Perjalanan Swedia dan Finlandia dari Negara Netral Jadi Anggota NATO

SiswantoBBC Suara.Com
Minggu, 03 Juli 2022 | 09:42 WIB
Perjalanan Swedia dan Finlandia dari Negara Netral Jadi Anggota NATO
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Swedia dan Finlandia bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) - sebuah perubahan besar bagi dua negara dengan sejarah panjang netralitas di masa perang dan menghindar dari aliansi militer.

Dalam KTT NATO di Madrid, Spanyol, mereka mengatasi apa yang kemungkinan besar menjadi hambatan terakhir: keberatan dari Turki.

Rusia sangat tidak setuju bila kedua negara itu bergabung dengan NATO dan telah menjadikan perluasan aliansi militer defensif Barat sebagai dalih untuk melancarkan perang di Ukraina.

Swedia dan Finlandia mempertahankan status netral selama bertahun-tahun, tetapi sejak invasi Rusia ke Ukraina, dukungan untuk keanggotaan NATO meningkat secara dramatis.

Baca Juga: Usai Bertemu Jokowi, Presiden Ukraina Minta Senjata Militer Canggih dari NATO

Baca juga:

Mengapa bergabung sekarang?

Tindakan Vladimir Putin menghancurkan perasaan stabilitas yang sejak lama ada di Eropa utara, membuat Swedia dan Finlandia merasa rentan.

Mantan Perdana Menteri Finlandia, Alexander Stubb, mengatakan bergabung dengan aliansi itu adalah "kesepakatan yang sudah selesai" untuk negaranya tak lama setelah pasukan Rusia menyerbu Ukraina pada 24 Februari.

Bagi banyak orang Finlandia, peristiwa di Ukraina terasa akrab. Soviet menginvasi Finlandia pada akhir 1939. Selama lebih dari tiga bulan tentara Finlandia melakukan perlawanan sengit, meskipun kalah jumlah.

Mereka berhasil mencegah pendudukan, tetapi akhirnya kehilangan 10% wilayah mereka.

Baca Juga: Momen Pertemuan Pesawat Tempur NATO dengan Pesawat Tempur Rusia

Menyaksikan perang di Ukraina seakan-akan menghidupkan kembali sejarah ini, kata Iro Sarkka, seorang ilmuwan politik di Universitas Helsinki.

Orang Finlandia melihat perbatasan sepanjang 1.340 km mereka dengan Rusia, katanya, dan berpikir: "Mungkinkah ini juga terjadi pada kita?"

Swedia juga telah merasa terancam dalam beberapa tahun terakhir, dengan beberapa laporan pelanggaran wilayah udara oleh pesawat militer Rusia.

Pada 2014, mereka dibuat khawatir dengan sejumlah laporan bahwa kapal selam Rusia bersembunyi di perairan dangkal di kepulauan Stockholm.

Dua tahun kemudian, pasukan Swedia kembali ke Gotland, pulau kecil namun memegang peran strategis yang penting di Laut Baltik, setelah meninggalkannya selama dua dekade.

Apa yang akan berubah?

Dalam beberapa hal, tidak banyak. Swedia dan Finlandia menjadi mitra resmi NATO pada tahun 1994 dan sejak itu menjadi kontributor utama aliansi tersebut. Mereka telah ikut serta dalam beberapa misi NATO sejak akhir Perang Dingin.

Kedua negara untuk pertama kalinya akan mendapatkan jaminan keamanan dari negara-negara bersenjata nuklir berdasarkan Pasal 5 NATO, yang memandang serangan terhadap satu negara anggota sebagai serangan terhadap semuanya.

Sejarawan Henrik Meinander mengatakan Finlandia secara mental siap untuk menjadi anggota, karena sudah melakukan serangkaian langkah kecil menuju NATO sejak jatuhnya Uni Soviet.

Pada tahun 1992, Helsinki membeli 64 pesawat tempur AS. Tiga tahun kemudian, mereka bergabung dengan Uni Eropa, bersama Swedia, dan setiap pemerintahan Finlandia sejak itu telah meninjau apa yang disebut opsi NATO.

Tentara Finlandia, yang melayani 5,5 juta populasinya, memiliki kekuatan perang 280.000 tentara, dan total 900.000 cadangan.

Swedia mengambil jalan yang berbeda pada tahun 1990-an, memangkas postur militernya dan mengubah prioritas dari pertahanan teritorial menjadi misi penjaga perdamaian di seluruh dunia.

Tetapi itu semua berubah pada tahun 2014, ketika Rusia merebut dan menganeksasi Krimea dari Ukraina. Wajib militer kembali diberlakukan dan belanja pertahanan ditingkatkan.

Pada 2018, setiap rumah menerima pamflet dari tentara yang berjudul "jika krisis atau perang datang" pertama kalinya dikirim lagi sejak 1991.

