Suara.com - Nilai tukar rupiah ditutup mendekati Rp15.000 per dolar AS. Mata uang garuda anjlok 22 poin menjadi Rp14.993 atas dolar Amerika Serikat pada perdagangan Selasa (5/7/2022) sore.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan hingga saat ini rupiah masih dibayangi sentimen negatif.
"Investor memang mencermati risiko kenaikan Fed rate terhadap Indonesia sehingga melakukan penjualan aset berisiko tinggi. Data inflasi Juni yang cukup tinggi sejak 2017 menjadi kekhawatiran risiko stagflasi," kata Bhima saat dihubungi Suara.com.
Apalagi kata dia, Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuannya yang mengakibatkan risknya naik di market. "Kondisi likuiditas didalam negeri bisa mengetat apabila pelemahan kurs terus terjadi. Karena pelemahan kurs menunjukkan adanya tekanan arus modal asing yang keluar," ujarnya.
Baca Juga: Hari Ini Mata Uang Garuda Keok Lagi, Ditutup Nyaris Tembus Rp15.000
"Cadev akan makin tertekan disaat arus modal keluar tinggi sekaligus kinerja ekspor komoditas mulai terkoreksi," tambahnya.
Selain itu kata dia salah satu alasan pelemahan rupiah karena BI masih menahan suku bunga. Ditahannya suku bunga acuan membuat spread imbal hasil US Treasury dengan surat utang SBN semakin menyempit.
"Idealnya suku bunga sudah naik 50 basis poin sejak Fed lakukan kenaikan secara agresif," katanya.
Sehingga kata Bhima, rupiah secara psikologis berisiko melemah ke 15.500-16.000 dalam waktu dekat. Tekanan akan terus berlanjut dan tergantung dari respon kebijakan moneter.
"Pelemahan kurs dikhawatirkan memicu imported inflation atau kenaikan biaya impor terutama pangan. Sejauh ini imported inflation belum dirasakan karena produsen masih menahan harga ditingkat konsumen. Tapi ketika beban biaya impor sudah naik signifikan akibat selisih kurs maka imbasnya ke konsumen juga," tuturnya.
Baca Juga: Kurs Dolar AS Turun Efek Potensi Inflasi Kian Melemah
Selain pelemahan rupiah ini mengakibatkan beban utang luar negeri sektor swasta meningkat, karena pendapatan sebagian besar diperoleh dalam bentuk rupiah sementara bunga dan cicilan pokok berbentuk valas.
"Situasi currency missmatch akan mendorong swasta lakukan berbagai cara salah satunya efisiensi operasional. Tidak semua perusahaan swasta yang memiliki ULN lakukan hedging," ucapnya.
Untuk itu dirinya meminta BI untuk menaikkan 25-50 bps suku bunga untuk tahan aliran modal keluar. Tapi menaikkan suku bunga acuan berimbas kepada pelaku usaha korporasi, UMKM maupun konsumen.
"Cicilan KPR dan kendaraan bermotor bisa lebih mahal," pungkasnya.