Contoh Khutbah Idul Adha 2022: Tiga Makna di Balik Ibadah Haji

Rifan Aditya Suara.Com
Jum'at, 24 Juni 2022 | 18:00 WIB
Contoh Khutbah Idul Adha 2022: Tiga Makna di Balik Ibadah Haji
khutbah idul adha 2022: Tiga Makna di Balik Ibadah HajiĀ (Pixabay)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sebentar lagi umat Islam akan menyambut datangnya Idul Adha 2022/1443 H. Peringatan Hari Raya Idul Adha disebut juga sebagai lebaran haji yang didentik dengan penyembelihan hewan qurban. Sama seperti Idul Fitri, saat Idul Adha umat muslim juga akan mengerjakan sholat Ied yang dilengkapi dengan khutbah Idul Adha 2022

Isi khutbah Idul Adha 2022 biasanya berisikan kisah-kisah yang melatar belakangi terjadinya peringatan Idul Adha sekaligus sebagai waktu untuk menunaikan ibadah haji. Khutbah diberikan kepada jamaah supaya mereka mengingat kembali akan kebesaran serta karunia Allah SWT terhadap manusia. 

Berikut ini Suara.com berikan satu contoh khutbah Idul Adha 2022 yang penuh inspirasi dan semangat bagi umat Islam untuk terus beriman kepada Allah SWT. Dilansir dari laman NU Online, kutbah Idul Adha 2022 bertemakan "Tiga Makna di Balik Ibadah Haji".

Simak contoh isi khutbah Idul Adha 2022: 

Baca Juga: Khutbah Idul Adha Singkat 2022: Pelajaran Utama Hari Raya Kurban

Jamaah shalat Idul Adha hafidhakumullah, 

Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu dari empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan di dalam agama Islam. Tiga bulan haram lainnya yaitu Muharram, Rajab, dan Dzulqa’dah. Keistimewaan dari bulan Dzulhijjah ditandai dengan adanya ibadah-ibadah tertentu yang tidak mungkin dapat dikerjakan umat Islam di bulan-bulan lainnya. 

Ibadah tersut yaitu haji dan kurban. Pengertian Dzulhijjah mejurut bahasa adalah frasa yang terdiri dari kata dzû (memiliki) dan al-hijjah (haji). Dinamakan demikian karena hanya di bulan ke-12 dalam kalender hijriah ini, umat Islam dapat melaksanakan ibadah haji. 

Haji menjadi rukun Islam yang kelima. Karena masuk dalam rukun atau pilar, ibadah ini tentu bukan ibadah yang remeh dan sembarangab. Haji wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam yang mampu. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan secara fisik, ekonomi, juga keamanan. 

Dengan kata lain, ketika seseorang sudah memiliki biaya yang mencukupi, kesehatan fisik yang memadai, serta kondisi yang aman dan memungkinkan ia sampai ke Tanah Suci, maka ia wajib melaksanakan ibadah haji tersebut. 

Baca Juga: Sudah Disiapkan Gratis di Embarkasi, Jemaah Haji Dilarang Bawa Zamzam ke Pesawat

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 97 yang menyatakan: 

Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” 

Namun demikian, ibadah haji juga kadang berkaitan dengan pengalaman spiritual seseorang. Karena ada banyak orang Muslim kaya raya yang tak kunjung menunaikan ibadah haji bahkan hingga akhir hayatnya. Sebaliknya, juga ada banyak orang bergaji rendah atau penghasilan yang tidak tetap, justru ia diberi kemampuan untuk ibadah haji. Semangat dan pengalaman ruhaniah seseorang amat berpengaruh terhadap seberapa kuat niatnya untuk berhaji itu tumbuh. 

Jamaah shalat Idul Adha hafidhakumullah, 

Dalam ibadah haji, banyak sekali kegiatan atau fisebut dengab manasik yang tak serta merta bisa ditangkap alasannya secara nalar manusia. Jika kita diperintahkan untuk berpuasa Ramadhan setiap setahun sekali, orang mungkin dapat menjelaskan secara rasional dari sudut pandang medis. Demikian juga dengan perintah untuk berzakat, yang bisa ditemukan alasannya secara sosial dan ekonomi, yakni agar harta tidak hanya berputar pada segelintir orang tertentu saja. 

Namun Tidak demikian dengan ibadah haji. Rukun kelima dalam agama Islam ini terdapat sarat ritual-ritual yang bisa dipahami dengan memosisikannya sebagai simbol-simbol yang penuh makna. 

Pertama yang bisa ditangkap dari ibadah haji adalah makna tauhid. Makna ini tersirat dalam posisi Ka’bah sebagai sentra atau pusat kedatangan para jamaah calon haji dari berbagai belahan dunia. Jutaan orang dari berbagai penjuru bangsa berkumpul dalam satu pusat, tanpa dibedakan.

Ini menjadi simbol bahwa tujuan dari keseluruhan hidup ini adalah satu, yakni Allah SWT. Penjulukkan Ka’bah sebagai “baitullah” (rumah Allah) harus benar-benar dipahami dalam makna tersebut, bukan berarti Allah bersemayam di dalam Ka’bah. 

Begitu pula dengan Hajar Aswad yang terletak di sudut timur dari laut Ka'bah. Kedudukannya yang sangat mulia hinggajutaan orang berebut menyentuh dan menciumnya sehingga tidak boleh sampai membuat mereka menyembahnya. Anjuran menyentuh dan mencium Hajar Aswad muncul karena untuk mengikuti sunnah Nabi. Sebagaimana dikatakan Sayyidina Umar bin Khattab: 

Artinya: “Sungguh aku tahu, engkau hanyalah batu. Tidak bisa mendatangkan bahaya atau manfaat apa pun. Andai saja aku ini tak pernah sekalipun melihat Rasulullah shallahu alaihi  wa sallam menciummu, aku pun enggan menciummu.” (HR: Bukhari)  

Kedua adalah makna kemanusiaan. Pakaian ihram yang dikenakan oleh orang-orang saat memulai ibadah haji adalah simbol kesamaan dan kesetaraan semua umat manusia.

Dalam ihram seluruh umat dianjurkan mengenakan pakaian berwarna putih. Bagi jamaah haji laki-laki diwajibkan mananggalkan semua pakaian berjahit dan menggantinya dengan hanya menggunakan dua helai kain. 

Kaum laki-laki juga dilarang mengenakan topi atau peci, sedangkan jamaah perempuan dilarang mengenakan cadar. Ritual ini menandakan dari kesatuan identitas manusia sebagai hamba Allah, dan melepaskan identitas-identitas selainnya. Seperti suku, ras, nasab, jabatan politik, kelas ekonomi, dan juga ketokohannya di dunia. Pemulung, selebritis, ulama, menteri, atau presiden mereka datang ke Tanah Suci sebagai hamba Allah, bukan sebagai orang dengan kedudukan duniawinya. 

Makna kedua ini sekaligus mempertegas dari makna pertama, yakni nilai tauhid. Konsekuensi dari menjunjung tinggi tauhid adalah mengakui bahwa tidak ada yang lebih mulia selain Allah SWT. Manusia pada hakikatnya berada dalam satu kesetaraan. Standar kedudukan manusia hanya bisa dinilai dari sudut pandang Allah saja, melalui tingkat ketakwaannya. Manusia paling mulia adalah mereka yang paling bertakwa kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya: 

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha-Mengetahui lagi Maha-Mengenal.” (QS al-Hujurat: 13) 

Tak hanya pakaian-pakaian “kehormatan” duniawi yang dilepas, jamaah haji dari berbagai bangsa dan negara juga bersama-sama untuk meninggalkan tempat asalnya dan berkumpul di tempat yang sama. Pemandangan ini lebih tampak ketika mereka sedang bersama-sama melakukan wukuf di Arafah. 

Mereka semua harus berdiam di lokasi yang sama dan di bawah terik matahari yang sama. Ini menandakan bahwa sesungguhnya semua manusia siapa pun itu, pada akhirnya akan kembali pada Dzat yang tunggal yaitu Allah SWT. Ibadah haji sebagai gambaran bahwa manusia harus kembali ke fitrah aslinya sebagai hamba, baik ketika hidup maupun ketika mati. 

Ketiga adalah makna napak tilas sejarah dari kenabian. Haji juga menjadi momen untuk mengenang jejak nabi-nabi terdahulu, khususnya Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan tentubya Nabi Muhammad. Perjalanan mereka bukanlah sejarah hidup yang memiliki makna kosong, melainkan mengandung berbagai pelajaran yang penting untuk diingat dan dipelajari. 

Ritual melontar Jumrah, misalnya, adalah jejak permusuhan Nabi Adam terhadap setan yang mengganggunya. Kita diingatkan tentang pentingnya selalu bersikap waspada terhadap berbagai tipu daya musuh terlaknat tersebut. 

Begitu juga tentang ritual Sa’i yang menyimpan sejarah dari perjuangan Siti Hajar mencari air untuk putranya, Ismail, ketika ditinggal sang suami, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Ia harus lari-lari yang berulang sampai tujuh kali.

Menjadi simbol kegigihan ikhtiar yang tak kenal putus asa. Hingga akhirnya pertolongan Allah pun datang yang ditandai dengan memancarnya air secara tiba-tiba dari bawah kaki Nabi Ismail. Mata air itu kemudian sekarang kita kenal sebagai sumur Zamzam. 

Jamaah shalat Idul Adha hafidhakumullah, 

Allah tak mewajibkan haji untuk setiap orang sebagaimana shalat fardhu. Kewajiban haji hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah mampu. Untuk yang sudah atau sedang berhaji, penting baginya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan menjalankan kewajiban ini dengan memenuhi segala ketentuan haji.

Dan juga makna-makna dalam segenap ritual yang dijalankan. Bagi mereka yang belum mampu ke Tanah Suci, cukup untuk berikhtiar semampunya dan menyerap makna haji untuk kemudian kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Haji merupakan sebuah perjalanan suci, bukan wisata untuk meraih kebanggaan diri. Karena itu, bagi yang belum diberi kemampuan menunaikan haji maka tak perlu berkecil hati selama kita selalu berusaha menjadi pribadi yang bertakwa dengan memegang prinsip tauhid, menghargai kemanusiaan, dan menjalankan ketentuan syariat sebagaimana diajarkan Rasulullah. Wallahu a’lam. 

Itu tadi contoh khutbah Idul Adha 2022 singkat namun penuh makana serta semangat untuk meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Semoga perayaan Idul Adha kali ini menjadikan kita sebagai umat yang senantiasa mau berubah menjadi yang lebih baik. Amin Ya Rabbal Alamin.

Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI