Suara.com - Ribuan pemuka agama dan pemimpin suku dari seluruh Afghanistan akan berkumpul pekan ini untuk membahas isu-isu penting untuk pertama kali sejak Taliban mengambil alih kekuasaan di negara itu pada 2021.
Kelompok bersenjata itu telah diminta untuk menyertakan kaum perempuan dalam perhelatan tersebut.
"Pertemuan besar segera akan diadakan di Kabul," kata juru bicara pemerintahan Taliban, Zabihullah Mujahid.
Dia menambahkan bahwa para ulama dan pemimpin suku dari semua provinsi di Afghanistan akan berpartisipasi dalam pertemuan yang diusulkan oleh para ulama itu.
Pertemuan tersebut dimulai pada Rabu dan akan berlangsung selama tiga hari, kata sumber yang mengetahui masalah tersebut.
Sumber itu juga menyebutkan bahwa 3.000 orang akan hadir, namun belum ada agenda yang ditetapkan, dan para peserta akan mengangkat isu-isu yang ingin mereka diskusikan.
Sejauh ini, masih belum jelas apakah masalah penutupan sekolah menengah untuk anak perempuan akan dibahas, atau apakah perempuan akan ikut ambil bagian dalam pertemuan itu.
Tiga kelompok masyarakat sipil, yang mengadakan konferensi pers di Kabul pada Selasa (28/6), mengatakan mereka mendukung gagasan pertemuan dengan Taliban tetapi anggota masyarakat sipil dan perempuan perlu disertakan.
"Setiap keputusan tentang rakyat Afghanistan, terutama terkait perempuan, yang dibahas tanpa kehadiran perempuan, akan menjadi ketidakadilan," kata mereka.
Baca Juga: Sebut Taliban Tolak Dana Kiriman, PBB Akui Kesulitan Beri Bantuan Kemanusiaan ke Afghanistan
Sejak mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, Taliban telah memberlakukan lebih banyak pembatasan pada wanita, termasuk aturan yang mengharuskan mereka untuk menutupi wajah mereka dan membawa pendamping pria saat bepergian.
Jabatan-jabatan penting di pemerintahan semuanya ditempati laki-laki dan oleh anggota Taliban. Kelompok itu juga mengesampingkan rencana untuk menggelar pemilihan umum.
Pemerintah-pemerintah negara lain belum mengakui secara resmi pemerintahan Taliban.
Banyak pejabat negara Barat mengatakan Taliban perlu mengubah arah kebijakannya tentang hak-hak perempuan dan mewujudkan pemerintahan yang inklusif untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional.
Perubahan itu juga diperlukan agar Afghanistan bisa lepas dari sanksi yang sangat menghambat perekonomiannya. (Sumber: Antara/Reuters)