Suara.com - Resolusi damai atas konflik Ukraina dan Rusia yang diupayakan pemerintah Indonesia dinilai pengamat bisa terjadi sebelum KTT G20 terselenggara jika Presiden Jokowi juga bisa meyakinkan negara-negara Barat untuk menghentikan segala sanksinya terhadap Rusia.
Pendiri Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, mengatakan resolusi damai penting disuarakan karena empat bulan berlalu sejak invasi Rusia, banyak negara berkembang dan negara berpengasilan rendah merasakan dampaknya mulai dari krisis pangan, energi, dan keuangan.
Mantan Dubes RI untuk Rusia, Hamid Awaludin, menyarankan kepada Presiden Jokowi agar menggunakan pendekatan ekonomi ketika berdialog dengan kedua pemimpin negara itu demi menghindari reaksi negatif.
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengatakan kunjungan Presiden Jokowi ini merupakan perjalanan pertama pemimpin Asia ke dua negara tersebut yang diharapkan mampu menangani krisis itu.
Baca Juga: Jelang Kunjungan Jokowi, Intensitas Serangan Rudal di Ukraina Meningkat
- Rusia tuduh negara Barat politisasi pertemuan menteri kesehatan G20 di Yogyakarta
- Perang di Ukraina: Mayoritas publik Indonesia kagumi Putin, pakar khawatir 'bangsa kita dicap hipokrit'
- KTT G20 di Bali: Presiden Ukraina 'tak bisa hadir secara langsung' jika perang masih berkecamuk
Indonesia, kata Pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja, adalah negara yang cukup disegani di Kawasan Asia. Selain karena posisi geografis, kepentingan ekonomi negara-negara Barat dan Rusia di Asia yang besar, membuat daya tawar Indonesia menyuarakan resolusi damai "bisa didengar".
Dalam urusan diplomatik, hubungan Indonesia dengan Rusia maupun Ukraina juga "sangat baik". Indikator yang paling nampak dari relasi itu, tidak adanya penolakan atas rencana kunjungan Jokowi dari Presiden Volodymyr Zelensky maupun Presiden Vladimir Putin pada akhir Juni ini.
"Dengan tidak ada penolakan itu artinya satu keterbukaan dari dua pihak untuk bertemu. Seberapa berhasil? Tergantung kepiawaian tim Presiden Jokowi," ujar Dinna Prapto Raharja kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (23/06).
Empat bulan sejak invasi Rusia dilancarkan ke Ukraina, menurut Dinna, belum ada satupun pihak yang memiliki keberanian untuk keluar dari narasi negara-negara Barat yang terus memanas-manasi situasi.
Padahal rakyat di kedua negara baik Rusia maupun Ukraina sudah menginginkan perdamaian lantaran banyak korban berjatuhan.
Baca Juga: Baru Sampai Jerman, Jokowi Diteriaki Masyarakat Indonesia yang Tinggal di Sana
Dampak dari perang itu pula, negara-negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah -yang berusaha tidak memihak- berada dalam kondisi terjepit lantaran mengalami krisis pangan, energi, dan keuangan.
"Jadi pentingnya Indonesia kali ini bicara untuk mengingatkan bahwa situasinya genting, bukan cuma buat Rusia dan Ukraina tapi negara lain ikut merasakan dampak negatif, terutama negara berkembang."
Karena itulah, bagi Dinna, suara yang mendorong resolusi damai perlu didengungkan.
"Saya harap Presiden Jokowi bukan hanya menyuarakan maunya Indonesia tapi datang dengan sudah mendengar suara-suara dari negara-negara G20 lainnya atau negara ASEAN, jadi lebih menguatkan."
Namun begitu keberhasilan Indonesia mewujudkan resolusi damai bergantung pada beberapa hal.
Pertama, tidak mengandalkan diplomasi megaphone atau mengeluarkan pernyataan di media massa yang berpotensi menaikkan eskalasi.
Menurut Dinna dalam situasi sensitif seperti ini merekam sudut pandang pihak yang bertikai harus didasari rasa percaya dan berlangsung secara intens.
"Kalau satu kali bertemu saya rasa enggak akan ada hasil. Jadi butuh proses. Pertama bisa membuat mereka bicara terbuka dan mau menerima pandangan dari Indonesia, penting."
"Seandainya bisa memahami gambaran besar atas situasi terkini akibat konflik itu, sudah dua keuntungan."
Kedua, sejauh mana Indonesia bisa meyakinkan negara-negara Barat untuk menghentikan segala sanksinya terhadap Rusia. Sebab jika negara-negara Barat terus memojokkan Rusia dan berusaha memainkan "war of attrition" maka perang akan terus berlangsung.
"War of attrition itu seperti menguji ketahanan lawan dan menguras sumber daya mereka agar semakin menderita. Ini perang yang keji buat saya."
"Kalau lapisan sanksi masih dilontarkan dan enggak ada penurunan, artinya (perang) masih panjang."
Presiden Jokowi disarankan gunakan pendekatan ekonomi
Senada dengan Dinna, mantan Duta Besar RI untuk Rusia Hamil Awaludin menilai Indonesia mempunyai potensi untuk berdialog dengan kedua negara yang berkonflik.
Meski Indonesia pernah mengutuk Rusia ketika menginvasi Afghanistan pada 1979, tapi setelah itu hubungan Indonesia dengan negara Beruang Merah itu selalu harmonis.
Dalam kerjasama bilateral, Indonesia salah satu negara yang memiliki cukup banyak alutsista dari Rusia.
Mengutip data Kementerian Pertahanan, Indonesia saat ini memiliki 16 unit Sukhoi Su-27 dan Su-30.
Pembelian di masa reformasi pertama kali dilakukan pada 2003, sebanyak 2 unit Su-27 dan 2 unit Su-30. Terakhir Indonesia membeli 6 unit sukhoi Su-30 pada 2012.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kembali menjajaki pembelian jet tempur Rusia Sukhoi pada 2018. Tapi pembelian itu disebut batal karena diduga ada ancaman sanksi dari AS.
"Itu artinya hubungan bilateral kita dengan Rusia sangat baik, enggak ada masalah. Begitu juga dengan Ukraina. Malah 30% kebutuhan gandum disuplai dari Ukraina," imbuh Hamid Awaludin kepada BBC News Indonesia.
"Jadi kita punya modal untuk berbicara dengan kedua negara itu dalam konteks meredakan ketegangan dan menghentikan perang," tukasnya.
Posisi Indonesia yang tidak memihak, kata dia, juga memiliki keuntungan untuk bisa didengarkan oleh Rusia dan Ukraina.
"Kalau misalnya Eropa, enggak mungkin didengar Rusia sebab berafiliasi dengan NATO. AS apalagi."
Akan tetapi, Hamid menyarankan Presiden Jokowi agar tidak menggunakan pendekatan politik dalam berdiplomasi nanti.
Sebab akan menimbulkan lebih banyak potensi reaksi negatif bagi kedua negara yang tengah berkonflik.
"Urusan politik itu urusan like or dislike."
Cara yang bisa dipakai adalah dengan pendekatan ekonomi.
"Karena ekonomi itu netral, kebutuhan semua orang."
"Misalnya ke Ukraina, kalau perang terus berlanjut Indonesia enggak bisa beli gandum, lalu pendapatan Anda dari mana? Ke Rusia, kalau perang lalu bagaimana kelanjutan kerja sama Sukhoi? Jadi hitung-hitungan ekonomi."
Menlu: Misi lawatan Presiden Jokowi untuk mendorong perdamaian
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, sebelumnya memastikan rencana kunjungan Presiden Jokowi ke Rusia dan Ukraina pada 26-28 Juni 2022.
Misi lawatan Jokowi ke dua negara Eropa timur yang sedang berselisih itu adalah untuk mendorong semangat perdamaian.
Sebagai presidensi G20 dan anggota Champion Group Crisis Response yang dibentuk Sekjen PBB, Jokowi memilih untuk berkontribusi dalam masalah geopolitik ini, kata Retno Marsudi.
Dia juga mengatakan, kunjungan presiden menunjukkan kepedulian terhadap isu kemanusiaan. Presiden juga akan mencoba memberikan kontribusi menangani isu pangan.
"(Masalah itu) diakibatkan karena perang, dampak dirasakan semua negara terutama negara berkembang dan penghasilan rendah. Dan (presiden akan) terus mendorong spirit perdamaian," kata Retno dalam jumpa pers virtual Kementerian Luar Negeri Rabu (22/06).
Perang Rusia-Ukraina berdampak pada krisis pangan
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, puluhan ribu warga sipil dan militer jatuh dalam perang. Jutaan warga Ukraina mengungsi keluar dari negaranya. Konflik ini juga berdampak pada peningkatan ancaman krisis pangan dan energi global.
Negara-negara Afrika dinilai sangat terpengaruh oleh krisis yang berkembang. Harga gandum, minyak goreng, bahan bakar, dan pupuk, setelah Ukraina diserang, makin melonjak.
Rusia dan Ukraina menyumbang hampir sepertiga dari pasokan gandum global. Rusia juga merupakan pengekspor pupuk global utama dan Ukraina adalah pengekspor utama minyak jagung dan bunga matahari.
Moskow menolak tuduhan yang menyebut pihaknya sengaja memblokir ekspor gandum dari Ukraina. Moskow sebaliknya menuding kenaikan harga pangan dan bahan bakar global disebabkan sanksi Barat yang dikenakan pada Rusia setelah operasi militer.
Dampak energi hampir terjadi di seluruh penjuru dunia dengan naiknya harga pasokan. Eropa yang bergantung pada minyak dan gas Moskow, terpaksa harus mencari mitra lain karena sanksi yang telah diterapkannya.