Pria Muda Arab Makin Banyak Gunakan Viagra dan Obat Anti Impoten, Mengapa?

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 30 Juni 2022 | 08:48 WIB
Pria Muda Arab Makin Banyak Gunakan Viagra dan Obat Anti Impoten, Mengapa?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di apotek miliknya yang terletak di kawasan bersejarah Bab al-Shaaria, pusat Kota Kairo, ahli herbal Rabea al-Habashi memperlihatkan racikan yang dia juluki "ramuan ajaib".

Nama Habashi dikenal sejumlah warga kota karena menjual afrodisiak dan pembangkit gairah seksual alami lainnya.

Selama beberapa tahun terakhir dia mengamati adanya perubahan selera dari para pelanggannya.

"Kebanyakan pria kini mencari pil biru yang mereka dapatkan dari perusahaan-perusahaan Barat," ujarnya.

Baca Juga: Brasil Beli Puluhan Ribu Butir Viagra untuk Tentara, Warganet Geram

Pengamatan Habashi klop dengan hasil sejumlah kajian yang menunjukkan kaum muda Arab semakin banyak membeli obat-obatan seperti sildenafil (dikenal dengan nama komersial Viagra), vardenafil (Levitra, Staxyn), dan tadalafil (Cialis).

Baca juga:

Meski demikian, sebagian besar pria muda yang BBC wawancarai di Mesir dan Bahrain membantah menggunakan obat untuk menangani lemah syahwat.

Mereka bahkan mengaku tidak tahu obat-obatan tersebut. Ada pula yang langsung menolak membahas topik tersebut karena menganggapnya "bertentangan dengan moral masyarakat".

Faktanya, berdasarkan kajian pada 2012, Mesir adalah pelanggan obat anti-impoten terbesar per kapita kedua di antara negara-negara Arab.

Baca Juga: Hati-hati! Lelaki yang Minum Obat Kuat Viagra Bisa Berisiko Kebutaan

Posisi pertama adalah Arab Saudi.

Al-Riyadh, harian Saudi yang menerbitkan laporan tersebut, memperkirakan saat itu warga Saudi telah menghabiskan US$1,5 miliar (Rp22,2 triliun) per tahun untuk obat-obatan anti-impoten.

Konsumsi warga Saudi tergolong 10 kali lipat lebih tinggi dari konsumen Rusia, yang populasinya lima kali lebih banyak, menurut surat kabar itu.

Baru-baru ini, hasil kajian the Arab Journal of Urology menunjukkan bahwa 40% responden pria muda Saudi pernah menggunakan obat seperti Viagra setidaknya sekali dalam hidup mereka.

Adapun Mesir, berdasarkan statistik resmi negara itu pada 2021, penjualan obat anti impoten di sana mencapai US$127 juta (Rp1,8 triliun) per tahun, yang setara dengan 2,8% dari seluruh nilai penjualan farmasi di negara tersebut.

Tekanan pria

Tingginya minat konsumen mendorong perusahaan lokal beraksi.

Pada 2014, obat anti impoten bernama Al-Fankoush muncul di supermarket-supermarket Mesir dalam wujud cokelat.

Al-Fankoush dijual seharga satu pound Mesir (Rp775 mengikuti kurs mata uang saat ini ). Namun, sesaat setelah beredar di pasaran, distribusi Al-Fankoush dihentikan apparat lantaran media setempat melaporkan bahwa obat itu juga dijual ke anak-anak.

Penggunaan obat anti impoten diketahui lebih banyak dipakai pria yang lebih tua ketimbang pria muda. Namun, di Yaman, data dari kementerian kesehatan setempat menunjukkan obat tersebut paling banyak dikonsumsi pria kelompok umur 20 hingga 45 tahun.

Laporan media di negara tersebut menyebut Viagra dan Cialis justru dipakai pria muda sebagai obat-obatan rekreasional saat pesta sejak awal perang sipil antara kubu pemberontak Houthi dan koalisi pimpinan Saudi pada 2015.

Mohamed Sfaxi, guru besar urologi dan bedah alat reproduksi, menekankan dalam wawancara dengan BBC bahwa obat-obatan semacam itu "bukan stimulan" dan seharusnya dipakai untuk menangani keluhan-keluhan yang dalam banyak kasus "dirasakan kaum lansia".

Sementara itu, seorang pakar seksualitas di Timur Tengah menilai kaum muda Arab mengonsumsi pil anti impoten karena faktor budaya.

"Alasannya boleh jadi merujuk ke masalah lebih besar yang dihadapi kaum muda Arab," jelas Shereen El Feki, wartawan Mesir-Inggris sekaligus penulis buku berjudul Sex and the Citadel: Intimate Life in a Changing Arab World.

Menanggapi hasil survei besar sokongan PBB tahun 2017 mengenai kesetaraan gender di Timur Tengah, El Feki menjelaskan, "Hampir semua responden pria khawatir soal masa depan dan bagaimana mereka akan menafkahi keluarga mereka. Banyak pria bicara mengenai tekanan besar menjadi seorang pria, sementara kaum perempuan menilai 'bagaimana pria bukan lagi pria'.

"Itu artinya para pria berada dalam tekanan dan kemampuan seksual terjalin dalam budaya maskulinitas, sehingga ada banyak tekanan pada kemampuan seksual," paparnya.

El Feki mengaitkan sorotan terhadap kemampuan seksual pada salah kaprah dan ekspektasi berlebihan yang diciptakan pornografi sehingga "mengubah pemikiran pria muda mengenai apa yang tergolong 'normal' ketika menyangkut kejantanan."

Persepsi sejarah

Walau penggunaan obat-obatan untuk keperluan seksual bisa dianggap fenomena modern dalam masyarakat Arab, konsumsi afrodisiak selalu menjadi bagian budaya sepanjang sejarah Arab.

Ibn Qayyim al-Jawziyya, seorang cendekiawan Muslim dan penulis penting pada abad ke-14, memasukkan koleksi resep-resep herbal yang bertujuan meningkatkan gairah seksual dalam rangkaian bukunya.

Menurut Shereen El Feki, dalam tradisi Arab dan Islam, "perempuan dipandang lebih punya kemampuan dan gairah seksual ketimbang pria". Sedangkan kaum pria merasa perlu "meningkatkan kemampuan seksualnya untuk menandingi" perempuan.

Pemikiran itu tercermin pada masa Kekaisaran Ottoman, tatkala Ahmed bin Suleiman menulis Sheikh's Return To Youth atas permintaan Sultan Selim I, yang berkuasa pada 1512 hingga 1520.

Buku tersebut merupakan ensiklopedia obat-obatan dan resep hebal untuk mengobati penyakit seksual sekaligus merangsang gairah seksual pria dan perempuan.

Ratusan tahun kemudian, banyak pria muda Arab masih mengandalkan obat dan resep herbal untuk urusan seksual sehingga ceruk pasarnya tidak loyo.

REKOMENDASI

TERKINI