Nikuba, Apa Itu dan Bagaimana Kelanjutan Kontroversinya?

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 15 Juni 2022 | 18:05 WIB
Nikuba, Apa Itu dan Bagaimana Kelanjutan Kontroversinya?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Beberapa waktu yang lalu, Nikuba - singkatan dari 'niku banyu' atau 'itu air' dalam Bahasa Jawa, menjadi viral dan memantik berbagai perdebatan setelah mesin ini diklaim dapat 'mengkonversi air menjadi bahan bakar'. Adakah kelanjutan dari kontroversi itu?

Serda TNI Muhammad Sutami, anggota Babinsa Koramil di Lemahabang, Cirebon menyalakan kendaraan operasionalnya, motor trail Viar 200 CC, saat BBC News Indonesia mendatanginya pada Minggu (15/05).

Sutami hendak menjalankan tugas lapangan ke desa-desa binaan pagi itu. Dari Lemahabang, dia akan melintasi Cipejeh Wetan, Cipejeh Kulon, Belawa, Wangkelang, Putat, Kecamatan Sedong, lalu kembali ke Lemahabang. Total jarak yang harus ditempuhnya, kira-kira 25 kilometer.

Di jok belakang motor yang dipakai Sutami itu, terpasang sebuah mesin yang dilengkapi tabung penampung air. Mesin Nikuba.

Baca Juga: Masalah Jaringan Hingga Salah Alamat Link Pendaftaran, Temuan Sidak Dewan Viral Soal PPDB SMA di Cilegon

Baca juga:

Mesin inilah yang beberapa waktu lalu menimbulkan pro dan kontra di Indonesia, lantaran diklaim bisa 100% mengkonversi air menjadi hidrogen, yang pada akhirnya dipakai sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM).

https://twitter.com/NikubaHidrogen/status/1525346383066083328

Nikuba juga diklaim sangat irit, hanya butuh satu liter air untuk menjalankan motor sejauh 500 kilometer.

Sejak Nikuba dipasang pada motornya, Sutami mengaku jarang membeli bensin. Biasanya, dia mengaku, tiga hari sekali ia harus mengisi tangki bensinnya penuh-penuh.

Baca Juga: Temuan PBSI: Pebulutangkis Malaysia Keracunan Makanan dari Luar Hotel

"[Sekarang] ini bisa sampai seminggu baru isi bensin," kata dia.

Sejauh ini, 11 unit Nikuba telah dipasang sebagai penunjang kendaraan operasional anggota TNI Kodam III Siliwangi - termasuk yang digunakan oleh Sutami di Koramil Lemahabang - dari 30 unit yang dipesan.

Pemesanan ini menambah daftar kritik yang mengemuka seiring dengan viralnya Nikuba. Mesin ini, bagaimanapun, belum melalui proses pengujian secara ilmiah oleh pihak di luar pembuatnya.

Per akhir Mei, Nikuba masih dalam proses pengujian di Lembaga Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS) di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Nikuba dan klaim 'resep rahasia'

Nikuba mengubah air murni atau aquades menjadi hidrogen melalui elektrolisis - sebuah proses penguraian senyawa air (H2O) menjadi Hidrogen (H2) dan Oksigen (O) dengan listrik.

Oleh karena itu lah, pakar konversi energi Institut Teknologi Bandung Pandji Prawisudha, menganggap penyebutan 'air sebagai bahan bakar' sebagai klaim menyesatkan.

"Menurut saya, itu misleading. Karena orang akan berpikir, oh saya punya segelas air, ini bahan bakar. Sebetulnya tidak. Yang jadi bahan bakarnya itu hidrogen. Tapi dijadikan hidrogen itu dari air dengan bantuan listrik. Artinya, sumber energi utamanya listrik," kata dia.

Proses elektrolisis semacam ini sering dianggap tidak efisien, karena akan membutuhkan energi yang sangat besar untuk menghasilkan bahan bakar.

Sumber energi Nikuba berasal dari aki standar 12 volt yang terpasang di kendaraan. Tegangan aki akan berkurang selama Nikuba bekerja, sehingga banyak pihak menduga kapasitas aki kendaraan yang dilengkapi Nikuba akan cepat tekor atau habis.

Namun Aryanto Misel, pembuat Nikuba, mengaku telah menemukan cara supaya itu tidak terjadi dengan memasang sebuah alat yang disebutnya relay, berfungsi mengurangi beban kelistrikan pada aki.

"Biasanya yang diperdebatkan masalah aki tekor. Mungkin menempuh jarak lima kilometer saja aki sudah akan tekor," kata Aryanto. Dari hasil percobaan yang dilakukannya menggunakan relay, "Dicoba 25 kilometer, ternyata aki masih utuh."

"Aki menjadi lebih ringan karena ada relay, untuk menekan tarikan listrik Nikuba," terang Aryanto.

Akan tetapi saat ditanya seperti apa penghitungan energinya, Aryanto mengaku "tidak punya hitung-hitungan" dan mendapatkan hasil ini setelah "coba, coba, dan mencoba".

Aryanto mengaku mengembangkan Nikuba melalui proses percobaan selama lebih dari lima tahun. Sebelumnya, dia berkata telah membuat mesin suplemen, yang menggunakan proses elektrolisis serupa untuk menghemat bensin.

"Tujuh tahun lalu, saya sudah pasang di mobil. Tapi sifatnya untuk penghematan." Ia menambahkan, mesin suplemen tadi berhasil "menghemat 30-40% bensin untuk mobilnya".

Ada tiga unsur utama dalam reaktor Nikuba, jelas Aryanto, yakni sepuluh pelat stainless steel, air, dan zat aditif. Pelat stainless steel dengan kode tertentu, sebut Aryanto, berfungsi sebagai anoda dan katoda yang memecah H2O menjadi hidrogen dan oksigen.

Air yang digunakan adalah aquades, atau air murni yang bebas kandungan logam berat. Jika yang dipakai adalah air biasa, kata Aryanto, akan timbul endapan setelah proses elektrolisis.

Yang terakhir adalah zat aditif yang berfungsi sebagai katalis, yang dapat mempercepat atau memperlambat reaksi kimia yang terjadi dalam proses ini. Bahan katalis yang lazim digunakan adalah soda api, garam, atau asam klorida.

Aryanto mengatakan, Nikuba memakai katalis racikannya sendiri yang terbuat dari bahan organik. Resep yang disebutnya "rahasia perusahaan" ini lah yang membuat Nikuba berbeda dan istimewa, menurut dia.

"Lima tahun saya menekuni Nikuba ini, untuk mencari zat aditif sebenarnya, bukan mencari yang lain. Kalau takarannya salah, mesin akan panas, kabel akan panas, menyedot [listrik] akan tinggi," beber dia.

Pencariannya akan katalis untuk Nikuba, sebut Aryanto, membuat dia "habis tiga motor".

"Karena kabelnya nggak kuat, akinya terbakar karena hidrogen di Nikuba ini sangat besar [energinya]. Tapi saya tidak putus asa, di 2022 ini ternyata berhasil menjalankan motor."

Bagaimana pendapat pakar tentang Nikuba?

Cara kerja Nikuba sejatinya tidak jauh berbeda dengan reaktor Oxyhydrogen (HHO) yang sebelumnya sudah banyak beredar di pasaran. Tetapi dalam reaktor Oxyhydrogen, gas hidrogen yang dihasilkan hanya dapat berfungsi sebagai suplemen, sehingga penggunaan bensin masih diperlukan.

Gas HHO atau Brown Gas, begitu sebutannya, diambil dari nama penemunya Yull Brown pada 1970-an.

Para ilmuwan jarang mengaplikasikan teknologi ini untuk kendaraan, karena "butuh energi lebih besar untuk proses elektrolisis daripada energi yang dihasilkan", menurut pakar konversi energi di Institut Teknologi Bandung, Pandji Prawisudha.

"Jadi secara net bukan menghasilkan energi, tapi membutuhkan energi," ujar Pandji. "Kalau net-nya menghasilkan energi, pasti sudah diaplikasikan oleh banyak orang di negara-negara maju."

Menurut Pandji, butuh sekitar 250 kilojoule (Kj) untuk menghasilkan dua gram hidrogen dengan cara elektrolisis, atau sekitar 125 megajoule per kilo (Mj/kg). Sementara, nilai kalor hidrogen 120 Mj/kg.

"Jadi beda tipis," kata Pandji, yang mengatakan juga sudah pernah melakukan percobaan memisahkan hidrogen dan oksigen dari air.

Dari percobaannya pada 2012 itu muncul permasalahan usia karena, sebut dia, "Bisa jadi dalam waktu yang tidak terlalu singkat, katoda dan anodanya mulai terdegradasi."

Ini, lanjut dia, tidak akan terlihat bila pengujian dilakukan dalam jangka pendek atau menggunakan hidrogen sedikit.

Risiko lain yang banyak disebut pakar adalah knocking, istilah yang umum dipakai ketika muncul bunyi ketukan pada mesin kendaraan. Bila dibiarkan, knocking dapat berakibat buruk pada komponen mesin.

Aryanto Misel, penemu Nikuba, menyebut hidrogen yang dihasilkan mesinnya memiliki kualitas bahan bakar baik, yang dinilai dengan angka Research Octane Number (RON) tinggi, sehingga menghindari knocking.

Sebagai gambaran, Pertamax memiliki RON 92; Pertamax Turbo memiliki RON 98; sementara Nikuba diaku Aryanto menghasilkan bahan bakar yang memiliki RON 102 - setara dengan bahan bakar motor balap.

Meski sepakat dengan Aryanto bahwa RON yang tinggi akan mencegah knocking, tapi Pandji mengatakan bahwa sifat labil hidrogen sebagai bahan bakar, masih harus menjadi pertimbangan besar.

Apalagi, imbuh Pandji, hidrogen mudah meledak saat terbakar.

"Jadi proses knocking bukan karena RON rendah, tapi karena dia mudah terbakar dalam kondisi labil. Efek-efek seperti itu bisa menimbulkan pitting, pistonnya bolong-bolong. Tapi ini hanya bisa terlihat dalam jangka waktu panjang," tukas Pandji.

Meskipun Aryanto menjamin keamanan hidrogen sebagai bahan bakar, yang menurutnya juga telah termasuk dalam uji internal selama lima tahun, Pandji mengatakan ini perlu dijamin melewati proses pengujian yang cukup panjang.

"Apakah aman dalam jangka panjang, apakah memang pembakarannya stabil secara terus menerus, apakah dia tidak terdegradasi seiring waktu, itu butuh pengujian yang panjang.

"Lalu pengujian untuk reaktornya sendiri. Itu kan ditaruh di luar, di jok belakang. Kalau dia kehujanan, kemudian [bila] tabrakan apakah akan terjadi ledakan, itu cukup panjang ceritanya," urai Pandji yang menyebutkan pengujian bisa dilakukan melalui Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, BRIN, atau via kampus, misalnya ITB

"Kami dengan senang hati akan membantu."

Selanjutnya, target produksi massal

Soal pengujian Nikuba, belakangan juga menjadi bahasan sejumlah orang di media sosial. Banyak orang kini menanti hasil uji mesin tersebut, yang sedang dilakukan oleh LEMIGAS, dan kemungkinan keluar dua hingga tiga bulan mendatang.

Namun CEO PT Nikuba Hidrogen Nusantara, Narliswandi Piliang, mengaku sudah cukup percaya diri dengan uji internal yang dilakukan Aryanto sendiri selama lima tahun.

https://twitter.com/NikubaHidrogen/status/1525802400556101636

"Bagi saya pribadi sebagai CEO tidak butuh itu [uji ilmiah]. Sudah diuji lima tahun," kata pria yang lebih akrab disapa Iwan Piliang, melalui pesan pendek pada Kamis (02/06).

Meski tak menyediakan hasil uji internal mereka kepada publik secara detail, baik Iwan maupun Aryanto, menjamin mesin produksinya aman dan dapat dipasarkan ke konsumen.

Kodam III Siliwangi, yang telah memakai Nikuba selama sekitar dua bulan, juga mengaku tak ada kendala berarti selama memakai mesin ini di motor operasional.

"Dengan menggunakan air, kita sudah mengefisienkan penggunaan BBM. Babinsa sudah bilang diuntungkan, murah," kata Pangdam III Siliwangi, Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo, di sela-sela Pameran Inovasi di Markas Kodam III Siliwangi, Jalan Aceh, Kota Bandung, Selasa (17/05).

Kunto juga menjelaskan mengapa TNI sudah memakai Nikuba meski mesin itu masih dalam proses uji LEMIGAS dan menunggu proses pendaftaran hak paten.

"Potensi dari wilayah, itu kita analisa. Kalau tidak, kita akan menyia-nyiakan teknologi itu sendiri," sebut dia. Pengadaan Nikuba, lanjutnya, juga disesuaikan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang bermitra dengan satuannya.

"Kita mensinkronkan program dengan swasta," kata Kunto, menepis komentar bahwa dana yang dipakai adalah anggaran negara.

Saat ini, Iwan mengatakan, semua legalitas izin perusahaan PT Nikuba Hidrogen Nusantara sudah dipenuhi. Perusahaan rintisan yang dimulai pada 2017 ini dimulai oleh duo Aryanto-Iwan.

Aryanto fokus pada penelitian dan pengembangan alat, sedangkan Iwan mengurusi segi bisnisnya. Setelah mendapatkan seed funding pada 2017 senilai Rp2,5 miliar, Nikuba kini tengah menanti Pendanaan Seri A (Venture Series A) senilai USD2,5 juta, kata Iwan.

"Targetnya, November 2022 masuk pasar dan 10.000 unit dipakai di Bali."

Nikuba rencananya dibandrol dengan harga Rp4,5 juta per unit.

'Tidak perlu dinyinyirin'

Kemunculan Nikuba sebagai alat untuk mendapatkan energi alternatif selain BBM, mengingatkan sebagian orang pada proyek blue energy pada 2008, yang mengklaim bisa mengubah air menjadi bensin.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada saat itu memberikan bantuan Rp10 miliar kepada penggagasnya, Joko Suprapto, untuk mendirikan pabrik blue energy di Cikeas. Belakangan, Joko ditangkap polisi dengan tuduhan penipuan.

Tapi berbeda dengan Joko yang kala itu menghilang sebelum ditangkap tanpa pernah menjelaskan caranya memproduksi blue energy, cara kerja Nikuba yang menggunakan proses elektrolisis sudah banyak dipakai sebelumnya.

Namun bagi Pandji, berbagai klaim yang ditawarkan oleh Nikuba tetap harus berdasarkan hasil uji kelayakan. Meski begitu, kata dia, inovasi-inovasi baru harus tetap dihargai.

"Orang-orang di kampus ini [ITB] mungkin perlu belajar banyak. Bisa jadi memang ada ide-ide yang muncul tidak dari dalam kampus, tapi dari luar kampus. Yang perlu kita lakukan adalah melakukan verifikasi teknologi, kemudian membuktikan secara ilmiah bahwa itu memang bisa dilakukan," kata Pandji.

Aryanto, pembuat Nikuba, juga menanti proses uji oleh LEMIGAS itu. Bila lolos, ia berharap tidak ada lagi perdebatan di masyarakat terkait produk buatannya.

"Nanti setelah diuji LEMIGAS dan lolos, sudah selesai. Tidak perlu diperbincangkan, diperdebatkan, dinyinyirin Yang penting, aplikasi berjalan baik dan berguna bagi masyarakat."

--

Wartawan Yuli Saputra di Bandung, Jawa Barat, berkontribusi pada laporan ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI