Suara.com - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Piadana (RKUHP) kembali menjadi sorotan sebab salah satu pasal di dalamnya dinilai kontroversial.
Pasal tersebut adalah pasal 240 dan 241 RKUHP yang isinya menyatakan seseorang bisa diancam pidana penjara 4 tahun penjara jika menghina pemerintah di media sosial.
Oleh sebagian pihak, aturan tersebut dinilai bisa memasung kebebasan berpendapat dan mengancam masyarakat pengguna media sosial.
Adapun bunyi draft pasal 240 RKUHP tersebut adalah sebagai berikut, sebagaimana dikutip pada Kamis (16/6/2022):
Baca Juga: Ketua AJI: Banyak Pasal Karet, RKUHP Ancam Kebebasan Kerja Jurnalis
"Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Apa yang termasuk kategori kerusuhan?
"Yang dimaksud dengan keonaran adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang (anarkis) yang menimbulkan keributan, kerusuhan, kekacauan, dan huru-hara," demikian bunyi penjelasan Pasal 240 Rancangan KUHP itu.
Ancaman hukuman 3 tahun penjara yang disebutkan dalam pasa 240 RKUHP tersebut akan dinaikkan menjadi 4 tahun, jika penghinaan yang dimaksud dilakukan di media sosial, sebagaimana bunyi draft pasal 241 RKUHP berikut ini:
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V."
Baca Juga: Gustika Hatta Ungkap RKUHP Bisa Mengancam Kebebasan Kerja Peneliti
Tuai Kontroversi di Kalangan Warganet
Ketentuan tersebut di atas mendapatkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk para warganet. Mereka menilai pasal tersebut adalah sebuah bentuk kemunduran dalam sistem demokrasi di Indonesia.
"Welcome back orba," sentil warganet.
"Amerika gak kek gini perasaan. Dihukum baru kalau ada ancaman pembunuhan," komentar warganet.
"Lah kan mereka yang menghinakan diri mereka sendiri, lawak," sentil warganet.
"Mampu gak orang DPR menjalankan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat? Bila sudah tidak mampu menjalankan tugas yang sudah diamanatkan dan diembankan oleh rakyat, berani tidak kalian melepaskan jabatan kalian? Anda bisa membuat aturan yang membuat gerak rakyat terbatasi, tapi terkadang kalian sendiri tidak mau dibatasi. Kadang tidak sadar pada perilaku sendiri," protes warganet.
Kritikan mengenai pasal tersebut juga dilontarkan oleh salah satu aktivis, yakni Nico Silalahi. Melalui akun Twitternya, Nico menilai aturan tersebut jelas bisa menjadi alat atau senjata untuk membungkam kebebasan bersuara di Indonesia.
“Saat pembantu kerja gak becus dan ingin dipuji, sialnya malah membungkam mulut tuannya sehingga dimunculkan berbagai aturan untuk membatasi kebebasan bersuara. Kalau gak mau dicaci maka jangan numpang hidup dari pajak rakyat kalian. Kok ga sekalian kalian hidupkan UU Subversif?" kritik Nico Silalahi.
Kontributor : Damayanti Kahyangan