Finlandia sudah mencapai target belanja pertahanan yang disepakati NATO sebesar 2% dari PDB, dan Swedia telah menyusun rencana untuk melakukannya.

Apa risikonya?

Presiden Rusia Vladimir Putin percaya bahwa ekspansi NATO adalah ancaman langsung bagi keamanan negaranya, jadi bila Swedia dan Finlandia bergabung, langkah itu akan dipandang Rusia sebagai provokasi.

Kementerian luar negeri Rusia mengatakan kedua negara telah diperingatkan akan "konsekuensi" tindakan seperti itu. Mantan presiden Dmitry Medvedev, sekutu erat sang pemimpin Rusia, memperingatkan bahwa aksesi Swedia dan Finlandia ke dalam NATO akan mendorong Moskow untuk mengerahkan senjata nuklir di Kaliningrad, eksklave Rusia di antara Polandia dan Lithuania.

Meskipun tidak mengesampingkan ancaman ini, Alexander Stubb berpendapat ancaman yang lebih realistis dari Rusia ialah serangan siber, kampanye disinformasi, dan pelanggaran wilayah udara sesekali.

Akankah NATO membuat Swedia dan Finlandia lebih aman?

Ada segelintir orang, setidaknya di Swedia, yang percaya tidak akan.

Deborah Solomon, dari Swedish Peace and Arbitration Society, berargumen bahwa deterens nuklir NATO telah meningkatkan ketegangan dan berisiko memicu perlombaan senjata dengan Rusia. Ini memperumit upaya damai, ujarnya, dan membuat Swedia lebih tidak aman.

Kekhawatiran lainnya ialah dengan bergabung dengan aliansi, Swedia akan kehilangan peran kepemimpinannya dalam upaya pelucutan senjata nuklir global. Banyak orang yang skeptis terhadap NATO mengingat periode antara 1960-an dan 1980-an, ketika Swedia memanfaatkan kenetralannya untuk menempatkan diri sebagai mediator internasional.

Bergabung dengan NATO berarti melepas mimpi itu, kata Solomon.

Kenetralan Finlandia sangat berbeda. Itu salah satu syarat perdamaian yang dikenakan oleh Uni Soviet pada "traktat persahabatan" pada 1948. Itu dilihat sebagai cara pragmatis untuk bertahan dan menjaga kemerdekaan negara itu.

Kalau netralitas Swedia adalah persoalan identitas dan ideologi, di Finlandia itu persoalan eksistensi, kata Henrik Meinander. Bagian dari alasan Swedia bahkan dapat berdebat tentang keanggotaan NATO adalah karena mereka menggunakan Finlandia dan negara-negara Baltik sebagai "negara penyangga", ujarnya.

Finlandia mengabaikan netralitasnya setelah Uni Soviet kolaps. Mereka kemudian melihat ke Barat dan berusaha membebaskan diri dari lingkup pengaruh Soviet.

Iro Sarkka berpendapat bahwa bergabung dengan NATO dipandang sebagai langkah yang terlalu besar untuk diambil Finlandia pada awal 1990-an, ketika mereka baru saja melepas netralitasnya.

Namun waktu dan persepsi risiko telah berubah. Sekarang, sebagian besar warga Finlandia berkata mereka siap.

Hambatan apa yang mereka hadapi?

Selama berminggu-minggu, permohonan keanggotaan Swedia dan Finlandia ditahan oleh Turki. Setiap perluasan NATO harus disetujui oleh semua 30 anggota.

Pemerintah Turki mengklaim negara-negara Nordik mendukung apa yang disebutnya organisasi teroris, termasuk kelompok separatis Kurdi dan gerakan Gulen, yang dituding Turki melakukan percobaan kudeta pada 2016.

Kurdi membentuk 15-20% dari populasi Turki, dan telah dipersekusi oleh otoritas Turki selama beberapa generasi.

Sebagai imbalan atas dukungannya, Turki ingin Swedia dan Finlandia berhenti memberikan dukungan politik, keuangan, dan "senjata" kepada kelompok-kelompok tersebut.

Mereka juga ingin mereka melanjutkan penjualan senjata ke Turki dan menyerahkan orang-orang yang dituduh punya kaitan dengan kelompok teror.

Usai negosiasi berjam-jam di KTT NATO Madrid pada akhir Juni, menteri luar negeri dari Swedia, Finlandia, dan Turki akhirnya menandatangani pakta keamanan bersama yang membahas keprihatinan Turki.

Kepala NATO Jens Stoltenberg mengatakan Swedia telah setuju untuk meningkatkan upayanya pada permintaan ekstradisi Turki terhadap para tersangka militan. Kedua negara Nordik itu juga mengatakan mereka akan mencabut pembatasan penjualan senjata ke Turki, imbuhnya.

Sebagai gantinya, Turki akan mencabut hak vetonya terhadap Swedia dan Finlandia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI