Pergantian Menteri dan Wakil Menteri ATR/BPN Hanya untuk Kepentingan Politik, Tidak untuk Selesaikan Konflik Agraria

Sabtu, 18 Juni 2022 | 14:05 WIB
Pergantian Menteri dan Wakil Menteri ATR/BPN Hanya untuk Kepentingan Politik, Tidak untuk Selesaikan Konflik Agraria
Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto melakukan terima jabatan dengan pendahulunya, Sofyan Djalil. (Suara.com/A Fauzi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika melihat perombakan Menteri dan wakil menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) oleh Presiden Joko Widodo tidak bertujuan untuk menyelesaikan segunung persoalan sengketa dan konflik agraria.

Ia menyebut perombakan kabinet hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik.

"Saya melihat kepentingan politiknya juga lebih kuat bagaimana melakukan dan mendorong stabilitas politik, termasuk menguatkan koalisi partai," kata Dewi dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (18/6/2022).

Hal tercermin dari latar belakang Menteri ATR/BPN yakni Hadi Tjahjanto yang merupakan mantan Panglima TNI. Kemudian Wakil Menteri ATR/BPN yang dijabat Raja Juli Antoni yang merupakan politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), pendukung pemerintahan Jokowi.

Baca Juga: Mendag Zulkifli Hasan Ditantang Pedagang Pasar Untuk Perbaiki Birokrasi Anak Buahnya

Padahal menurut Dewi, yang dibutuhkan untuk menjabat di Kementerian ATR/BPN adalah mereka yang memiliki rekam jejak, kompetensi dan pemahaman permasalahan agraria.

"Kalau kita lihat jatah kursi Wamen itu masih diberikan pada partai, artinya motifnya bukan untuk menuntaskan atau memperbaiki kinerja lama, tetapi masih berputar di kursi partai politik yang sama," kata Dewi.

Dalam penyelesaian konflik agraria kata dia, tidak akan terselesaikan hanya dengan mempercepat penertiban sertifikat tanah.

"Kalau hanya menyandarkan pada percepatan sertifikasi tanah, sudah barang tentu konflik agraria itu tidak akan diselesaikan. Karena sistem pendaftaran tanah kita itu atau yang kita sebut sebagai PTSL (Program Sertifikat Tanah Gratis) itu tidak mau menyentuh konflik agraria struktural, apalagi menerbitkan konsesi-konsesi skala besar," kata Dewi.

Menurutnya yang dibutuhkan adalah perspektif agraria yang bersifat agraria.

Baca Juga: Roy Suryo Ternyata Sudah Dilaporkan ke Polisi Soal Foto Stupa Borobudur Mirip Jokowi

"Karena yang sekarang terjadi adalah liberalisasi sumber-sumber agraria, terutama tanah. Perampasan tanah, bagaimana alokasi-alokasi tanah dalam jumlah yang maha besar itu terus-menerus diorientasikan, diprioritaskan untuk badan-badan usaha skala besar," tutur Dewi.

"Sehingga kita sekarang menghadapi ketimpangan pengusahaan tanah yang sangat tajam, antara pengusaha tanah kaya, investor dengan masyarakat kecil, terutama masyarakat adat," sambungnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI