Sayur dari Kebun: Warga Indonesia Ini Tak Terdampak Inflasi Australia

SiswantoABC Suara.Com
Selasa, 05 Juli 2022 | 02:00 WIB
Sayur dari Kebun: Warga Indonesia Ini Tak Terdampak Inflasi Australia
Ilustrasi sayuran (Unsplash.com/ IƱigo De la Maza)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Harga makanan, listrik, dan bensin tengah melonjak di Australia, tapi semua ini hampir tidak mempengaruhi keluarga perempuan Indonesia bernama Melissa Weckert.

Mereka jarang sekali mampir ke supermarket karena memiliki kebun yang dipenuhi pohon dan tumbuhan yang menghasilkan buah dan sayur-sayuran.

Bahkan ketika harus sekali berbelanja, Melissa akan mengendarai mobil hybrid, yang sebagian digerakkan oleh listrik.

"Dengan melakukan ini kami meninggalkan sedikit jejak karbon dan tidak menggunakan banyak plastik," kata Melissa.

Baca Juga: Warga Migran Berpikir untuk Meninggalkan Australia Karena Kenaikan Biaya Hidup

Keluarga Melissa yang tinggal di Australia Selatan juga telah mengembangkan kebiasaan mengonsumsi sayuran yang tumbuh di kebunnya sesuai musim.

Di musim dingin, mereka akan makan brokoli, kol, kubis, dan lainnya. Sementara di musim panas, mereka akan makan sayur-sayuran seperti tomat dan ketimun.

Dengan demikian, Melissa tidak harus memikirkan harga bahan makanan yang sedang naik saat ini.

"Kami sangat bersyukur telah mengambil keputusan ini sejak lama," kata Melissa.

Walau terkesan mudah, membangun kebiasaan ini membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Baca Juga: Ribuan Orang di Australia Mengungsi Akibat Banjir, Jalanan Terendam

Setelah membeli rumah di tahun 2016, Melissa dan suaminya Sam berkomitmen untuk membangun pola hidup ramah lingkungan.

"Kami cinta lingkungan dan ingin membangun kebiasaan yang baik demi keberlangsungan Bumi secara perlahan-lahan," katanya.

"Kami juga ingin membangun lingkungan yang baik untuk keluarga kecil kami."

Kini, kebun Melissa sudah menghasilkan lebih dari 35 jenis buah dan sayur. Dia juga memelihara delapan ekor ayam untuk diambil telurnya.

"Kami punya banyak rempah ... labu, ketimun, tomat, timun Jepang, juga pohon ceri," katanya.

Kebun Melissa memiliki tangki penampung air hujan, rumahnya dilengkapi panel surya baterai, dan memakai tenaga listrik sehingga sama sekali tidak memakai gas.

Selain itu, mereka juga menambahkan insulasi di dalam rumah, yang menghambat perubahan suhu drastis, dengan menggunakan jendela berlapis dan tirai penutup jendela jenis 'honeycomb'.

"Kami ingin supaya rumah kami hemat energi," kata Melissa.

Dia mengatakan semua ini membutuhkan modal setidaknya A$40,000 atau Rp407 juta, namun kini sudah balik modal.

"Memang sulit untuk memulainya tanpa ketekunan, tapi kalau sudah memulai, semuanya perlahan menjadi lebih mudah," katanya.

"Sekarang kami bisa menghemat A$10,000 (Rp101 juta) sampai A$12,000 (Rp122 juta) dari tidak menggunakan banyak bensin, listrik dan mengonsumsi buah dan sayur yang ditanam sendiri."

Tidak berhenti di sana, keluarga Melissa juga membeli pakaian bekas, meminjam mainan untuk anaknya Kieran dari perpustakaan, dan membuat perabotan dari materi yang tidak terpakai.

Keuntungan terkikis namun tetap lebih baik

Serupa dengan Melissa, warga Indonesia lainnya di Australia Selatan, Nila Osborne juga merasakan keuntungan dari memiliki kebun sendiri.

