Suara.com - Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi instrumen penting untuk memberikan kepastian hukum.
"Utamanya memberikan kepastian hukum dalam proses transaksi elektronik yang terkait dengan Undang-undang ITE," ujar Ismail dalam diskusi "UU ITE Payung Hukum Berbangsa dan Bernegara secara virtual, Kamis (30/6/2022).
Ismail menuturkan UU ITE bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap martabat, warga negara yang kemudian merasa tercemari oleh satu tindakan. UU ITE juga dianggap penting dalam melindungi martabat pejabat publik.
"Transmisi informasi baik yang dilakukan oleh orang per orang maupun juga mungkin oleh jurnalis yang kemudian dianggap merugikan. Bahkan undang-undang ini juga dianggap penting untuk melindungi martabat pejabat publik," tutur dia.
"Sekalipun kemudian melalui SKB (Surat Keputusan Bersama), ini diubah menjadi delik aduan. Jadi tidak lagi serta-merta aparat kepolisian bisa memproses tanpa adanya aduan yang terkait dengan pencemaran nama baik," sambungnya.
Ia menuturkan jika pakar menyebut UU ITE masuk kebebasan berekspresi, UU tersebut menjadi tidak produktif bagi kehidupan berbangsa dan negara. Sehingga tak cocok jadi payung bagi kehidupan berbangsa dan kenegaraan.
Senjutnya Ismail mengutip pernyataan Menko Mahfud MD yang menyebut UU ITE sebagai salah satu instrumen untuk melindungi warga negara dan tidak akan dicabut.
Menurutnya jika tak ada batasan yang bertanggung jawab penggunaan media elektronik seperti media sosial, akan terjadi saling melapor.
"Akan terjadi saring serang saling lapor dan seterusnya atau ya, karena nggak ada dasar hukumnya, makanya bisa melapor tapi saling hujat, yang terjadi semacamnya," kata dia.
Baca Juga: Menjadi Salah Satu Owner Holywings, Oh Segini Saham Milik Hotman Paris
Sehingga kata Ismail, ada tantangan untuk mewujudkan satu keseimbangan baru antara kebutuhan melindungi martabat manusia secara personal dan kepentingan akan keterbukaan informasi.
"Oleh karena itu pula salah satu agenda revisi (UU ITE) misalnya, disebutkan tidak dianggap sebagai pencemaran terhadap pejabat ketika kritik itu dianggap untuk kepentingan kolektif, sekalipun dalam prakitk dibedakan," papar dia.
Lebih lanjut, ia kemudian menyinggung kasus artis Nikita Mirzani yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kepolisian Resor (Polres) Serang Kota dalam kasus pencemaran nama baik. Dalam surat penetapan tersangka Nikita Mirzani dijerat UU ITE dan Pasal 311 KUHP.
"Kasus terbaru yang saya kira berhubungan dengan dan kemudian digunakan untuk menjerat adalah yang pertama adalah pertersangkaan Nikita Mirzani oleh kepolisian Serang itu juga dijerat undang-undang ITE," kata Ismail.
Selain itu juga kasus dugaan penistaan agama melalui promo minuman keras oleh Holywings. Dimana diketahui, Nikita Mirzani merupakan salah satu pemilik saham Holywings.
Adapun pekerja Holywings diduga melakukan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP. Pasal ini diselipkan ke dalam KUHP melalui Pasal 4 UU 1/PNPS/1965.
"Lalu juga promosi lewat media internet yang juga dilakukan oleh oleh Holywing yang keduanya mungkin berhubungan dengan Nikita Mirzani Misalnya ini juga jadi debatable. Belum lagi soal isu penistaan agama itu atau penistaan agama itu juga debetable bukan hanya UU KUHP undang-undang nomor 1 PNPS, tapi juga dalam Undang-undang dasar ITE sama saja," papar dia.
Di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif IPW Sugeng Teguh menilai UU ITE tak mempunyai pengaruh untuk memberikan satu penguatan kepada kehidupan bernegara.
Bahkan kata dia, aparat pemerintah yakni penegak hukum menjadi kerepotan dengan hadirnya UU ITE dalam menangani orang-orang yang merasa tercemarkan.
"Bahkan ada satu sisi dalam prakteknya pemerintah atau negara menjadi repot dan banyak mengeluarkan sumber daya khususnya penegak hukum untuk mengurus orang-orang yang sebetulnya tidak bermartabat, tapi merasa kehormatan atau martabatnya dicemarkan," tutur Sugeng.
Karena itu Sugeng menyarankan pasal kehormatan penyerangan dan martabat pribadi dan komunitas dicopot dari UU ITE.
"Undang-undang ITE terkait pasal yang terkait kehormatan penyerangan terhadap martabat martabat kehormatan pribadi itu dicopot saja, kemudian tentang kehormatan komunitas, itu juga dicopot saja karena ini menjadi beban," kata dia.
Menurtnya banyak orang yang ribut menggunakan medsos untuk kepentingan pribadinya.
Karena itu kata Sugeng, seharusnya negara tak perlu mengurus orang-orang yang ribut di media sosial yang menggunakan pasal UU ITE.
"Jadi itu tidak perlu diurus oleh negara untuk cukup menggunakan undang-undang yang lama revisi KUHP. Kemudian kalau mereka mau ada satu pemulihan hak hukum ke mereka itu, ya narasi dilawan dengan narasi," ucap Sugeng
"Jadi ruang publik itu menjadi ruang wacana narasi dengan narasi, pihak yang dengan kalah narasi, ya sudah harus menerima .Tidak perlu aparat hukum negara ditarik, dilibatkan menghabiskan sumber daya negara untuk mengurus kepentingan orang pribadi yang menurut saya tidak terhormat itu," tandasnya.