Kekerasan ke Perempuan di China Terjadi Lagi, Bisakah Misogini Diatasi'?

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 27 Juni 2022 | 14:18 WIB
Kekerasan ke Perempuan di China Terjadi Lagi, Bisakah Misogini Diatasi'?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pada suatu Jumat malam di sebuah restoran barbeku yang padat pengunjung di Kota Tanghsan, China, sekelompok perempuan sedang menikmati santap malam di sebuah meja. Tiba-tiba salah satu dari mereka dihampiri seorang pria.

Perempuan yang dihampiri itu lalu menghindari sentuhan dari pria tersebut. "Pergi," ujarnya.

Pria itu bereaksi. Dia memukul kepala perempuan itu dan mendorong si perempuan sampai terjatuh di lantai.

Teman-teman dari pria itu kemudian ikut menimpali. Mereka menggunakan kursi dan botol untuk memukul perempuan yang berkumpul dalam satu meja tadi. Beberapa di antaranya diseret keluar dan ditendang di bagian kepala.

Baca Juga: Pandemi Covid-19, Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Alami Peningkatan

Ini merupakan contoh kekerasan terhadap perempuan terbaru yang telah memicu kemarahan publik di China. Pada Januari lalu, berita tentang perempuan yang diikat dengan rantai di bagian lehernya, telah memicu kemarahan yang sama.

Baca juga:

Setiap kasus ini telah memantik kecaman di media sosial pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gerakan aktivisme yang jarang terjadi juga muncul akibatnya.

Warganet, khususnya para perempuan muda, melempar banyak pertanyaan mengenai kekuasaan pria dan misogini (kebencian terhadap wanita).

"[Aktivisme] ini sangat mengusik bagaimana pandangan orang-orang China atas masyarakat mereka sendiri dan khususnya, norma dan stereotipe yang menopangnya," kata Pichamon Yeophantong, warga China sekaligus peneliti di Universitas New South Wales.

Baca Juga: Pernikahan Dini Picu Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Bombana

Kekerasan endemik

Perempuan yang diserang di tempat umum oleh pasangan mereka "sangat umum disiarkan di internet," kata Kerry Allen, periset dan pemantau media massa China yang bekerja untuk BBC.

"Saya melihat rekaman video itu hampir setiap hari, baik kekerasan dalam rumah tangga yang difilmkan secara diam-diam atau video serangan yang diambil dari kamera pengawas."

Sebuah penelitian PBB tahun 2013 yang melibatkan 1.000 pria di sebuah daerah di China tengah menemukan bahwa lebih dari setengah responden mengaku pernah melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap pasangan mereka. Sebagian dari responden berdalih melakukan kekerasan untuk menjaga martabatnya.

Laporan PBB ini mengaitkan kekerasan berbasis gender dengan norma yang mengakar di China. Negara ini baru menetapkan kekerasan dalam rumah tangga sebagai perbuatan pidana pada 2016.

Dalam masyarakat China, "kekerasan, kecakapan seksual, dan penggunaan kekuatan dalam berbagai kesempatan" tetap menjadi matra maskulinitas, begitu temuan laporan itu.

Tapi para pengamat mengatakan, ada juga keengganan untuk ikut campur dalam persoalan yang secara umum dilihat sebagai urusan pribadi antara pasangan.

Allen mengatakan, ketika tinggal di China pada dekade lalu, dia menyaksikan sejumlah kekerasan yang dialami perempuan pada tengah hari bolong, di mana "kelompok pengamat hanya menonton".

Itu pula yang terjadi di Tangshan, meskipun korban tidak mengenal orang-orang yang menyerangnnya dan mereka bukanlah pasangan.

Dan sama juga seperti kejadian di Xuzhou, di mana seorang perempuan dirantai lehernya di sebuah gubuk di luar rumahnya.

Suaminya berdalih, dia mengikat istrinya yang menderita sakit mental, yang membuatnya menjadi ancaman bagi orang lain. Tapi penyidikan polisi mengkonfirmasi bahwa istrinya adalah perempuan korban 'pengantin pesanan' pada tahun 1990-an.

Rekaman video dari Xuzhou itu baru muncul dan viral setelah seorang vlogger menemukannya saat berkeliling kampung. Fakta bahwa bahwa butuh waktu lama untuk mengetahui peristiwa kekerasan itu membuat banyak orang terhenyak.

"Dia ini manusia, bukan barang. Setelah punya delapan anak dalam waktu 20 tahun, dia baru diketahui sebagai orang yang dijual? Tak satupun pejabat pemerintahan yang terlibat dalam persoalan ini bebas dari kesalahan," kata seorang warganet di platform media sosial Wiebo.

Seruan untuk perubahan

Banyak perempuan di China terkejut dengan kekerasan dalam kasus di Tangshan maupun Xuzhou, terutama karena tingkat kejahatan yang rendah di China, seiring pengawasan yang tinggi.

"Saat bicara kepada generasi muda, mahasiswi khususnya, banyak dari mereka mengekspresikan keterkejutan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih ada dalam kehidupan masyarakat modern China," kata Yeophatong.

Dengan peristiwa ini, banyak perempuan untuk pertama kalinya terlibat dalam pembicaraan dinamika gender.

Kemunculan seruan perubahan sosial paling menonjol datang dari kalangan milenial China yang aktif di media sosial dan dari mereka sangat menyadari gerakan global seperti #MeToo.

Sejumlah unggahan paling populer di Weibo tentang dua kasus yang memprihatinkan tadi, masih secara luas mempromosikan gagasan patriarki Konfusianisme tentang bagaimana perempuan diperlakukan di masyarakat China.

"Kami perlu mengakui bahwa masih ada paksaan di lingkungan kami yang mendukung, mendorong, dan menggerakan pria untuk terlibat dalam kekerasan berbasis gender terhadap perempuan," ujar warganet dalam sebuah unggahan.

Banyak juga yang menyatakan ketidakpuasan terhadap pihak berwenang dalam menyikapi berbagai kasus kekerasan tadi. Sekelompok warganet menuduh pejabat pemerintahan meremehkan peran gender dalam berbagai kasus yang muncul.

Dalam kasus di Tangshan, tanggapan awal kepolisian dan media massa berfokus pada hubungan penyerang dengan geng lokal dan catatan kriminal mereka.

Sebuah laporan mengatakan, perempuan yang dirantai itu dihampiri dan diajak berbicara. Tapi di Weibo, banyak warganet keberatan pada narasi itu dan mengatakan bahwa perbuatan itu merupakan pelecehan seksual.

Kemarahan terhadap kasus perempuan yang dirantai juga memicu aksi protes publik yang jarang terjadi di China.

Dalam peristiwa terpisah, dua perempuan mengemudi melintasi sejumlah wilayah di China. Mereka berusaha menyelamatkan perempuan yang dirantai tersebut.

Sejumlah warga yang berunjuk rasa juga mengunakan masker, memotret diri mereka sendiri dengan simbol-simbol, dan mengunggahnya di internet. Salah satu toko buku memasang literatur feminis.

Apakah ini titik balik?

"Kaum perempuan sekarang marah dan bicara lantang. Tapi saya tidak optimistis bahwa ini akan membawa perubahan yang mendasar," kata Yaqiu Wang, peneliti di Human Rights Watch.

Dalam menghadapi tekanan publik yang sangat besar, pihak berwenang menanggapi kedua kasus ini dengan melakukan penyelidikan dan membentuk satuan tugas.

Di tengah kemarahan terhadap kondisi perempuan di Xuzhou, mereka menjanjikan membongkar kasus perdagangan manusia dengan langkah awal memeriksa surat nikah.

Lalu dalam kasus serangan di restoran, pihak berwenang meningkatkan patroli malam di Tangshan, dan memecat seorang kepala polisi setempat. Dua orang yang sebelumnya ditangkap juga ditetapkan menjadi tersangka.

Namun Guo Jing, pemerhati kasus KDRT di China, menyebut pihak berwenang biasanya memperlakukan kejahatan berbasis gender dengan kaca mata tunggal, yaitu dengan menangkap dan menghukum para pelaku.

"Insiden ini tidak dilihat dari sudut pandang struktural; tidak ada perpektif jangka panjang atau solusi institusional," katanya kepada BBC China.

Pada Maret lalu, sejumlah anggota parpol di Kongres Rakyat Nasional menyerukan penguatan hukum dalam perlindungan perempuan. Mereka mendorong hukuman berat bagi pelaku perdagangan manusia.

Meski begitu, harapan itu belum terealisasi. Para petinggi Partai Komunis China juga belum memberi sinyal adanya perubahan.

Pada saat yang sama, kebijakan sensor oleh pemerintah Chinia masih berlaku ketat. Saat kasus kekerasan di Tangshan mencuat, Weibo menghapus akun yang dituduh "menghasut konfrontasi gender".

Utas lama tentang perempuan yang dirantai, yang mencakup diskusi tentang seksisme, juga telah dihapus.

Wang mengatakan hampir tidak mungkin untuk mempertahankan aktivisme akar rumput, terutama karena China telah memberangus kelompok hak asasi manusia dalam beberapa tahun terakhir.

Para pengamat juga khawatir bahwa kasus kekerasan yang terjadi juga menekan aktivisme hak-hak perempuan: feminis yang vokal telah ditangkap dan kampanye MeToo telah dihentikan.

Kasus terbaru, termasuk yang menyangkut atlet tennis Peng Shuai, juga memicu kekhawatiran, bahwa kasus kekerasan seksual yang disuarakan akan dibungkam.

"Kekuatan yang dulu digunakan untuk menekan pemerintah demi kemajuan gender yang lebih baik, telah dimusnahkan," kata Wang.

"Semua ini menjadi petanda buruk bagi hak-hak perempuan di China."

Berita terkait yang mungkin menarik buat Anda:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI