Beberapa kali mendapat penanganan, Pika sempat divonis mengidap epilepsi. Namun pada akhirnya, kenyataan itu harus diterima Santi dan suaminya, Pika divonisi mengidap cerebral palsy.
Berjalannya waktu, dari tahun ke tahun hingga Pika beranjak remaja berusia 14 tahun saat ini, dia sudah tidak dapat melakukan apa-apa.
"Sekarang kondisinya enggak bisa jalan, enggak bisa ngapa-ngapain. Apa-apa dalam 24 jam tergantung dengan bantuan saya," ujar Santi.
Santi pada akhirnya mengetahui ganja bermanfaat untuk pengobatan Pika dari atasannya, saat dia masih bekerja di Bali di sebuah usaha busana. Atasannya tersebut kebetulan seorang warga negara asing, asal Makedonia. Di negara tersebut diketahui ganja dilegalkan untuk kebutuhan medis.
"Ketika dia pulang ke negaranya saat dikirimin foto, kata dia, 'Santi ini di negara ku untuk obat epilepsi. Kamu mau saya bawakan?' Saya lihat di botolnya itu, ada tulisan cannabis. Tapi kata dia, jangan deh, karena di Indonesia belum legal," ujar Santi mengingat percakapannya dengan atasannya.
![Arsip - Seorang pekerja merawat tanaman ganja di pertanian Rak Jang, salah satu pertanian pertama yang diberi izin oleh pemerintah Thailand untuk menanam ganja dan menjual produknya ke fasilitas medis, di Nakhon Ratchasima, Thailand, 28 Maret 2021. [ANTARA/Reuters/Chalinee Thirasupa/as]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/06/27/74583-tanaman-ganja.jpg)
Setelah percakapan itu, Santi kembali ke Yogyakarta bersama Pika dan suaminya pada 2015. Tanpa pernah terbersit dipikirannya menggunakan tumbuhan ilegal itu untuk pengobatan buah hatinya.
Di Yogyakarta, dia tetap melanjutkan pengobatan Pika dengan prosedural yang berlaku di Indonesia. Hingga pada suatu waktu dia bertemu dengan Dewi Sartika, seorang ibu yang memiliki anak dengan kondisi yang sama dengannya.
"Beliau kan mengajak Musa (anak dari Dewi Pratiwi) untuk berobat ke Australia untuk terapi ganja di sana. Nah itu kondisinya membaik, gejala-gejalanya berkurang. Jadi kan kita itu berpikir, dia itu pakai apa? Saya juga pengen anak saya membaik, tapi kan enggak bisa mendapatkan itu di Indonesia," ujar Santi.
Baginya untuk bisa ke luar negeri, demi bisa menyembuhkan Pika dengan menggunakan ganja secara medis, suatu hal yang sangat berat. Mengingat kondisi perekonomian keluarganya.
Baca Juga: Mau Kaji Secara Matang Soal Ganja Medis, Komisi III DPR RI: Tapi Bukan Legalisasi Untuk Kesenangan
Semenjak Pika divonis cerebral palsy pada akhir 2014, Santi memilih untuk tidak bekerja. Dia ingin fokus merawat sang anak. Sementara suaminya, seorang pelukis yang penghasilannya tak menentu. Selama Pika sakit pengobatannya dibantu oleh BPJS. Di luar itu mereka juga harus menanggung biaya lainnya yang tidak sedikit, yang tak dicover BPJS.