Suara.com - Rencana kebijakan cuti melahirkan enam bulan dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) disebut menjadi angin segar bagi para pekerja perempuan.
Namun kalangan pengusaha meminta rencana itu dipertimbangkan lagi karena "berpotensi membebani perusahaan secara finansial dan non-finansial".
DPR, sebagai pencetus RUU, mengatakan akan mencari solusi agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Banyak orang menilai, rencana pemberian hak cuti melahirkan selama enam bulan adalah kebijakan yang positif, apalagi jika bertujuan memperbaiki tumbuh kembang generasi masa depan.
Baca Juga: RUU KIA Dinilai Vital, Puan Maharani: Cuti Melahirkan 6 Bulan Bisa Cegah Stunting
Meski begitu pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gajah Mada, Tadjudin Nur Effendi, menilai kebijakan itu bisa berpotensi menimbulkan diskriminasi bagi pekerja perempuan.
"Dari sisi kepentingan anak memang bagus, tetapi implikasinya luar biasa itu nanti," kata Tadjudin kepada BBC News Indonesia, Senin (20/06).
"Bisa jadi implikasinya adalah untuk mengurangi beban biaya itu, mungkin bisa saja perusahaan mengurangi penerimaan pekerja lajang perempuan, atau bisa jadi nanti ketika kontrak, perusahaan mengajukan, 'Saya mau menerima kamu kalau kamu bersedia tiga tahun tidak menikah'.
"Itu kan juga gawat, jadi ada kemungkinan diskriminasi di situ," ujarnya.
Baca juga:
Baca Juga: Pro Kontra Usulan Cuti Hamil dan Melahirkan 6 Bulan, Keuntungan Atau Malah Ancaman Buat Ibu?
- Ratusan buruh busana terkenal di Jakarta 'terpaksa sembunyikan kehamilan'
- Angin segar perjuangan cuti ayah yang baru memiliki anak di Indonesia
- Tingkat kesuburan dunia akan turun drastis, dampaknya akan 'sangat mengkhawatirkan' bagi masyarakat
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaja Kamdani, menyebut wacana kebijakan baru itu memberatkan pengusaha, meski sebenarnya pihaknya "ingin mendukung" kebijakan tersebut.
"Sejujurnya ini dilema bagi pelaku usaha. Namun tidak bisa kami pungkiri juga bahwa perluasan hak cuti melahirkan bagi ibu maupun ayah memiliki dampak signifikan terhadap perusahaan," kata Shinta melalui pesan singkat.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PKB, Ibnu Multazam, mengatakan lembaganya akan menerima saran dan kritik dari pihak manapun dalam pembahasan RUU yang akan diajukan sebagai RUU Inisiatif DPR itu.
"Nanti kan kami tinggal bahas, kami sinkronkan keberatan-keberatan dari teman-teman pengusaha," ujar Ibnu.
Pekerja perempuan takut terpinggirkan
Di tengah sambutan baik terhadap wacana cuti melahirkan enam bulan, muncul sejumlah ketakutan bahwa nantinya peraturan tersebut membuat perusahaan lebih memilih mempekerjakan laki-laki ketimbang perempuan.
Tadjudin mengakui itu memang bisa menjadi potensi masalah yang dilahirkan oleh peraturan tersebut, meski tidak semua sektor terdampak karena ada posisi tertentu di dunia kerja yang lebih tepat diisi oleh perempuan.
"Perusahaan merasa terbebani kalau cuti ditambah enam bulan. Untuk perusahaan tertentu, aturan itu mungkin saja. Tapi mungkin ada tenaga ahli tertentu yang mereka masih manfaatkan," tuturnya.
"Itu memang tergantung situasi profesionalisme pekerja perempuan dan kebutuhan perusahaan. Menurut saya, anomali-anomali itu yang harus diawasi oleh pemerintah," kata Tadjudin.
Saat ini, aturan cuti melahirkan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan masa cuti tiga bulan dan pembayaran gaji penuh.
Dalam RUU KIA, cuti melahirkan paling sedikit enam bulan dengan ketentuan pembayaran upah tiga bulan pertama secara penuh, sementara tiga bulan berikutnya sebesar 75%. Selain lebih lama dari segi durasi, biaya yang harus dikeluarkan perusahaan juga lebih besar.
Pengusaha merasa terbebani
Shinta Widjaja mengatakan rencana pemberian hak cuti enam bulan bagi ibu dan cuti maksimal 40 hari bagi suami memiliki dampak yang signifikan terhadap perusahaan, baik dari sisi finansial, maupun non-finansial.
"Ini bukan hanya masalah peningkatan beban finansial (biaya tenaga kerja), tapi juga beban non-finansial lain, seperti rekrutmen dan pelatihan tenaga pengganti, beban manajemen untuk mengatur subtitusi pekerja, peralihan tugas dari pegawai yang cuti kepada rekan kerja yang memiliki fungsi tugas yang kurang lebih sama di perusahaan," kata Shinta.
Oleh sebab itu, Shinta meminta pertimbangan yang matang dan objektif terkait manfaat dan beban dari rencana kebijakan tersebut. Tidak hanya dari sisi kesejahteraan sosial, kata dia, tapi juga dari sisi produktivitas dan daya saing industri dan ekonomi nasional.
"Kami harap pemerintah dan DPR bisa mempertimbangkan berbagai opsi dalam kebijakan perluasan hak cuti ini, khususnya opsi pembebanan hak dan kewajiban perusahaan ketika karyawan mengambil parental leave," tuturnya.
"Mungkin hak cuti bersebut bisa dibuat seperti fleksibilitas opsi (cuti minimal-maksimal) sehingga pekerja bisa menentukan sendiri berapa lama waktu cuti yang mereka perlukan agar tidak menganggu pertumbuhan kariernya di perusahaan atau membebani tim kerjanya di perusahaan secara berlebihan," ujar Shinta.
Dia juga memberikan rekomendasi alternatif persentase pembebanan upah dan kewajiban lainnya terhadap perusahaan ketika memberikan izin cuti karena "perlu mempertimbangkan daya saing ekonomi nasional".
"Karena sejujurnya saat ini pun pasar tenaga kerja Indonesia tidak bersaing karena isu skills gap dan dari sisi beban biaya tenaga kerja juga sudah merupakan yang termahal di antara ASEAN-5 meskipun tingkat produktifitasnya kurang lebih sama," kata Shinta.
DPR coba tawarkan solusi
Ibnu Multazam mengatakan sudah menerima masukan terkait potensi-potensi diskriminasi maupun penolakan perusahaan terhadap RUU KIA. Namun sebagai fraksi pencetus RUU, partainya mempunyai beberapa solusi alternatif agar rencana cuti melahirkan 6 bulan bisa tetap terealisasikan.
Sejumlah pertimbangan, kata Ibnu, sudah diambil setelah mereka meminta masukan dari pakar kesehatan.
"Dari fraksi PKB kami mengusulkan, misalnya dibayar oleh CSR (Corporate Social Resposibilities). Misalnya yang tiga bulan dibayar perusahaan seperti sekarang ini, penuh, tiga bulan kemudian diambilkan dari CSR," ujar Ibnu.
"Solusi kedua, bisa enggak diambilkan dari BPJS Kesehatan? Kalau enggak CSR, ya BPJS," ujarnya.
Itu salah satu rekomendasi solusi yang ditawarkan DPR untuk perusahaan-perusahaan besar. Namun, untuk pelaku usaha yang lebih kecil, hal itu perlu pembahasan lebih jauh lagi.
"Macam-macamlah nanti dicarikan solusi," kata Ibnu.
Bagaimanapun, dia berharap rencana kebijakan cuti enam bulan bisa terlealisasikan karena hal itu sudah ditetapkan berdasarkan masukan dari para ahli kesehatan.
Pemberian ASI ekslusif menjadi salah satu alasan diajukannya angka enam bulan untuk cuti melahirkan. Berdasarkan hasil penelitian ASI ekslusif terbukti mempengaruhi kesehatan, kecerdasan, dan kekuatan fisik anak.
"Kami ingin negara membuat investasi kepada anak-anak yang baru lahir untuk masa depan bangsa Indonesia emas itu. Kalau ini tidak ada investasi, saya kira kemajuan bangsa ini hanya begini-begini saja," ujar Ibnu.
Tiga bulan memang tidak cukup
Loecia, salah satu ibu yang bekerja, menganggap cuti melahirkan selama tiga bulan belum cukup baik untuk anak maupun dirinya.
Menurut Loecia, perempuan yang baru melahirkan butuh waktu beradaptasi yang lebih lama lagi dengan kondisi baru, sebagai istri, ibu, sekaligus pekerja. Terlebih lagi bagi para ibu baru yang baru memiliki anak pertama.
Oleh sebab itu, dia mendukung penuh rencana kebijakan cuti enam bulan dalam RUU KIA yang sedang dipersiapkan oleh DPR.
"Tiga bulan secara mental kami belum siap untuk meninggalkan anak. Tiga bulan masih terlalu singkat untuk menyiapkan mental, untuk benar-benar siap menjadi seorang ibu yang bekerja karena konsekuensinya banyak," kata Loecia.
"Selain harus merawat anak, kami harus menjalani kewajiban di kantor, dan harus tetap mantau anak. Jadi, pikirannya terbagi-bagi," tuturnya.
Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti, juga menyebut bahwa pada masa bulan-bulan pertama setelah melahirkan perempuan menjalani fase perubahan yang luar biasa. Kondisi itu disebutnya kerap membuat mereka stres.
"Kalau perubahan ini dialami ibu dalam waktu yang sangat singkat, seringkali justru menambahkan stres pada si ibu. Tapi, kalau si ibu punya waktu yang lebih panjang untuk menjalaninya, dalam cuti yang lebih panjang, maka sebetulnya akan mengurangi tingkat stres yang dialami ibu," kata Anna.
Dalam periode enam bulan itu, bayi juga mengalami beberapa perkembangan emosi yang signifikan. Ketika ibu merasa ketinggalan dalam menyaksikan perkembangan anaknya, menurut Anna, hal itu bisa mengganggu produktivitas ibu.
"Ini bukan merupakan ancaman bagi perusahaan, tapi perusahaan perlu memahami bahwa secara manusiawi ibu akan memperhatikan anaknya dalam fase-fase tersebut.
"Jika perusahaan bisa memberikan pemahaman terhadap kebutuhan ibu tersebut, ibu ini akan membalas perusahaan dengan bekerja lebih produktif," ujar Anna.