Omicron BA.4 dan BA.5 Berpotensi Lebih Parah, Indonesia Diminta Tak Lengah

SiswantoBBC Suara.Com
Jum'at, 17 Juni 2022 | 16:35 WIB
Omicron BA.4 dan BA.5 Berpotensi Lebih Parah, Indonesia Diminta Tak Lengah
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dua subvarian virus corona Omicron BA.4 dan BA.5 berpotensi memiliki sifat keparahan yang lebih tinggi dibanding varian Omircron, menurut hasil penelitian.

WHO dan para pakar meminta pemerintah dan masyarakat tidak lengah dan tetap waspada untuk mencegah kenaikan rawat inap atau bahkan kematian.

Peneliti ketahanan kesehatan global dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, mengatakan Omicron varian BA.4 dan BA.5 bisa memiliki tingkat keparahan yang lebih besar karena memiliki mutasi yang diadopsi dari varian Delta.

"BA.4 dan BA.5 ini bisa dengan cepat dan mudah masuk ke sel, ditambah lagi dia juga bisa bereplikasi di sel paru dengan sangat efektif, sehingga ini bisa membuat sifat keparahannya itu bisa lebih meningkat," kata Dicky saat dihubungi BBC Indonesia, Kamis (16/06).

Baca Juga: Waspada Varian Baru, Ingat Lagi 8 Gejala Omicron yang Sering Tidak Disadari

Baca juga:

Dia menambahkan, varian BA.4 dan BA.5 juga efektif menghindari sergapan antibodi tubuh. Artinya, meski seseorang sudah divaksinasi atau bahkan terinfeksi Omicron, orang itu bisa terinfeksi ulang oleh sub varian baru itu.

Juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril, dalam diskusi pada Kamis (16/06) siang, menyebut dari 20 orang yang sudah teridentifikasi terinfeksi varian Omicron baru itu, semuanya sudah divaksinasi.

"Ada yang sudah booster, ada yang belum," ujar Syahril.

Hingga Kamis sore, kasus positif harian Covid-19 bertambah sebanyak 1.173, setelah pada hari sebelumnya menyentuh angka 1.242 kasus baru dalam satu hari.

Baca Juga: Kasus COVID-19 di Tangerang Meningkat, Diduga karena Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5

Peningkatan jumlah kasus sekitar dua kali lipat ini terjadi sepekan setelah pengumuman pertama konfirmasi infeksi virus Omicron BA.4 dan BA.5 ditemukan di Indonesia.

Perwakilan Indonesia di Badan Kesehatan Dunia (WHO) Diah Suminarsih, meminta pemerintah Indonesia agar tidak lengah, sambil melakukan langkah-langkah yang sudah dianjurkan WHO, seperti meningkatkan cakupan imunisasi dan memperketat surveillance dengan melakukan 3T, yaitu testing, tracing, dan treatment.

Senada dengan Diah Suminarsih, Dicky Budiman juga meminta pemerintah dan masyarakat waspada, apalagi dengan adanya peningkatan kasus yang cukup signifikan dalam beberapa hari.

Bagaimana kondisi Covid di tengah pelonggaran?

Dalam sepekan, kasus positif Covid-19 di Indonesia naik lebih dari dua kali lipat.

Pada Kamis (09/06) pekan lalu, ketika sub varian Omicron BA. 4 dan BA. 5 diidentifikasi untuk pertama kalinya, jumlah kasus positif harian masih berjumlah 556.

Dicky pun meminta pemerintah mengkaji ulang beberapa pelonggaran, utamanya soal penggunaan masker, yang dia nilai "terlalu cepat" diumumkan.

"Ketika sekarang, misalnya dikatakan ada 1.000 kasus, ya di masyarakat bukan 1.000. Bisa 10 kali lipat dari itu.

"Dan itulah yang akhirnya membuat kita betul-betul harus waspada, jangan-jangan sudah mengarah ke kelompok yang rawan di populasi kita," kata Dicky.

Soal penggunaan masker, pihak pemerintah mengatakan banyak masyarakat yang salah mengartikan pelonggaran penggunaan masker yang sempat disampaikan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.

Kasubbid Dukungan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Alexander Ginting mengatakan pelonggaran memakai masker itu sifatnya kontekstual atau bisa dilakukan dalam kondisi tertentu saja.

"Artinya kalau saya keluar rumah dan di dekat rumah, dan tidak ada kerumunan, saya bisa lepas masker. Tetapi manakala saya sudah sampai di terminal atau sudah sampai di stasiun, maka masker yang ada di tas atau yang ada di saku saya, itu saya pakai," kata Alex menjelaskan.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan memang tidak semua masyarakat memahami sekaligus mematuhi aturan itu karena penerjemahannya pun berbeda-beda.

Oleh sebab itu, pemerintah menyadari harus memperbaiki komunikasi publik dalam penanganan pandemi ini.

"Ini membutuhkan komunikasi publik agar masyarakat itu dari level apapun disampaikan dengan cara yang benar. Kita perlu melakukan edukasi dan komunikasi ini secara berulang-ulang," kata Syahril dalam diskusi yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informasi pada Kamis siang.

Bagaimana antisipasinya?

Pemerintah juga diminta melakukan "deteksi dini" sebagai hal yang harus dilakukan untuk mencegah penularan.

"Deteksi dini itu tidak selalu melakukan tes yang masif, tapi dibantu dengan literasi sehingga terbangun persepsi risiko.

"Masyarakat kalau merasa bergejala, ya sudah tidak usah ke mana-mana, dengan akhirnya ada isolasi dan karantina dengan mandiri. Itu yang akan efektif sekali di awal mencegah penularan," ujar Dicky memberikan saran.

Senada dengan Dicky, melihat tren kenaikan kasus positif, ahli kesehatan masyarakat Hermawan Saputra juga menganjurkan pemerintah untuk melakukan evaluasi kebijakan dan komunikasi publik yang lebih baik.

Baca juga:

"Memang kita pahami dari sisi politik dan sosial, aspek itu yang membuat pemerintah wait and see, tapi kalau kita lihat dari sisi epidemiologi, apalagi varian baru yang ada, seharusnya sekarang ini [kenaikan kasus] dicegah, bukan dibiarkan," kata Hermawan kepada BBC Indonesia.

Menyikapi peningkatan kasus positif harian yang terjadi belakangan ini, pemerintah meminta masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan dan melakukan vaksinasi sebagai bagian dari upaya pengendalian.

Pemerintah belum akan melakukan pengetatan karena data menunjukkan kondisi masih "terkendali".

"Terkendali itu ada beberapa indikator, yang pertama adalah laju penularan, itu angkanya di bawah 1%, kemudian positivity rate-nya di bawah 5%, kemudian angka kematiannya di bawah 3%, dan hospitalization (tingkat rawat inap) di bawah 5%," kata Mohammad Syahril dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9, Kamis (16/06).

Untuk melakukan evaluasi kebijakan, Syahril mengatakan, tidak cukup melihat dari salah satu indikator saja.

Oleh sebab itu, untuk melakukan pengendalian pandemi saat ini, di tengah peningkatan kasus akibat varian BA.4 dan BA.5, pemerintah meminta masyarakat menerapkan protokol kesehatan dan melakukan vaksinasi.

Alih-alih hanya meminta masyarakat mematuhi protokol kesehatan dan melakukan vaksinasi, ahli epidemiologi Masdalina Pane mengatakan pemerintah juga perlu memperbaiki porsi pengendalian pandeminya, yaitu 3T, karena selama ini 3T yang dilakukan pemerintah dinilai belum ideal.

"Sampai hari ini kita bahkan belum bisa mendefinisikan jumlah suspect dengan tepat," kata Masdalina.

"Kalau suspect kita hanya 4.000 -7.000 itu enggak mungkin, puskesmas kita saja hampir 11.000 dan suspect Covid itu, ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) dan ILI (influenza like illness) mendominasi di puskesmas. Jadi, kalau kita sendiri tidak bisa menghitung jumlah suspect, berarti testing kita jelek," ujarnya.

Terkait tracing, Masdalina mengatakan indikator standarnya adalah 80% kasus baru mampu dilakukan tracing, yang artinya mampu dilacak dan kemudian mampu diberlakukan karantina.

Namun, selama ini pemerintah menggunakan rasio kasus atau rasio kontak erat sebagai standarnya.

"Kalau treatment, tidak terlalu masalah ya," ujar kepala bidang pengembangan profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia itu.

Vaksinasi masih rendah

Sampai Juni 2022, tingkat vaksinasi Covid-19 dosis lengkap di Indonesia belum mencapai target WHO, yaitu 70% dari populasi.

Vaksinasi dosis ketiga atau booster pun masih berada di angka 23% dari sasaran vaksinasi 208 juta orang.

Dengan kondisi seperti ini, para ahli juga meminta pemerintah meningkatkan cakupan vaksinasi karena vaksin berguna untuk mencegah keparahan saat terjadi infeksi.

"Cakupan vaksinasi terus diperluas, terutama menjangkau kelompok-kelompok rentan, vaksin lengkap maupun vaksin booster," kata Diah memberikan rekomendasi untuk pemerintah Indonesia.

Baca juga:

Hermawan Saputra mengatakan laju vaksinasi di Indonesia saat ini berjalan stagnan, "dalam dua bulan terakhir hanya 1% peningkatan laju vaksinasi secara nasional".

Pemerintah membenarkan tingkat vaksinasi belum mencapai target, terlebih untuk booster dengan lima provinsi dari 34 provinsi yang baru melampaui angka 30%.

"Kenapa pencapaian di beberapa daerah rendah? Pencapaian rendah bukan semata-mata Dinas Kesehatan tidak bekerja, atau tim vaksinasi tidak bekerja, tapi ada keengganan masyarakat karena masyarakat melihat situasi sudah aman.

"Jadi, masyarakat melihat bahwa saat ini (vaksinasi) tidak menjadi prioritas lagi," kata Alexander Ginting.

Oleh sebab itu, dia menambahkan, saat ini pemerintah ingin menyelesaikan target vaksinasi yang belum tercapai.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI