Suara.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menunjuk eks Panglima TNI Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto untuk menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Penunjukkan orang militer sebagai menteri tersebut dianggap Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bisa berpotensi lahirkan konflik kepentingan terutama dalam penyelesaian konflik agraria.
Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika mengatakan kalau TNI kerap menjadi pihak yang berhadapan dengan masyarakat di wilayah konflik, baik konflik secara langsung maupun sebagai pelaku kekerasan dalam penanganan konflik agraria. Dari 532 lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) yang sudah diusulkan KPA kepada pemerintah, 14 diantaranya merupakan konflik agraria yang terjadi antara masyarakat dengan klaim TNI.
"Beberapa contoh konflik agraria yang melibatkan TNI secara langsung adalah konflik agraria di Urut Sewu, Kebumen, Marafenfen, Maluku, konflik TNI dengan masyarakat Bara-baraya, Makassar," kata Dewi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/6/2022).
Sementara itu, selama periode pemerintahan Jokowi, TNI merupakan aktor yang paling sering melakukan tindak kekerasan di wilayah konflik, bersama aparat kepolisian, Satpol PP dan pihak keamanan perusahaan.
Baca Juga: Alasan Kesehatan, 6 Jemaah Calon Haji Kalbar Gagal Berangkat ke Tanah Suci
Selama periode tersebut, tercatat sebanyak 69 kali TNI melakukan tindakan kekerasan dan penganiayaan dalam upaya penanganan konflik.
KPA juga memandang bahwa pada konteks penyelesaian konflik dan redistribusi tanah, penetapan subjek (penerima manfaat) justru berpotensi akan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan TNI.
Seperti misalnya kasus yang terjadi di Banten, di mana Menteri ATR/BPN memberikan redistribusi tanah eks HGU kepada Kopassus.
"Padahal subjek utama reforma agraria adalah petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat miskin pedesaan dan perkotaan," ucapnya.
Lebih lanjut, pesan Jokowi terhadap Menteri ATR/BPN yang baru untuk menyelesaikan persoalan lahan di IKN mensinyalir bahwa pemerintah akan menggunakan pendekatan refresif dan militerisme dalam upaya pengadaan tanah bagi pembangunan.
Baca Juga: Anisa Bahar Lapor Polisi Gegara Ditipu Teman Sampai Ratusan Juta
Penunjukan tersebut melegitimasi pendekatan-pendekatan yang dilakukan selama ini oleh pemerintah dalam berbagai pengadaan tanah untuk pembangunan dan proyek-proyek strategis nasional.
Pendekatan-pendekatan semacam itu selalu digunakan oleh pemerintah seperti contoh pembangunan di Wadas dan Waduk Lambo yang terjadi baru-baru ini. Pemerintah disebutkannya seolah lupa bahwa penolakan dan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat akibatnya ketidakjelasan rencana proyek.
"Kental dengan pendekatan represif, tidak transparan dan partisipatif yang berakibat pada perampasan-perampasan tanah masyarakat," tuturnya.
"Alih-alih menyelesaikan masalah, penunjukan Menteri ATR/BPN dari kalangan militer justru berpotensi meningkatkan pendekatan refresif di wilayah-wilayah konflik agraria."