Suara.com - Kualitas udara Kota Jakarta secara berturut-turut berada di urutan teratas kota dengan polusi tertinggi di dunia, pada pengukuran udara di pagi hari sejak 15 Juni hingga 20 Juni 2022.
Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengatakan kualitas udara yang tidak sehat dirasakan warga Jakarta jelang hari Ulang Tahun DKI Jakarta ke-495 pada tanggal 22 Juni 2022.
"Satu hal yang sudah tidak bisa dibantah lagi, bahwa polusi udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat dalam beberapa hari ini. Data-data ini mengacu pada data resmi yang dimiliki pemerintah yaitu KLHK dan DLH DKI Jakarta," ujar Bondan dalam jumpa pers secara virtual, Selasa (21/6/2022).
Bondan menyebut cuaca menjadi salah satu penyebab kualitas udara yang tidak sehat. Namun, kata dia masih ada sumber utama pencemar udara yakni sumber bergerak dan tidak bergerak.
Baca Juga: Tidak Sepakat Udara Jakarta Terburuk Sedunia, Menteri LHK: Nanti Saya Kasih Datanya
"Salah satu penyebabnya memang cuaca, tetapi penyebab utama lainnya adalah masih adanya sumber pencemar udara (bergerak dan tidak bergerak) yang terbukti belum bisa dikendalikan serius melalui kebijakan yang seharusnya diambil oleh pemerintah," ujarnya.
Bondan menuturkan kalau berdasarkan data IQAir pada Senin (20/6/2022) pukul 06.00 WIB, kadar polusi Jakarta mencapai 205 US AQI yang masuk ke level sangat tidak sehat (very unhealthy).
Sedangkan data Selasa pagi (21/6/2022), pukul 06.33 WIB, Jakarta masih berada di urutan tinggi dengan udara paling berpolusi dengan 154 US AQI, di bawah Beijing (176 US AQI) dan Kuwait (154 US AQI).
Bondan mengungkapkan terjadi peningkatkan Particulate Matter 2.5 atau PM.25 ketika dini hari dan pagi hari.
"Hal ini terjadi karena tingginya kelembaban udara, sehingga menyebabkan peningkatan proses adsorpsi atau perubahan wujud dari gas menjadi partikel atau dikenal dengan istilah secondary air pollutants," tutur Bondan.
Baca Juga: Kondisi Udara Jakarta Hari Ini: Masih Tak Sehat, Warga Diimbau Pakai Masker Di Luar Ruangan
Pada kesempatan yang sama Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup ICEL, Fajri Fadhillah menuturkan polusi udara yang terjadi di Jakarta adalah permasalahan lintas batas.
Adapun sumber pencemar udara kata Bondan terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara
"Polusi udara yang terjadi di Jakarta adalah permasalahan lintas batas. Sumber-sumber pencemar udara dari luar Jakarta, terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, cukup signifikan berkontribusi terhadap memburuknya kualitas udara Jakarta," ucap Fajri.
Minta Menteri LHK Lakukan Pengawasan
Fajri meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menjalankan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap gubernur Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta dalam mengupayakan pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing.
"Untuk melakukan upaya pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing," ucapnya.
Pemerintah pusat dan pemerintah provinsi kata Fajri tidak lagi perlu saling tuding ataupun berdebat mengenai sumber pencemar udara di Jakarta.
Ia menuturkan seharusnya mereka dengan cepat menyusun langkah-langkah pengendalian pencemaran udara yang lebih ketat bersama.
"Baku mutu emisi baik untuk kendaraan bermotor maupun untuk industri seperti pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil harus diperketat. Kedua sumber pencemar udara sama-sama perlu diperketat," ungkapnya.
Sementara itu, Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Sirait memaparkan data BMKG mencatatkan konsentrasi PM2,5 di Jakarta dan sekitarnya mengalami lonjakan dalam beberapa hari terakhir, jauh melebihi ambang aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hasil pantauan konsentrasi PM2,5 di BMKG Kemayoran (Jakarta) kata Jeanny menunjukkan bahwa sepanjang Juni 2022 ini, konsentrasi rata-rata PM2.5 berada pada level 41 µg/m³(mikrogram per meter kubik) yang cenderung meningkat pada dini hari hingga pagi hari.
Ia menyebut sampai saat ini pemerintah pusat dan daerah terkesan lepas tangan dengan permasalahan polusi dalam beberapa hari ini dan hanya menyalahkan cuaca.
Padahal kata dia, September tahun lalu, 32 warga Jakarta bersama Koalisi IBUKOTA telah dimenangkan dalam gugatan warga negara atas polusi udara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Namun, faktanya, warga ibu kota masih belum bisa menikmati kemenangan tersebut dengan mendapatkan udara bersih.
"Hal ini sangat memprihatinkan. Kemenangan warga belum mutlak tercapai karena porses banding dari pemerintah (pusat dan daerah) seolah tidak bersedia taat pada perintah pengadilan," paparnya.
"Proses banding ini seolah-olah menjadi celah bagi pemerintah untuk menunda upaya pengendalian polusi udara di DKI Jakarta alias buying time, padahal setiap harinya warga ibu kota bertaruh nyawa untuk bisa menghirup udara bersih," sambung Jeanny.
Karena itu Koalisi IBUKOTA, kata Jeanny, berharap gerakan bersama dari masyarakat Jakarta dan sekitarnya harus lebih banyak terjadi, untuk mendesak pemerintah pusat dan daerah melakukan pengendalian polusi udara di ibu kota dan wilayah sekitarnya.
"Hal ini tidak saja untuk warga Jakarta tetapi untuk hak hidup yang lebih baik untuk seluruh rakyat Indonesia."