Sejak pindah dari Alice Springs, Australia Utara di tahun 2016, Nila membawa kebiasaan berkebun dia dan suaminya ke Adelaide.

"[Di kebun saya] ada lemon, limau, tomat tapi sudah mati karena musim dingin, serai, cabe yang pasti, selada tapi sudah habis, kemangi, dan rempah lain seperti parsley," kata Nila.

"Saya juga punya pohon alpukat yang buahnya banyak sekali dan terkadang saya jual."

Nila mengaku merasa lega karena di tengah kenaikan harga, dia masih bisa menghemat pengeluaran bahan makanan dengan mengonsumsi hasil kebunnya yang dibekukan.

Selain memiliki kebun, Nila juga sudah sejak 2016 memasang panel surya di rumahnya.

Selama bertahun-tahun, keberadaan panel tersebut telah memotong biaya pengeluaran listrik keluarga Nila dan bahkan memberikan keuntungan finansial.

Walau demikian di tengah inflasi, keuntungan dari penggunaan panel suryanya semakin menipis.

"Hingga bulan Mei kemarin saya bayar A$87.47 [untuk tiga bulan] sementara Mei tahun lalu saya hanya bayar A$73.57," katanya.

"Tapi tetap lebih menguntungkan kalau punya panel surya seperti ini. Kalau tidak mungkin biayanya sudah di atas 100 atau 200-an dolar."

Permintaan panel surya meningkat

Saat ini, banyak orang Australia aktif melirik pola hidup ramah lingkungan.

Dewan Energi Bersih Australia mengatakan bisnis yang adalah anggota mereka melaporkan kenaikan minat pembelian panel surya sebanyak 50 persen.

"Berita media seputar kenaikan biaya listrik dan ancaman gangguan ketersediaan listrik baru-baru ini tampaknya mendorong peningkatan minat ini," ujar Kate Thornton, kepala organisasi tersebut.

PowerHousing, organisasi yang menangani perumahan masyarakat dengan mengembangkan dan mengelola perumahan yang terjangkau, melaporkan bahwa hampir 8 juta rumah di Australia tidak hemat energi.

Rumah seperti ini menimbulkan emisi karbon dalam jumlah yang signifikan di Australia.

Henry Michael Pattie yang bekerja sebagai konsultan manajemen energi, mengatakan sekarang adalah waktu yang ideal untuk mempertimbangkan panel surya.

Henry mengatakan keputusan untuk memasang panel surya dan baterai di rumahnya di Glen Osmond, Australia Selatan, telah membantunya menghemat setidaknya A$1.500 (Rp10 juta) setahun.

"Sekarang, ketika semua harga naik, saya masih bisa menabung," katanya.

"Ini juga membantu mengurangi emisi karbon dari energi yang saya konsumsi."

Terlepas dari meningkatnya minat panel surya baru-baru ini, Emi Mingui Gui, peneliti dari Climateworks Center di Monash University, mengatakan kenaikan biaya hidup akan mempersulit mereka yang memiliki "daya beli lebih rendah" untuk berinvestasi dalam energi bersih.

"[Ini] mungkin berarti rencana untuk beralih ke kendaraan listrik atau membeli panel surya, baterai, peralatan hemat energi, semua itu harus ditunda," katanya.

Dr Emi mengatakan sementara inflasi mungkin memaksa orang untuk menggunakan lebih sedikit energi dalam jangka pendek, pemerintah perlu berbuat lebih banyak untuk membantu individu dan bisnis membuat perubahan jangka panjang.

"Dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, jalan kita masih panjang," katanya.

Australia berada di peringkat 52 dari 76 negara dan wilayah dalam hal kemajuan dan komitmen untuk membangun masa depan rendah karbon, menurut survei Indeks Masa Depan Hijau MIT tahun ini.

"Dalam hal kepadatan energi, intensitas per kapita, kami masih salah satu yang tertinggi di dunia, jadi ada banyak hal yang harus dilakukan," kata Dr Emi.

Baca laporannya dalam bahasa Inggris di sini

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI