Suara.com - Banner karya kelompok seniman Taring Padi asal Yogyakarta yang ditampilkan di Kassal, Jerman diturunkan setelah dituding bermuatan "antisemitisme" alias anti Yahudi oleh publik dan pemerintah Jerman.
Di sisi lain, pakar dan kritikus seni di Indonesia menilai bahwa banner itu lebih dimaksudkan untuk mengkritik militerisme dan otoritarianisme di era Orde Baru di Indonesia, seperti yang juga dijelaskan oleh Taring Padi.
Baliho berjudul "People's Justice" atau "Keadilan Rakyat" itu ditampilkan di salah satu pameran seni kontemporer terbesar di dunia, Documenta 15, yang digelar setiap lima tahun sekali di Kota Kassel.
Karya seni yang dipamerkan pada pameran tahun ini dikurasi oleh kelompok seniman kolektif yang berbasis di Jakarta, ruangrupa, yang namanya selalu ditulis menggunakan huruf kecil dan tanpa spasi.
Baca Juga: Tolak Dukung Perang di Ukraina, Ketua Rabi Yahudi Moskow Tinggalkan Rusia
"Kami kaget ketika baliho People's Justice karya Taring Padi, dituduh antisemitis. Kami gagal membaca bahwa simbol tersebut ada di dalamnya. Tapi di atas semuanya, kami sama sekali tidak punya tendensi ke arah itu," demikian tegas Ade Darmawan dari ruangrupa kepada wartawan Lea Pamungkas yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada Jumat (24/6).
Kelompok ruangrupa juga telah menyampaikan permintaan maaf tertulis.
Hal senada dinyatakan Setu Legi dari Komunitas Taring Padi.
"Gambar-gambar itu sama sekali tidak dimaksudkan sebagai kebencian yang ditujukan pada kelompok etnis atau agama tertentu, tetapi sebagai kritik terhadap militerisme dan kekerasan negara. Kami menggambarkan keterlibatan pemerintah negara Israel dengan cara yang salah - dan kami meminta maaf. Antisemitisme tidak memiliki tempat di hati dan pikiran kami" jelasnya dengan suara lelah.
Pakar seni dan kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Faruk Tripoli, menilai simbol-simbol yang diperdebatkan dalam banner itu lebih bertujuan untuk merepresentasikan otoritarianisme, namun kritik yang terkandung lebih mengarah pada konteks politik di Indonesia yang selama 32 tahun dikuasai Orde Baru.
Baca Juga: Ulasan Buku Membongkar Metode-Metode Pembelajaran Brilian Bangsa Yahudi
Namun menurut Faruk, simbol-simbol itu "memang bermasalah" karena mengandung pencitraan yang mengandung "hegemoni kolonial".
Sebaliknya, kritikus seni rupa di Indonesia, Bambang Bujono, menilai karya itu bersifat "karikatural" dan dia "tidak menemukan antisemitisme" dalam karya itu.
Namun, perbedaan pemaknaan atas simbol yang digunakan sebaiknya, kata dia, dibahas melalui diskusi intelektual.
"Dari karyanya sendiri, itu sangat Indonesia. Apa konteks itu nggak ditangkap? Itu seperti lukisan Bali, karikatural karena ada figur Mossad, James Bond, lalu MI6, seharusnya ditanggapi secara santai," kata Bambang kepada BBC News Indonesia.
Baca juga:
- Kritik 'Jokowi 404: Not Found' berujung penghapusan mural: 'mengapa kita tidak boleh protes?'
- Pameran 'Revolusi! Kemerdekaan Indonesia' di Belanda dan istilah periode 'Bersiap' yang memantik polemik
- Sediakan patung Hitler untuk selfie, museum di Yogyakarta dikecam dunia
Sebelumnya, seruan untuk menurunkan baliho "Keadilan Rakyat" itu telah disuarakan oleh Kedutaan Besar Israel di Jerman yang menyebut bahwa "itu bukanlah kebebasan berekspresi, melainkan ekspresi dari anti-semitisme gaya lama".
https://twitter.com/IsraelinGermany/status/1538892816604094466?s=20&t=5bA6smzU5JbvahM7tie3zg
Menteri Kebudayaan Jerman, Claudia Roth, yang awalnya gigih mempertahankan prinsip kebebasan artistik, akhirnya berkomentar keras. Pernyataannya dikutip berbagai media Jerman (226), bahwa antisemitisme seharusnya tidak mendapat tempat dalam masyarakat maupun tempat seni di Jerman.
Roth menuturkan bahwa manajemen dan kurator documenta telah berulang kali meyakinkan bahwa tidak ada antisemitisme pada pameran seni itu.
"Saya mempercayai itu. Kepercayaan itu telah dikhianati," kata Roth.
Sebagai tindak lanjut atas peristiwa ini, Roth melalui keterangan tertulis, menyatakan perlu ada "reformasi struktural yang fundamental terhadap documenta".
https://twitter.com/BundesKultur/status/1539986225934770178?s=20&t=zt_D-oqj22N5C8L9MfyxQg
Perdebatan terkait antisemitisme telah mewarnai Documenta 15 telah terjadi sejak Januari lalu, ketika pihak yang menamai dirinya sebagai Aliansi Melawan Antisemitisme Kassel menuduh ruangrupa mendukung aksi boikot terhadap Israel.
Mereka juga mempertanyakan keikutsertaan kelompok seniman kolektif asal Palestina, The Question of Funding, yang mendukung gerakan pemboikotan Israel dalam pameran ini.
Kemudian pada Mei, sejumlah orang tidak dikenal mencoret dinding di ruang pameran yang rencananya akan menjadi tempat bagi karya-karya The Question of Funding dengan grafiti bertuliskan "187" dan "PERALTA".
Penyelenggara meyakini "187" bermaksud sebagai ancaman pembunuhan apabila merujuk pada pasal terkait pembunuhan di hukum pidana California, AS.
Sedangkan "PERALTA" diyakini mengacu pada pemimpin kelompok sayap kanan Spanyol, Bastian Frontal, bernama Isabel Media Peralta yang dihukum atas tuduhan menghasut kekerasan terhadap Muslim.
Pada saat itu, ruang rupa menyatakan bahwa mereka menolak melanggar kebebasan artistik, namun mendukung netralitas politik.
ruangrupa juga bersedia untuk berdialog terkait hal ini, hanya saja rencana dialog itu dibatalkan oleh penyelenggara.
'Terjebak hegemoni kolonial'
Menurut Faruk Tripoli dari UGM, kehadiran figur berhidung bengkok serta sosok tentara berkepala babi dan bertopi Mossad dalam baliho yang diperdebatkan itu "mengandung hegemoni kolonial".
"Citra yang ditampilkan seperti hidung bengkok itu kan menunjukkan stereotip kolonial [Yahudi], ini kan sudah masalah," ujar Faruk.
"Kemudian karena di situ juga ada simbol-simbol [terkait holokos] Nazi, maka menjadi wajar yang ada di pikiran masyarakat Jerman ketika melihat itu sudah pasti berasumsi bahwa itu antisemit."
Oleh sebab itu, Faruk mengatakan dirinya bisa memaklumi reaksi yang timbul di Jerman.
"Tanpa dipamerkan di Jerman pun, itu harus dikoreksi sebetulnya. Wajar menjadi masalah karena Jerman sendiri sedang berusaha menebus dosanya, tidak mau mengulang itu."
"Memang saatnya kita kembali belajar menggunakan wawasan yang lebih baru terkait hegemoni ini. Karena kalau dibilang seni itu bebas, itu hanya ilusi saja, tetap kita harus melihat konteksnya," ujar dia.
Diskusi intelektual
Kritikus seni rupa di Indonesia, Bambang Bujono, menilai perbedaan perspektif terkait pembacaan karya seni tersebut seharusnya dibahas melalui dialog intelektual.
"Bukan ditindaklanjuti lewat campur tangan kekuasaan [pemerintah] seperti ini, diturunkan begitu saja tanpa dialog," ujar Bambang.
Menurut Bambang, figur tentara bersenjata yang ada pada baliho tersebut lebih merupakan simbol yang digunakan oleh Taring Padi untuk menggambarkan opresi militer yang terjadi pada era Orde Baru.
Konteks itu, kata dia, juga perlu dipahami untuk membuka perspektif lain dari karya seni tersebut.
"Mereka tidak melihat ini sebagai karya seni dari Indonesia. Jadi emang perlu dijelaskan konteksnya dari sudut pandang Indonesia," tuturnya.
Terkait batasan-batasan dalam penggunaan simbol-simbol dalam seni, Bambang mengatakan hal itu sulit dirumuskan.
"Karena kalau semuanya harus mengacu pada batas-batas sensitivitas, tidak akan ada habisnya, sebab dalam satu lukisan dengan yang lain, sebuah simbol yang sama bisa jadi memiliki makna yang berbeda," kata Bambang.
Ketegangan suasana dan 'patahnya hegemoni'
Sempat terjadi suasana tegang dan ketidakpastian pascapenurunan baliho People's Justice, demikian menurut Arif Yudi dari Jatiwangi art Factory (JaF).
"Bukan satu dua kali, tiba-tiba banyak penduduk setempat kami temui selagi belanja misalnya, justru meminta maaf kepada kami atas ketidaknyaman yang kami alami," jelasnya dengan nada heran.
Documenta15 adalah Documenta terbesar, yang menyertakan 67 komunitas seniman dari berbagai penjuru dunia, dan menampilkan lebih dari 1.000 karya. Sebagian besar berasal dari dunia bagian selatan, kecuali komunitas Black Lives Matters dari Belanda.
Menurut banyak pengamat, Documenta kali ini adalah yang pertama menawarkan ruang lingkup lebih luas kepada seniman dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Atau dalam istilah sejarawan seni dari Universitas Leiden, Janneke Wesseling, dalam koran Belanda NRC (22/6), untuk pertama kalinya hegemoni seniman Barat dipatahkan.
Kassel, Documenta, dan sejarahnya
Bagi penduduk Kassel, pameran Documenta yang berlangsung lima tahun sekali ini adalah peristiwa yang ditunggu. Bisa jadi karena berkat Documenta, perhatian dunia internasional tertuju ke kota berpenduduk sekitar 200.000 orang ini.
Documenta pertama kali digelar pada 1955 dengan pemrakarsanya, Arnold Bode (1900-1977). Bode seorang pelukis dan guru yang terlibat konflik tajam dengan rezim Nazi pada Mei 1933.
Lembaran kelam pernah dialami kota ini dikarenakan kebrutalan Nazi. Militer pimpinan Adolf Hitler itu menghancurkan semua sinagoga, institusi, dan bangunan Yahudi di Kassel.
Pengeboman terberat terjadi pada 22 Oktober 1943. Dalam satu malam, 10.000 orang tewas dan 80% perumahan hancur. Kota tua dengan banyak rumah setengah kayunya merupakan target ideal dalam strategi yang disebut pengeboman moral.
Sementara Documenta sendiri kerap diwarnai dengan kejutan. Seni dan politik kerap bertemu di sini, misalnya situasi menyedihkan dari Afrika, Asia dan Amerika Latin dikecam melalui instalasi dan pertunjukan. Seniman China, Ai Weiwei, juga pernah hadir di sini dengan protesnya terhadap situasi kemanusiaan di China.
Seperti apa karya seni yang dituding anti Yahudi?
Baliho karya Taring Padi yang dibuat pada 2002 itu menampilkan barisan tentara bersenjata, salah satunya sosok berkepala babi, menggunakan syal Bintang Daud, serta helm bertuliskan "Mossad", yang merupakan badan intelijen Israel.
Di Jerman, lambang Bintang Daud berkaitan dengan masa lalu kelam ketika Nazi mewajibkan orang-orang Yahudi mengenakan lencana itu untuk mengidentifikasi dan mengopresi mereka.
Kembali ke gambar yang ada di banner karya Taring Padi, terdapat pula figur laki-laki berjanggut di pipi kanan dan kirinya, dengan mata merah, gigi runcing, serta hidung bengkok--gambaran karikatural yang kerap dipakai Nazi untuk mendiskreditkan orang Yahudi.
Figur tersebut mengenakan topi bersimbol SS, satuan khusus Nazi yang terkenal kejam, figur inilah yang memicu kritik keras. Sementara di sisinya terlihat sejawatnya dari M15 Inggris, dan KGB Rusia.
Dikutip melalui situs documenta fifteen, Taring Padi menyatakan bahwa baliho itu "tidak dimaksudkan untuk dikaitkan dengan antisemitisme dalam cara apa pun".
Taring Padi juga mengklaim bahwa mereka "telah berkampanye untuk mendukung dan menghormati keragaman".
"Kami sedih bahwa detil dari baliho ini dimaknai secara berbeda dari maksud sebenarnya. Kami minta maaf atas luka yang timbul dalam konteks ini. Karena itu, dengan sangat menyesal, kami menutupi karya itu," tulis Taring Padi.
"Karya ini menjadi monumen duka atas ruang dialog yang tidak mungkin terlaksana pada saat ini. Monumen ini, kami harap, akan menjadi titik awal untuk berdialog."
Baca juga:
- Museum Holokos di Minahasa: Apa yang jadi keberatan, Zionisme atau Yudaisme?
- Mengenal komunitas Yahudi di Indonesia
Menurut Taring Padi, karya Keadilan Rakyat merupakan kampanye melawan militerisme dan kekerasan yang mereka alami selama kediktatoran militer Suharto selama 32 tahun di Indonesia, serta warisannya yang masih terasa sampai saat ini.
Semua tokoh yang tergambar dalam spanduk itu, kata Taring Padi, merujuk pada simbol-simbol yang umum dikenal dalam konteks politik Indonesia.
"…misalnya birokrasi korup, jenderal militer dan prajuritnya yang dilambangkan dengan babi, anjing, dan tikus untuk mengkritik sistem kapitalis yang eksploitatif dan kekerasan militer."
Spanduk ini sebelumnya juga pernah ditayangkan di sejumlah pameran, antara lain Jakarta Street Art Festival pada 2004, pameran restrospektif Taring Padi di Yogyakarta pada 2018, serta pameran Seni Polifonik Asia Tenggara di Nanjing, China pada 2019.
Setu Legi, Taring Padi: Banner mencoba mengekspos hubungan kekuasaan di balik ketidakadilan
Setu Legi menjadi anggota Taring Padi sejak komunitas ini didirikan tahun 1998.
Berikut wawancaranya dengan wartawan Lea Pamungkas yang melaporkan untuk BBC News Indonesia:
Dalam banner tersebut banyak sekali simbol-simbol yang jika dilihat sekilas tidak memiliki kaitan satu sama lain: 007, Mossad, KGB, M15, Bintang Daud, dan sebagainya. Dan ini pula tampaknya yang kemudian disorot dan jadi masalah. Dapat Anda jelaskan?
Banner tersebut kami buat tahun 2002. Manakala kami tengah hidup di bawah kediktatoran militer, di mana kekerasan negara, eksploitasi alam, dan kebebasan berpendapat menjadi kenyataan sehari-hari.
Seperti semua karya seni kami, banner tersebut mencoba untuk mengekspos hubungan kekuasaan yang kompleks yang berperan di balik ketidakadilan.
Rezim Orde Baru Soeharto adalah salah satu instrumen, namun secara struktural ini berkait dengan instrumen-instrumen negara yang lain dengan karakter penindas yang sama, baik pada masa lalu seperti yang dilakukan Nazi, atau Mossad atau M15. Di sini ada instrumen negara, atau militer dalam bentuk kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia tahun 1990-an secara struktural karakter tersebut sangat dominan, dan tidak bisa tidak karakter tersebut adalah warisan atau kontribusi daerah kekerasan penindasan sebelumnya.
Jadi figur-figur Mossad, KGB, M15 dan lain sebagainya harus dilihat sebagai satuan holistik tentang penindasan. Karena jika dilihat secara zoom maka dengan sendirinya dia akan dimaknai dengan cara yang lain.
Maksud Anda dilihat secara zoom atau pembesaran?
Tanpa hendak menarik permintaan maaf dan penyesalan kami bahwa banner tersebut telah melukai masyarakat Jerman --khususnya masyarakat Yahudi.
Lebih lagi kami belajar dari kesalahan ini, bahwa figur-figur tersebut memiliki makna tertentu dalam konteks sejarah Jerman; saya melihat jika titik pandang pada banner tersebut dilakukan secara zoom atau pembesaran pada satu-satuan figurnya; seperti barang di bawah mikroskop. Maka seketika ia muncul interprestasi yang lain.
Seperti dalam dunia perwayangan, kita dalam saat bersamaan dalam satu layar lebar kita dikenalkan dengan berbagai karakter tokoh. Misalnya dalam Perang Bharatayuda, kita dihadapkan dengan berbagai tokoh dengan ragam karakternya. Jika tokoh tersebut dicabut dari konteksnya, maka detil-detil karakternya bakal muncul lebih tajam dan kehilangan konteks perannya yang signifikan.
Dan ini yang saya kira terjadi kali ini. Kalau banner tersebut dilihat secara keseluruhan, dan tidak dipreteli satu-satu figurnya, maka bakal muncul pemahaman berbeda. Figur-figur itu adalah bagian dari instrumen penindasan.
Banner itu dikerjakan oleh 20 orang bahkan lebih. Dengan masing-masing mengerjakan dengan wawasan pikiran dan kontribusinya. Sebuah narasi besar dengan satuan-satuan kecil yang kami rangkai bersama.
Bahwa kemudian ada figur-figur yang menyinggung perasaan masyarakat Yahudi, kami sama sekali tidak memiliki tendensi itu.
Siapa Taring Padi?
Taring Padi merupakan kelompok seni yang didirikan di Yogyakarta pada 21 Desember 1998, tak lama setelah rezim Orde Baru tumbang.
Mereka meyakini bahwa seni merupakan alat untuk menyampaikan gagasan dan bisa menjadi media pendidikan untuk semua kalangan.
Mereka menentang keras paham "Seni Untuk Seni" yang diyakini selama kurun Orde Baru. Dikutip dari Kompas.com, Taring Padi meyakini bahwa seni dan politik tidak bisa dipisahkan.
Peneliti budaya Heidi Arbuckle melalui bukunya berjudul Taring Padi: Praktik Budaya Radikal di Indonesia (2010), memaparkan bahwa Taring Padi didirikan oleh sekelompok anak muda berpendidikan seni rupa sambil membayangkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), meski minimnya akses dokumentasi terhadap karya-karya Lekra membuat Taring Padi tidak banyak mengenal estetika visual yang dianut Lekra.
Berdirinya kelompok ini juga merupakan respons mereka terhadap perubahan situasi politik di Indonesia pada 1998 yang sangat monumental.
Mereka membuat karya propaganda yang mengangkat isu kerakyatan, lalu menggandakan dan memasangnya di sejumlah ruang publik di Yogyakarta tanpa izin. Akibatnya, banyak karya mereka dibakar oleh aparat.
"Bagi Taring Padi, karya menjadi alat untuk aksi. Perlakuan orang atas karya itu menjadi hal yang lain," tulis Heidi.
Reportase tambahan oleh wartawan Lea Pamungkas di Belanda