih panjang dan misi itu masih merupakan langkah awal yang dilakukan. Beberapa media mengatakan bahwa Joko Widodo menerima pesan dari Zelensky kepada Putin tetapi beberapa yang lain mengatakan bahwa itu tidak benar," ujarnya.
Jadi, Gracia menegaskan bahwa hal-hal tersebut menjadi faktor lain yang perlu kita analisis juga. Sementara itu, ia juga mengapresiasi kehadiran Joko Widodo disana terkait dengan tugasnya sebagai presiden G-20 yang akan dilaksanakan di Bali pada November 2022.
"Hal itu merupakan langkah yang baik bagi Joko Widodo dalam mencoba meredakan eskalasi kelangkaan pangan dan pupuk. Namun, misi tersebut tidak menentukan peluang yang lebih besar untuk mendapatkan ekspor dan impor yang lebih besar, ataupun menentukan tidak akan ada lagi sanksi ekonomi dari negara-negara barat. Ketegangan masih cukup tinggi di dalam G20 itu sendiri," imbuhnya.
Disamping itu, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan TI AAYG Naoufal Oulda, fokus pada bagaimana negara harus merancang strategi dalam menghadapi masalah ekonomi. Perang, menurutnya, telah menyebabkan negara-negara mengalami inflasi setelah melonjaknya harga energi.
Baca Juga: Skema Impor Paralel Rusia Disebutkan Berhasil, Merek Mobil Asing Masuk Daftar
“Gas alam sekitar 25% dari sumber energi global. Jadi, harga energi menjadi mahal karena banyak impor dari Rusia dan Ukraina. Sanksi ekspor gas dari Rusia disebut juga sanksi ekonomi ke negara lain, terutama di negara-negara Asia. Itu akan membatasi dinamika ekonomi di semua negara,”lugasnya.
Oulda juga menuntut pemerintah mendorong pertanian lokal dan energi teenarukan seperti energi matahari dan angin dalam rangka mengurangi ketergantungan pada pasokan Rusia dan Ukraina.
“Kita juga harus memiliki otonomi di sektor pertanian. Kami mendorong pemerintah dan organisasi untuk mendukung mereka, terutama kaum muda, dalam mewujudkan ide-ide dengan mendorong start-up dan perusahaan kecil dalam perspektif youth collaboration," katanya.
Lebih lanjut, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan AAYG Mohammad Zaman Bajwa yang bertindak sebagai pembicara kedua telah menyoroti bagaimana konflik Rusia-Ukraina berdampak pada impor dan eksportir negara, mengingat aebagian besar ekonomi Asia dan Afrika bergantung pada energi impor dari Ukraina dan Rusia.
“Pada tahun 2021, Kenya mengimpor 30% dari konsumsi gandumnya dari Ukraina. Kamerun mengimpor 44% pupuk dari Rusia. Ghana 60% produksi besinya berasal dari Ukraina dan Rusia,” katanya.
Dia menegaskan bahwa ketergantungan impor dapat memperlambat proyek pembangunan akibat kenaikan harga komoditas dan melanjutkan penjelasan.
“Jika mereka tidak mampu membeli barang, semua negara akan mengekspor barang-barang ini. Ketika negara ini tidak akan mengekspor, ekonomi yang lebih lemah harus bisa memfasilitasi orang. Dalam hal ini, mereka akan mendapatkan pajak yang rendah. Mereka tidak akan menghabiskan uang untuk pembangunan," untainya.
“Jadi, situasi ini harus dihentikan karena tidak hanya berdampak pada ekonomi global saja. Yang penting adalah tekad para pemimpin global, seperti Jokowi yang mengambil tanggung jawab untuk mencoba menengahi antara dua kekuatan,”pungkasnya.