Para Guru dan Dosen yang Mengajar di Balik Garis Depan Perang Melawan Rusia

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 05 Juli 2022 | 01:00 WIB
Para Guru dan Dosen yang Mengajar di Balik Garis Depan Perang Melawan Rusia
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seperti hari Senin pagi biasanya di Ukraina, Fedir Shandor mengawali hari dengan mengajar kuliah secara daring.

Profesor di sebuah universitas di Ukraina itu mengajar secara online sejak pandemi berlangsung. Namun selama beberapa bulan terakhir, dia memberi kuliah pada para mahasiswanya dari garis depan.

Pria berusia 47 tahun itu mendaftar sebagai prajurit militer setelah invasi Rusia ke negara itu. Di sisi lain, dia sangat ingin mahasiswanya tetap melanjukan pendidikan.

Hasilnya? Shandor menggelar kelas dua kali dalam sepekan dari parit di garis depan pertempuran. Dia mengajar sejumlah topik seperti pariwisata dan sosiologi melalui ponselnya.

Baca Juga: Ilmuwan Top Rusia Meninggal Dunia, Dua Hari setelah Ditangkap dan Dituduh Jadi Mata-Mata China

"Saya telah mengajar selama 27 tahun. Saya tak bisa mengabaikannya. Itu adalah keahlian saya," ujarnya kepada BBC.

Baca juga:

Shandor telah melakukan profesi gandanya sebagai dosen dan prajurit militer sejak Rusia melakukan invasi ke Ukraina pada Februari silam.

Dia mendaftar karena ingin memperjuangkan negaranya, serta melindungi istri dan putrinya.

"Saya harus menghentikan Rusia sebelum mereka datang ke rumah saya," ujarnya.

Baca Juga: Presiden Ukraina Bertekad Rebut Kembali Lysychansk dari Rusia

Dedikasi Shandor pada pekerjannya juga membuat partisipasi mahasiswa di kelasnya terjaga.

"Bahkan mahasiswa yang sebelumnya membolos, selalu muncul di setiap kuliah," kata salah satu mahasiswanya, Iryna, yang berusia 20 tahun.

"Dia selalu berkata pada kami bahwa kami harus jadi cerdas, bahwa kami berperang sebagai negara yang cerdas."

Suara tembakan di kejauhan

Tapi mengajar kuliah dari balik parit bukanlah hal yang mudah. Para mahasiswa harus terbiasa mendengar suara tembakan dari kejauhan.

"Dalam suatu kuliah, suaranya sangat keras sehingga para mahasiswa bisa mendengar semuanya. Saya kemudian sembunyi di parit dan melanjutkan kuliah," ujarnya.

Dari apa yang terjadi di sekitarnya, Shandor bisa menunjukkan pecahan peluru dan mengajarkan para mahasiswanya tentang jenis misil yang berbeda-beda.

Mata kuliah Shandor juga merupakan suatu hal yang baru bagi rekan-rekan prajuritnya, yang sering mendengarkannya memberi kuliah dan memotretnya di tempat kerja.

Salah satu jepretan foto yang menunjukkan Shandor memegang ponselnya di parit, diunggah di dunia maya dan menjadi viral di seluruh Ukraina.

Baca juga:

Sejumlah seniman di seluruh negeri sejak itu membuat lukisan dan kartun yang terinsipirasi darinya.

Shandor bukanlah satu-satunya dosen yang saat ini bertempur di garis depan.

Menurut Menteri Pendidikan Ukraina, Serhiy Shkarlet, sejauh ini sekitar 900 pendidik telah bergabung dengan pasukan militer negara itu.

"Kami sangat bangga terhadap masing-masin dari mereka," katanya.

"Kami memiliki beberapa orang yang bergabung dengan pasukan bersenjata di Kementerian Pendidikan juga."

Pendidik lain, seperti Anton Tselovalnyk, telah bergabung dengan pertahanan teritorial.

Perkuliahannya ditangguhkan selama dua pekan pertama invasi Rusia, tapi selang beberapa waktu, sekolah tempat dia bekerja mengiriminya pesan dan meminta bantuan.

Pria berusia 42 tahun itu langsung merespons dan memilih untuk mengajar dari parit atau di perumahan terdekat bagi anggota pertahanan teritorial.

Tak ada yang bisa menghentikannya untuk absen dari kelas, bahkan kala cuaca dingin sekalipun.

Tselovalnyk berkata bahwa mulanya yang dia lakukan bukanlah tentang memberi pelajaran kepada anak-anak, tapi lebih tentang berbicara dan mendukung satu sama lain.

"Bisa Anda bayangkan, anak-anak yang biasanya pergi ke sekolah tiap hari, tiba-tiba berhenti."

Dia mengajar para siswanya - yang terdiri dari siswa sekolah dasar dan siswa menengah atas - tentang arsitektur.

"Hal yang terpenting saat ini adalah mempertahankan hubungan antara masa lalu dan masa depan Anda. Mengajar juga seperti itu saat ini buat saya," katanya.

Salah satu muridnya, Veronika Volkova, yang berusia 17 tahun, mengatakan bahwa cara mengajar Tselovalnyk lucu dan bisa menjaga suasana kelas tetap baik.

"Ini adalah pengalih perhatian terbaik," katanya.

Volkova menambahkan bahwa gurunya sering menunjukkan sekelilingnya kepada kelas, memberi tahu mereka tentang parit yang telah dia bangun, dan tempat di mana dia duduk untuk melihat bintang.

"Dia bijaksana dan peduli selama kuliah. Selalu meminta pendapat, berusaha membuat pelajaran menarik bagi kami," ujar Volkova.

Memanfaatkan teknologi

Pendidik lainnya, seperti Maksym Kozhemiaka, memanfaatkan kemampuan medisnya untuk membantu militer.

Profesor pengobatan trauma di Universitas Negeri Zaporizhzhia berusia 41 tahun ini menyadari keahliannya bisa berguna di rumah sakit militer dan dengan sukarela membantu.

Namun setelah beberapa hari bekerja di sana, dia mendapati cari untuk membantu para mahasiswanya agar dapat tetap melanjukan kuliah.

"Kami berpikir bahwa kami bisa mengajar kelas secara online," ujarnya.

"Kami sudah pernah memiliki pengalaman mengajar secara online selama Covid."

Setelah dua pekan pertama perang yang menantang, Kozhemiaka melanjutkan kuliahnya dengan membiarkan para mahasiswanya menyaksikan secara virtual ketika dia melakukan operasi.

Mereka menerapkan kombinasi antara kelas yang digelar secara langsung dan augmented reality yang memungkinkan para mahasiswa berpartisipasi dan mengomentari operasi bahkan dari rumah mereka sendiri.

"Kami mengajari para dokter muda dan mahasiswa bagaimana mengobati luka," tuturnya.

Daryna Bavysta adalah salah satu mahasiswa Kozhemiaka dan berkata dia belajar banyak hal ketika kuliah dimulai kembali.

"Kini saya mengerti semuanya yang terjadi di meja operasi," tuturnya.

"Maksym menjelaskan semuanya selama operasi online - apa saja yang dia lakukan dan bagaimana," ujarnya.

Namun dia khawatir dengan kondisi dosennya. "Ini bukan hanya sulit secara psikologis, tapi secara fisik - Anda ingin memberikan segalanya pada orang-orang yang Anda rawat. Prajurit kami," tuturnya.

Tapi bagi Kozheimaka, meninggalkan kelasnya bukanlah pilihan.

"Mengajar adalah pekerjaan impian saya," katanya.

"Saya tidak bisa meninggalkannya. Kami berada di jalur yang benar sebagai negara sebelum perang dan kami masih (berada di jalur itu), jadi kami harus berjuang bersama untuk kemenangan kami dan tetap bersatu."

"Adalah penting untuk terus mengerjakan apa yang Anda lakukan sebelumnya. Mengapa perang harus menghentikan kita?"

Laporan tambahan oleh Svitlana Libet.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI