Sebuah Foto yang Menggemparkan Amerika dan Menjadi Lambang Hak Aborsi

SiswantoABC Suara.Com
Senin, 27 Juni 2022 | 15:48 WIB
Sebuah Foto yang Menggemparkan Amerika dan Menjadi Lambang Hak Aborsi
Ilustrasi aborsi. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di sebuah kamar motel, tubuh seorang perempuan terlihat membungkuk di atas handuk berlumuran darah.

Tanpa sehelai benang pun, perempuan tersebut meninggal sendirian setelah ditinggalkan seorang diri oleh kekasihnya yang membantu melakukan usaha aborsi tanpa penanganan profesional di tahun 1964.

Perempuan tersebut bernama Gerri Santoro.

Ketika foto mengejutkan dari tubuh yang belum diidentifikasi tersebut diterbitkan di majalah nasional, Gerri menjadi simbol gerakan pemberian hak aborsi di Amerika Serikat.

Baca Juga: Kasus Mahasiswi Aborsi Kandungan Berusia 5 Bulan di Kamar Kos, Polisi Ungkap Kondisi Janin

Usia Gerri ketika itu adalah 28 tahun.

Peringatan: Artikel ini berisi detail yang mungkin membuat pembaca merasa tertekan.

Tanpa izin keluarganya, foto hitam-putih Gerri muncul dalam artikel berjudul "Never Again", yang berarti sudah cukup, tak lama setelah Mahkamah Agung Amerika mengeluarkan putusan mengenai Roe v Wade, pada tahun 1973.

Keputusan penting tersebut telah memberikan hak pada warga Amerika untuk melakukan aborsi, di negara bagian mana pun mereka tinggal.

Hampir 50 tahun kemudian, kondisinya berbalik.

Baca Juga: Polrestabes Makassar Dalami Kejiwaan Tersangka Aborsi 7 Janin

Saat ini, aturan yang mengizinkan aborsi sejak putusan Roe akan ditinjau ulang, dengan setidaknya setengah dari Amerika diperkirakan akan melarang aborsi sepenuhnya.

Keponakan Gerri, Toni Elka, khawatir keputusan itu akan membahayakan kehidupan generasi perempuan.

Siapakah Gerri?

Gerri Twerdy dibesarkan bersama 14 saudara kandungnya di sebuah peternakan di pedesaan Connecticut.

Usianya 18 tahun ketika bertemu Sam Santoro, pria yang kelak menjadi suaminya, di halte bus.

Bahkan untuk awal 1950-an, mereka terhitung menikah cepat, dan tidak lama setelahnya, menurut para kerabat, Gerri menunjukkan tanda-tanda telah mengalami kekerasan fisik.

Pasangan tersebut tinggal bersama selama bertahun-tahun dan memiliki dua orang putri. Mereka sempat tinggal sebentar di California.

Namun Gerri kemudian kembali ke rumah masa kecilnya, membawa kedua putrinya bersamanya.

Kenangan Toni Elka tentang bibinya berbeda dengan yang dunia ketahui. Kebanyakan hanya mengetahui nama dan wajah Gerri di plakat para pendukung aborsi.

"Dulu dia hanyalah seorang perempuan muda. Orangnya benar-benar menyenangkan," kata Toni dari rumahnya di Boston.

"Dia suka datang ke rumah, menjemput kami semua untuk berenang, pergi ke pantai dan jalan-jalan. Sangat menyenangkan."

Gerri lalu mulai menjalin hubungan terlarang, dan hamil, dengan seorang pria bernama Clyde Dixon.

Tragedi di kamar motel

Dalam film dokumenter tahun 1995 berjudul "Leona's Sister Gerri", teman-teman Gerri bercerita tentang usaha perempuan tersebut untuk mengakhiri kehamilan karena takut sang suami mengetahuinya.

Seorang mantan detektif mengatakan pacar Gerri, Clyde sempat meminta arahan dan meminjam alat dari seorang teman yang istrinya adalah seorang dokter sehingga bisa melakukan aborsi sendiri.

Ketika prosedur tidak berjalan sesuai rencana, dia melarikan diri sebelum beralih profesi menjadi polisi.

Gerri mencoba menelepon rumah saudara perempuannya, Leona (Gordon), sebelum meninggal dunia, tetapi Leona sedang tidak di rumah.

Seorang pembersih motel menemukan mayat Gerri keesokan harinya.

"Saat itu saya tidak tahu bagaimana dia meninggal," kata Elka, yang saat itu berusia 12 tahun.

"Saya baru tahu bahwa dia menelepon ibu saya. Lalu dia meninggal.

"Dan ibu saya saat itu tidak ada di sana. Ibu saya sangat menderita."

Elka menggambarkan keluarganya adalah warga kelas buruh, dengan pendapatan yang sangat rendah.

Dia mengatakan ibunya berusaha untuk memroses kesedihannya, di samping harus bekerja di pabrik dan membesarkan lima anak.

"Dampaknya pada keluarga kami sangat terasa, saya tidak melebih-lebihkan," katanya.

"Saya benar-benar, sejujurnya merasa dan percaya bahwa setiap kami hancur pada hari itu — dan oleh situasi itu, yang tidak seharusnya terjadi.

"Karena faktanya jika bibi saya punya uang, dia pasti akan melakukan aborsi yang aman. Namun nyatanya tidak."

'Dia mewakili setiap perempuan'

Pada Januari 1973, hampir satu dekade setelah Gerri meninggal, Roberta Brandes Gratz bekerja sebagai jurnalis lepas di kota New York.

Dia baru menulis serangkaian artikel tentang akses aborsi dan sedang mengerjakan cerita fitur untuk majalah Ms, yang didirikan oleh aktivis feminis, Gloria Steinem.

"Aborsi sangat ilegal, tetapi banyak perempuan melakukannya," kata Brandes Gratz kepada ABC melalui telepon dari Manhattan.

Menurutnya, pada saat itu aborsi sering menjadi "keputusan hidup dan mati", tetapi pada 22 Januari 1973 tiba-tiba aborsi didefinisikan ulang sebagai hak semua orang Amerika.

"Itu adalah foto yang mengejutkan. Tapi sudah ada begitu banyak cerita perempuan lain yang mengejutkan saya," katanya.

Ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusannya Roe v Wade, warga Amerika mendapatkan akses nasional aborsi sampai sekitar 24 minggu usia kehamilan.

"Saya segera menulis ulang artikel itu bertepatan dengan putusannya, dan kami mengambil foto yang diamankan Departemen Kesehatan Connecticut," kata Brandes Gratz.

"Saya, dan editor di Ms, semuanya memiliki pandangan sangat mirip bahwa dia mewakili setiap perempuan, khususnya mereka yang berpotensi dipaksa melakukan aborsi ilegal."

Tetapi publikasinya mengejutkan dan membuat marah keluarga Gerri, termasuk saudara perempuannya, yang melihat majalah itu.

"Meskipun tidak menyebutkan nama, saya sadar bahwa ini adalah foto saudara perempuan saya," kata Leona kepada pembuat film Jane Gillooly.

"Itu membawa semua hal mengerikan yang saya coba lupakan ini kembali lagi mendatangi  pikiran saya," ujarnya.

Brandes Gratz yakin foto itu telah menjadi simbol kuat hingga sekarang.

"[Foto] itu menjadi lambang," katanya.

"Ini menunjukkan kepada dunia bagaimana nasib perempuan yang tidak bisa melakukan aborsi legal.

"Foto tersebut menggemakan semua yang perlu dikatakan tentang masalah aborsi dalam satu foto."

Terlepas dari reaksi awalnya, saudara perempuan Gerri, Leona kemudian menjadi bangga dengan foto itu.

Dalam film dokumenter tersebut, dia difilmkan di rapat umum, memegang poster bertuliskan: "Ini saudara perempuan saya."

"Ibu saya sangat, sangat mencintai adiknya. Dan dia mengutarakannya dengan benar," kata Elka.

"Dia berkata, 'Inilah yang terjadi ketika perempuan kehilangan hak untuk memilih'."

Hak-hak lain yang terancam hilang

Hakim Pengadilan Tinggi Clarence Thomas menulis bahwa pengadilan "harus mempertimbangkan kembali" putusan masa lalu lainnya yang memberi orang Amerika hak-hak tertentu.

Dia merujuk kasus-kasus kunci yang menjamin akses ke kontrasepsi, dan melegalkan hubungan sesama jenis dan pernikahan sesama jenis.

"Dalam kasus-kasus mendatang, kita harus mempertimbangkan kembali semua preseden proses hukum substantif pengadilan ini, termasuk Griswold, Lawrence, dan Obergefell," tulisnya.

Dengan melakukan itu, dia menegaskan ketakutan jutaan orang Amerika bahwa beberapa konservatif tidak akan puas hanya dengan membatalkan hak aborsi.

Mereka dapat menargetkan hak-hak lain yang telah diperoleh dengan susah payah.

Dengan berakhirnya Roe v Wade, kira-kira setengah dari negara bagian AS melarang atau mempersempit akses aborsi.

Besarnya implikasi kesehatan dan ekonomi dari keputusan Mahkamah Agung tidak dapat diremehkan.

Namun, keputusan itu—dan pendapat Hakim Thomas pada khususnya—telah mengguncang banyak pengamat hukum, termasuk Alexis Karteron, seorang profesor hukum dan direktur Klinik Hak Konstitusional di Universitas Rutgers.

"Hakim Thomas dan pendapatnya yang dengan tegas mengatakan bahwa pengadilan harus meninjau kembali sejumlah kasus proses hukum yang melibatkan isu-isu yang sangat penting," katanya.

"Misalnya hak untuk pernikahan sesama jenis, hak untuk berada dalam hubungan sesama jenis tanpa menghadapi kriminalisasi, dan hak untuk mengakses alat kontrasepsi."

Karteron, yang menggambarkan Hakim Thomas sebagai orang yang "sangat konservatif", mengatakan dia telah memperjelas posisinya.

"Dia benar-benar tidak pernah malu untuk mengatakan dengan tepat apa yang dia pikirkan," katanya.

Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI