Suara.com - DPR RI akan kembali membahas mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hingga akhirnya menuai pertentangan publik.
Beberapa pasal dalam rancangan yang dibahas dinilai bermasalah salah satunya adalah Pasal 218, Pasal 219, hingga Pasal 241 RKUHP. Beberapa pasal tersebut menjadi momok bagi kebebasan berpendapat di Indonesia khususnya bagi beberapa pihak yang tak terlepas dari kegiatan melayangkan kritik seperti jurnalis dan peneliti.
Permasalahan dalam deretan pasal tersebut memunculkan polemik hingga menuai pertentangan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Berikut beberapa polemik RKUHP yang tengah dikebut oleh DPR.
1. Pasal 218 - 219 dinilai ancam profesi para jurnalis
Baca Juga: Hina Pemerintah Dihukum 3 Tahun Bui, Melanie Subono Minta Kejelasan Batasan Menghina
Pasal 218 dan Pasal 219 RKUHP mengancam profesi para jurnalis dan dinilai memuat pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminalisasi para wartawan yang 'vokal' menyuarakan kritik.
Kritikan tersebut dilayangkan oleh sosok ketua Aliansi Jurnalis Independen, Sasmito Madrim.
Sosok ketua perhimpunan para wartawan seantero Indonesia tersebut sontak mencontohkan kasus seorang wartawan yang dipenjarakan usai menulis berita menyoal eks presiden RI, Megawati Soekarno Putri.
"Pasal ini bukan pasal yang dikhawatirkan, tapi sebenarnya sudah pernah terjadi pada 2003, waktu itu redaktur eksekutif Harian Rakyat Merdeka yang divonis enam bulan karena dianggap melakukan pencemaran nama baik pada Presiden Megawati Soekarnoputri," ungkap Sasmito dalam jumpa pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Kamis (16/6/2022).
Salah satu bunyi pasal tersebut yang dinilai menuai polemik adalah menyoal ancaman pidana terhadap penulis berita yang dinilai memuat penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden.
Baca Juga: Fakta-fakta Pasal 241 RKUHP, Hina Pemerintah di Medsos Dipenjara 4 Tahun
"Siapa yang akan menentukan informasi ini bohong atau tidak, lalu apa yang dimaksud dengan kerusuhan, saya pikir ini sangat multitafsir sekali dan mengancam, jurnalis rawan dikriminalisasi," tegas Sasmito.
2. Peneliti terancam tak lagi objektif
Objektivitas para peneliti terancam berkat adanya Pasal 218 RKUHP. Cucu wakil presiden pertama RI, Gustika Jusuf Hatta melihat ada ancaman kriminalisasi terhadap peneliti yang mengungkapkan fakta sensitif, berkaca terhadap kasus kriminalisasi peneliti KontraS.
"Ini mengancam demokrasi kita, bukan hanya bagi mahasiswa tapi bagi para peneliti juga, misalnya kemarin ada Fatia (Koordinator KontraS) yang melakukan penelitian kemarin dikriminalisasi, ini tentu ancaman terhadap pembela HAM," kata Gustika dalam jumpa pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Kamis (16/6/2022).
3. Kritik pemerintah di Medsos terancam penjara
Tak hanya wartawan dan peneliti, masyarakat awam juga 'berkesempatan' mencicipi hidup di balik jeruji besi jika berani mengkritik pemerintah melalui media sosial.
Pasal 241 RKUHP dinilai mengekang kebebasan berpendapat lantaran memuat delik yang berbunyi:
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V."
Pasal tersebut dinilai dapat berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang melayangkan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah. Sehingga, publik menilai bahwa pasal tersebut menunjukkan sifat antikritik yang dimiliki oleh pemerintah.
"Welcome back orba," sentil seorang warganet.
"Kalau sesuai fakta yang didukung oleh bukti, apa termasuk hinaan? Jadi beda fakta dan hina apa dong kalau begitu?" tanya warganet lainnya.
Kontributor : Armand Ilham