Suara.com - Kualitas udara di DKI Jakarta dalam beberapa hari terakhir tercatat sebagai yang terburuk di dunia berdasarkan situs IQ Air Index.
Kualitas udara yang memburuk diasumsikan lantaran aktivitas kegiatan bekerja sudah kembali normal atau WFO (Work From Office)
Co founder penyedia aplikasi pengukur kualitas udara, Nafas, Piotr Jakubowski membantah bahwa polusi udara yang buruk karena mulai normalnya aktivitas bekerja di kantor atau work from office. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas udara yang memburuk.
"Selama beberapa hari yang lalu, ada orang yang menginformasikan bahwa polusi udara yang buruk disebabkan oleh kembalian WFO. Itu statementnya salah. Ada banyak faktor di luar WFO yang pengaruh kepada udara buruk," ujar Piotr yang dikutip Suara.com dari akun twitternya @piotrj , Selasa (21/6/2022).
Baca Juga: Anak Jokowi, Gibran Rakabuming Dipertimbangkan PDIP Maju Pilgub DKI Atau Jateng di 2024
Piotr menjelaskan bahwa salah satu tipe polusi udara yang paling berbahaya di Indonesia yaitu Particulate Matter 2.5, atau PM2.5. Bahkan kata Piotr ukuran debunya dapat masuk ke paru-paru.
"PM2.5 berbahaya karena ukuran "debunya" kecil banget sampai bisa masuk kepada paru-paru kita. Sayangnya, paru-paru manusia nggak seperti filter, nggak bisa 'dicuci' atau diganti," ucapnya.
Bahkan kata Piotr berdasarkan report Air Quality Life Index (AQLI) tahun 2021, polusi udara menurunkan harapan hidup di Indonesia hampir 7 tahun.
Dia pun menjelaskan dampak WFO kepada polisi udara berdasarkan rumus dengan menghitung sumber ditambah atmosfer sumber dikurangi industri, pembakaran sampah, pabrik, transport, listrik dan lainnya sebagai kontrol penuh.
"Untuk membahas impactnya WFO kepada polusi udara, harus kita ngelihat rumusnya dulu. Parahnya Polusi Udara = Sumber + Atmosfer Sumber - industri, pembakaran sampah, pabrik, transport, listrik dan lain-lain (Kontrol Penuh)," tutur Piotr.
Baca Juga: Udara Jakarta Tidak Sehat Hari Ini 21 Juni 2022
Sementara yang tak bisa dikontrol penuh yakni atmosfer cuaca, geografi, angin, hujan, dan lain-lain.
Piotr mengungkap ada banyak sumber produsen polusi udara. Yaitu semua yang bisa dibakar dan yang mempunyai asap, memproduksi polusi PM2.5.
"Kenapa full control? Karena semua sumber ini (in theory) dihentikan," papar dia.
Sedangkan kata Piotr atmosfer yaitu manipulator polusi udara. Dimana bumi mempunyai beberapa hal termasuk geografi, kondisi cuaca dan lain-lain yang berdampak kepada seberapa parah polusi udara.
Piotr kemudian menjelaskan terkait Planetary Boundary Layer (PBL) yang merupakan sehelai atmosfer yang dinamis.
Kata dia, tergantung dari kondisi bumi (suhu udara etc) jaraknya bisa beda dari beberapa meter sampai beberapa km di atas bumi.
Hal ini kata Piotr penting karena di siang hari suhu udara tinggi maka PBL Tinggi juga tinggi. Sehingga banyak ruang untuk partikel PM2.5 bergerak dan konsentrasi polusi rendah.
Berbeda di malam hari suhu udara rendah karena PBL Rendah dan tidak ada ruang untuk partikel PM2.5 bergerak, konsentrasi polusi Tinggi (Data dari @nafasidn).
Karena itu kata Piotr, dibandingkan siang hari, polusi udara jauh lebih parah pada malam hari.
"Ini terjadi akibat Planetary Boundary Layer ini, tapi juga karena faktor meteorologi yang kita akan membahas selanjutnya," papar dia.
Lebih lanjut, Piotr juga memaparkan terkait penggantian musim berdampak kepada polusi PM2.5 karena ada perbedaan faktor. Diantaranya faktor hujan, angin, arah angin
suhu udara. Kemudian musim hujan, hujan, angin, polusi dan musim kemarau yakni hujan, angin dan polusi.
"Ternyata, angin bukan hujan lebih berdampak kepada adanya polusi udara atau nggak. Ada Angin - (turunnya) Polusi Rendah. Tidak Ada Angin - (naiknya) Polusi Tinggi," kata Piotr.
Piotr melanjutkan secara lebih detail, impactnya angin kepada polusi udara bisa dilihat dari data Lebaran 2022 di bulan Mei kemarin. Kata dia, ada beberapa hari dimana polusinya tinggi sesudah banyak orang mudik.
"Ini terjadi karena ada kekurangan angin, insight dari @nafasidn," ucap dia.
Piotr menuturkan jika dilihat WFO, dimana WFO artinya semua orang ke kantor naik kendaraan dan fix polusi udaranya tinggi.
Logikanya kata dia dengan WFH terbalik, artinya tak ada mobil dan tak ada polusi. Namun saat PPKM Darurat terjadi kenaikan polusi udara PM2.5.
Ia mengungkapkan data dari Nafas, secara rata-rata di Jabodetabek, terjadi kenaikan polusi udara Particulate Matter 2.5, atau PM2.5 sebanyak 12 persen di waktu PPKM darurat. Kemudian di Kuningan terjadi penambahan polusi PM.2.5 17%, penambahan polusi PM.2.5 Di Bekasi 24% dan penambahan polusi PM.2.5 Di Bogor Barat yaitu %.
"Nope. Dengan data @nafasidn bisa ngelihat bahwa PSBB tidak ada impact signifikan. Tapi kalau angin & hujan balik," ungkap Piotr.
Karena itu kata mantan CMO Go-Jek itu menyebut bahwa kembalinya aktivitas WFO saat ini, bukan alasan polusi udara yang meningkat. Pasalnya ada faktor dari luar atmosfer yang berdampak pada polusi udara
"Jadi moral of the story, WFO bukan alasan adanya polusi udara tinggi. Ada faktor yang diluar tangan kita (atmosfer) yang berdampak signifikan kepada polusi," katanya.
Sebelumnya, kualitas udara di Jakarta berada di peringkat pertama yang terburuk di dunia berdasarkan data di situs IQ Air, Senin (20/6/2022) pagi. Adapun Jakarta berada di angka 196 yakni kategori kualitas udara tidak sehat.