Suara.com - Thailand menjadi negara pertama di Asia yang tidak lagi menggolongkan ganja sebagai narkoba, dan mengizinkan warga untuk menanamnya di rumah.
Ini adalah perubahan kebijakan besar di negeri yang sudah lama menerapkan hukuman berat bagi pengguna narkoba tetapi pemerintah Thailand mengatakan perubahan aturan ini akan bisa mendukung industri wisata dan kesehatan.
Bulan Januari lalu pemerintah Thailand mengumumkan rencana untuk tidak lagi memasukkan ganja sebagai bahan terlarang dan ini artinya memiliki ganja bukan lagi merupakan tindakan melawan hukum.
Sekitar 4.000 tahanan yang sedang menjalani hukuman penjara karena kejahatan berkenaan dengan ganja segera akan dibebaskan dan catatan kriminal mereka akan dihapus, kata Departemen Kehakiman.
Baca Juga: Usai Ganja, Thailand Bakal Legalkan Pernikahan Sesama Jenis
Menteri Kesehatan yang juga adalah Wakil Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul bulan lalu membuat postingan di Facebook menyatakan niatnya untuk memberikan satu juta tanaman ganja kepada warga masyarakat.
"Ini kesempatan bagi warga dan negara untuk bisa mendapatkan penghasilan dari tanaman ganja," tulisnya dengan gambar ayam yang sudah dimasak menggunakan ganja.
"Ayam panggang ganja, 300 bath (sekitar Rp120) per ekor. Semua orang bisa menjualnya bila mereka menuruti aturan hukum," katanya lagi.
"Ini adalah masa depan ganja di Thailand.'
Menteri Anutin, yang pertama kali mengumumkan kebijakan baru tersebut di tahun 2021 mengatakan waktu itu bahwa setiap keluarga akan diizinkan untuk menanam enam pohon ganja, dan bisa dijual ke rumah sakit umum, fasilitas penelitian atau digunakan sebagai produk makanan atau kosmetik.
Baca Juga: Usai Legalkan Ganja, Thailand Selangkah Lagi Izinkan Pernikahan Sesama Jenis
Menurut hukum terbaru, ekstrak ganja harus memiliki kadar tetrahydrocannabinol (THC) — komponen utama ganja - tidak melebihi 0,2 persen.
Penanaman besar ganja masih memerlukan izin dari pemerintah.
Kitty Chopaka seorang pengusaha ganja yang tinggal di Bangkok mulai menjual bunga ganja di tokonya hari Sabtu setelah ganja secara resmi tidak masuk lagi dalam daftar obat dan tanaman terlarang di negeri itu.
Chopaka yang menjual permen yang diberi ganja mengatakan kepada ABC bahwa perubahan aturan itu berarti ganja akan tersedia sama bebasnya 'seperti membeli bawang putih dan cabai".
"Namun tidak berarti tidak ada aturan, ini berarti aturan sedang diproses tergantung seberapa lama pembahasannya di parlemen," katanya.
Aturan hukum yang lengkap mengenai ganja ini memang belum lagi disetujui oleh parlemen.
Chopaka mengatakan usaha swasta untuk menjual ganja yang terbentuk selama beberapa tahun terakhir masih belum bisa go publik di bursa saham Thailand, hal yang membuat mereka masih kesulitan untuk mendapatkan investasi.
Dan karena membantu prasarana guna menyuling tanaman ganja ini mahal - yang memerlukan biaya sekitar Rp40-Rp120 miliar- perkembangan industri ini dan pasar ekspor masih tersendat katanya.
Dalam postingan terpisah di Facebook awal bulan ini, Menteri Anutin mengatakan kebijakan baru ini difokuskan pada 'penggunaan di bidang kesehatan dan kedokteran, dan bukan di bidang hiburan".
Dia mengatakan dibandingkan dengan alkohol dan rokok, ganja ini bermanfaat bila digunakan 'dengan bijak' dan perubahan yang dilakukan bukan dimaksudkan agar penggunaan ganja membuat orang jadi kecanduan.
Menurutnya hukuman bagi pengguna ganja yang kemudian mengganggu ketertiban umum masih berlaku.
Pelaku yang dilaporkan ke pihak berwenang bisa menghadapi hukuman tiga bulan penjara atau denda sampai 25 ribu bath atau sekitar Rp100 juta.
Hadiah bagi warga
Sama seperti banyak negeri tetangganya di ASEAN, Thailand sudah lama menerapkan hukuman berat bagi mereka yang memiliki dan menggunakan ganja, meski sudah ada juga ada kebiasaan menggunakan ganja bagi pengobatan tradisional di sana
Thailand menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang melegalkan ganja untuk obat-obatan di tahun 2018.
Saat itu pemerintah menggambarkan perubahan tersebut sebagai "Hadiah Tahun Baru' bagi warga Thailand.
Pihak berwenang berharap petani dan pemilik bisnis di Thailand bisa mendapatkan manfaat dari penanaman ganja memanfaatkan pasar global ganja yang diperkirakan bernilai sekitar A$175,5 miliar menurut sebuah lembaga di San Fransisco Grand View Research.
Di tahun 2020 pemerintah meluncurkan klinik ganja pertama di Bangkok, setelah menyetujui penggunaan ekstrak ganja bagi pengobatan penyakit seperti kanker, ayan dan kecemasan.
Jiratti Kuttanam seorang ibu tunggal sedang berjuang melawan kanker payudara menggunakan ganja untuk menghilangkan rasa sakit, dengan minum seperti teh dan menghisap seperti rokok.
Dia mengatakan sudah terlalu lama bagi Thailand sampai akhirnya tidak lagi menjadikan ganja sebagai bahan terlarang.
"Saya begitu senang, karena saya tidak lagi harus sembunyi-sembunyi untuk membeli dan menggunakannya," kata Kuttanam yang berencana menanam ganja sendiri kepada ABC.
"Penyakit ini sangat menyusahkan dan saya tidak mau menggunakan obat pemati rasa setiap kali," katanya, sambil menambahkan ganja itu membantunya hidup dan membuat nafsu makannya tetap ada.
"Rasa sakitnya hilang setelah saya menggunakannya."
Kuttanam mengatakan pemerintah perlu memberikan pengajaran kepada publik bagaimana caranya menanam ganja dengan benar, sehingga mereka bisa menanam sendiri dari pada tergantung pada mereka yang menanam besar-besaran.
Kekhawatiran soal korupsi
Sarana Sommano profesor bidang pertanian di Chiangmai University mengatakan bahwa perubahan hukum yang ada tidaklah berarti warga Thailand menerima penggunaan ganja untuk rekreasi.
Dr Sommano mengatakan sistem pendaftaran sekarang ini bagi mereka yang ingin menanam ganja terbuka untuk disalahgunakan.
Walau dia mendukung penggunaan ganja untuk pengobatan tradisional, menurutnya manfaatnya bagi negara secara keseluruhan tidaklah ada.
Dia mengatakan bisnis masih harus membayar untuk mendapat izin guna menanam ganja, dan biaya pendaftaran tidaklah murah dan izin perlu diperbarui.
Korupsi masih jadi salah satu masalah besar di Thailand, yang sekarang berada di peringkat 110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun 2021 dari Transparency International.
"Jadi siapa yang akan mendapatkan manfaat dari semua ini,." kata Dr Sommano sambil menambahkan bahwa rencana pengawasan terhadap penggunaan dan penyalahgunaan ganja ini di Thailand masih belum cukup jelas.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News