Suara.com - Rencana Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengizinkan riset ganja diharapkan dapat memberi jaminan bagi para peneliti untuk membuktikan bahwa penggunaan ganja layak dilegalkan demi kepentingan medis, kata aktivis dari Yayasan Sativa Nusantara, Inang Winarso.
Tetapi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berpendapat riset ganja medis "akan sulit berjalan" jika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika masih melarang pemanfaatan narkotika golongan I, termasuk ganja, digunakan untuk pelayanan kesehatan.
Pada Minggu (03/07), Menkes Budi mengatakan kepada wartawan di Jakarta bahwa "akan segera menerbitkan regulasi yang mengizinkan pemanfaatan ganja untuk penelitian medis".
"Sama seperti tumbuh-tumbuhan yang lain, selama itu dipakai untuk penelitian medis, itu kita izinkan, tetapi bukan untuk dikonsumsi," kata Budi.
Menanggapi itu, Inang menuturkan timnya akan segera mengajukan permohonan izin penelitian begitu regulasi itu diterbitkan, setelah selama ini upaya penelitian mereka terhalang birokrasi.
Yayasan Sativa Nusantara sendiri merupakan lembaga riset dan advokasi pertama di Indonesia yang fokus pada pengembangan pengetahuan dan teknologi terkait tanaman ganja.
Rekomendasi ilmiah dari penelitian itu diharapkan bisa menjawab keraguan sejumlah pihak untuk melegalkan pemanfaatan ganja dalam pelayanan kesehatan.
"Rekomendasi yang mendesak itu seperti kebutuhan ganja untuk penyakit celebral palsy, diabetes, kanker, yang bisa diatasi dengan ganja sebenarnya. Cuma daripada berdebat enggak ada ujung pangkalnya, ya sudah kita riset saja sama-sama," tutur Inang kepada BBC News Indonesia.
Baca juga:
Baca Juga: Tanggapi Polemik Ganja Medis, Taufik Basari Minta Semua Pihak Berpikiran Terbuka
- Santi Warastuti dan perjuangan melegalkan ganja medis
- 'Ganja untuk obat,' terbukti atau sekadar akal-akalan?
- Sidang 'ganja untuk obat': suami pasien yang meninggal jadi terdakwa
Sementara itu, peneliti ICJR Iftitah Sari mengatakan pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis akan sulit direalisasikan sepanjang pasal yang melarangnya dalam UU Narkotika tidak dicabut.
Dalam UU Narkotika, ganja termasuk dalam daftar narkotika golongan I yang menurut pasal 8 ayat (1) dilarang digunakan dalam pelayanan kesehatan.
Menurut Iftitah, pasal itu lah yang perlu dihapuskan dari UU Narkotika, entah itu melalui gugatan uji materi di Mahkamah Konstitusi yang telah diajukan sejak 2020 lalu atau melalui revisi UU Narkotika.
"Selama masih ada pasal pelarangan narkotika golongan satu untuk pelayanan kesehatan itu, ya risetnya akan sulit jalan. Jadi langkah untuk izin Permenkes itu seharusnya didahului dengan pencabutan pasal itu," papar Iftitah.
Sedangkan anggota Komisi III Bidang Hukum DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan bahwa hasil penelitian terkait ganja medis akan dipertimbangkan sebagai masukan dalam merevisi UU Narkotika yang tengah berjalan.
Revisi UU Narkotika sendiri telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2022.
Perlu revisi UU Narkotika
ICJR menilai bahwa peraturan menteri yang mengizinkan riset terkait ganja medis "tidak akan mengubah situasi" apabila pasal yang melarang pemanfaatan narkotika golongan I dalam UU 35/2009 tidak dihapuskan.
Dia memaparkan, pasal 12 UU tersebut memang memungkinkan narkotika golongan I digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa diatur melalui Peraturan Menteri.
Tetapi dalam pasal 8 ayat (1), disebutkan bahwa narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Larangan itu pula yang telah menyebabkan sejumlah orang yang memanfaatkan ganja untuk pengobatan berujung dihukum pidana.
Salah satunya, Fidelis Ari Sudarwoto, seorang PNS di Kalimantan Barat yang divonis delapan bulan penjara karena menanam ganja untuk pengobatan istrinya yang mengidap Syringomyelia.
"Jadi langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencabut pasal pelarangan itu. Dan itu sebetulnya enggak terbatas pada ganja, karena ini isunya pada perkembangan dunia medis dan penelitian ke depan. Narkotika golongan satu yang ternyata bermanfaat buat kesehatan itu enggak cuma ganja aja, tapi ada opium, heroin, dan sebagainya," kata Iftitah.
Tanpa perubahan itu, Iftitah menilai riset terkait pemanfaatan ganja medis "akan sulit berjalan".
"Nanti follow up dari risetnya untuk pelayanan medis kalau digunakan untuk uji klinis itu kan harus ke manusia ya dan dalam bentuknya pelayanan kesehatan. Itu kan enggak bisa jadinya kalau ada aturan itu," jelas dia.
Perubahan itu mungkin dilakukan melalui dua opsi. Pertama, apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan oleh tiga ibu dari anak yang menderita penyakit celebral palsy terhadap pasal 6 ayat (1) huruf a dan pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 demi melegalkan pemanfaatan narkotika golongan I, termasuk ganja, untuk keperluan medis.
Namun sampai dua tahun setelah gugatan itu diajukan, MK belum juga mengeluarkan putusannya.
Opsi kedua, kata Iftitah, ialah dengan merevisi UU Narkotika yang tentunya akan memakan waktu lebih lama.
Tetapi Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menuturkan hasil penelitian yang ada nantinya dapat menjadi bahan masukan dalam merevisi UU Narkotika yang saat ini tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR.
"Jika terdapat penelitian yang menunjukkan turunan dari tanaman ganja dapat digunakan sebagai pengobatan maka kita harus memiliki pikiran terbuka untuk merumuskan perubahan kebijakan," kata Taufik.
Jaminan bagi peneliti
Sebagai seorang peneliti ganja, Inang mengatakan regulasi terbaru ini diharapkan dapat memberi jaminan agar riset yang mereka lakukan tidak lagi sekadar dalam tataran literatur.
"Kalau riset harus menggunakan tanaman [ganja], bahan baku tanamannya harus tersedia. Karena selama ini tidak pernah diizinkan secara terbuka, maka kami berharap dengan Permenkes yang akan dikeluarkan Pak Budi Gunadi, para peneliti akan mendapat jaminan bahwa tanaman yang akan digunakan untuk riset dapat diperoleh dengan izin dari Kementerian Kesehatan," kata Inang.
Menurut dia, hal itu juga dimungkinkan oleh UU Narkotika yang saat ini berlaku, di mana narkotika golongan satu boleh digunakan secara terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan Peraturan Menteri.
Meski, senada dengan ICJR, Inang menilai masih ada ganjalan pada pemanfaatannya dalam pelayanan kesehatan.
Oleh sebab itu, hasil riset yang didapat nantinya diharapkan bisa mendorong kebijakan lebih lanjut untuk melegalisasi penggunaan ganja medis. Misalnya, berupa perubahan kategori ganja dari narkotika golongan I menjadi narkotika golongan II atau III.
"Karena Menteri Kesehatan pasti membutuhkan landasan ilmiah untuk menetapkan itu, jadi mudah-mudahan dengan hasil riset yang baik, regulasi yang memungkinkan pemanfaatannya itu nantinya bisa diterbitkan," kata dia.
Selain itu, Inang mengatakan hasil penelitian juga bisa menjawab perdebatan publik dan keraguan sejumlah pihak terhadap manfaat ganja medis.
Apalagi penelitian di sejumlah negara juga telah mendukung adanya manfaat ganja medis untuk pengobatan.
Salah satunya penelitian David Casarett di Universitas Pennsylvania yang menunjukkan bahwa produk ganja medis umumnya mengandung konsentrasi CBD yang tinggi dan THC yang sangat rendah sehingga tidak menyebabkan high.
THC atau Δ9-tetrahydrocannabinol dikenal karena efek psikotropiknya - zat yang membuat "high". Namun produk yang mengandung THC juga digunakan untuk meredakan rasa sakit, kejang-kejang, dan pusing. Adapun CBD atau phytocannabinoid cannabidiol memiliki sifat anti-inflamasi, anti-epilepsi, anti-psikotik, dan meredakan kegelisahan (anxiety).
"Jangan perdebatan di publik itu lebih banyak tuduhan yang tidak berdasar, efek samping begini begitu lah, darimana kita tahu bahwa itu berbahaya kalau tidak pernah diteliti, makanya kami selama ini mengusulkan riset," papar dia.
Baca juga:
- PNS tanam ganja untuk obat istri, saatnya ganja demi kesehatan?
- Parlemen Belanda mendukung RUU penanaman ganja
Pernah terganjal birokrasi
Izin untuk melakukan riset terhadap ganja medis sebetulnya bukan kali pertama diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan, tetapi menurut Inang, selama ini izinnya tidak pernah diberikan secara terbuka.
Pada 2013, Yayasan Sativa Nusantara bersama sejumlah pakar kimia, salah satunya Musri Musman dari Universitas Syiah Kuala Aceh, pernah meneliti ganja untuk pengobatan diabetes.
Mereka pun mengajukan izin penelitian ke Kemenkes yang kemudian disetujui pada 2015 melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 118 Tahun 2015.
Sayangnya, meski telah mendapatkan izin untuk melakukan penelitian, mereka tetap terhambat oleh birokrasi sehingga sampai saat ini, status penelitian itu pun masih menggantung.
Menurut Inang, pada saat itu aturan mewajibkan tim peneliti ditunjuk oleh Kemenkes.
"Dari pihak Kemenkes tidak ada satu pun [tim] yang ditunjuk. Belum ada sampai sekarang. Mudah-mudahan Permenkes yang baru nanti tidak sebirokratis itu," ujar Inang.
Selain itu, Kemenkes pada saat itu juga mewajibkan lokasi penelitian harus dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, Jawa Tengah.
"Itu kan mempersempit ruang gerak, padahal ganja terbaik itu ditanam di Aceh untuk kami meneliti kandungan CBD-nya," papar dia.
Dengan peluang diterbitkannya regulasi yang baru, Inang berharap lembaga penelitian pemerintah maupun non-pemerintah bisa berpeluang mengajukan beragam penelitian terkait manfaat ganja.
"Yang penting kan jelas akan meneliti berapa luas jumlah tanamannya, areanya di mana saja yang dijadikan objek penelitian. Jadi sifat penelitiannya lebih terbuka, tidak sebirokratis sebelumnya," ujar Inang.