Suara.com - Topik 'friend with benefits' (FWB) menjadi perbincangan di media sosial setelah video sejumlah perempuan secara terbuka membicarakan pengalaman seksual mereka.
Obrolan mereka tak luput dari ujaran "pelacur" pada kolom komentar, tapi pegiat hak perempuan menyebut hujatan tersebut sebagai ketimpangan seksualitas antara perempuan dan laki-laki di ruang publik.
- Kasus kekerasan seksual anak meningkat, 'Sex education jangan selalu dianggap tabu dan liberal'
- Buku 'Aku Belajar Mengendalikan Diri' dan pendidikan seks di Indonesia
Channel Voox mengumumkan permintaan maaf atas sebuah video perbincangan sejumlah perempuan tentang pengalaman seks mereka.
https://twitter.com/vooxmedia/status/1536440484754649088
Baca Juga: Sindir Konten Dewasa Edukasi Seks, Ernest Prakasa: Nggak Tau Malu
Sebelumnya, netizen mengomentari video yang diunggah Channel YouTube Voox bukanlah bagian dari pendidikan seks, melainkan pengalaman seksual.
Voox sebelumnya berkukuh program bertajuk "GirlClass" sebagai "membawa info tentang edukasi seks yang masih tabu di masyarakat kita.
https://twitter.com/vooxmedia/status/1536195998716133376/retweets/with_comments
Dari video yang diunggah dalam akunChannel YouTube Voox sejumlah perempuan membicarakan tentang pengalaman saat ingin berhubungan seksual dengan menyalurkannya melalui masturbasi, atau mencari teman kencan.
"Cewek memanggil (laki-laki), (artinya) bukan cewek panggilan," celetuk seorang perempuan sambil tertawa. Perempuan itu sedang bercerita kepada tiga teman perempuannya mengenai kemungkinan yang akan dia lakukan ketika ingin berhubungan seks.
Baca Juga: Ernest Prakasa Tanggapi Konten Dewasa Embel-Embel Edukasi Seks: Gak Tahu Malu
Menurut seksolog klinis, Zoya Amirin, video yang ditampilkan Channel Voox memang tak memiliki unsur pendidikan seksual, tapi lebih pada berbagi pengalaman seksual.
- Dapatkah hubungan seks virtual selama pandemi gantikan aktivitas dengan sentuhan fisik?
- Mengapa kita selalu menganggap kehidupan seks orang lain lebih baik?
"Sebenarnya tugasnya pendidikan seks itu menentang yang vulgar, dan mereka yang tabu agar lebih open minded. Ini adalah soal ketemu di tengah.
"Pendidikan seks itu adalah (pembelajaran) individu memahami tubuh dengan seksualitas sesuai dengan usia perkembangannya," kata Zoya.
Namun, tak semua komentar netizen mempertanyakan konten pendidikan seks pada Channel Voox.
Sebagian dari mereka justru menghujat, bahkan menyebut perempuan yang berbagi pengalaman tentang seksual mereka sebagai "rendahan" dan "pelacur".
Apa arti hujatan dari obrolan perempuan tentang seks?
Menurut pegiat hak perempuan, Dea Safira, sebagian komentar negatif yang mendekati "perundungan" ini tak lepas dari persoalan "perebutan ruang diskusi" di mana seks hanya dimiliki laki-laki, dan seks hanya bisa dinikmati laki-laki.
Akhirnya terjadi ketimpangan terkait seksualitas antara perempuan dan laki-laki.
"Kita tidak bisa mengharapkan semua orang siap untuk menerima perempuan yang terbuka membicarakan seksualitas mereka.
"Tapi ini adalah salah satu cara untuk menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan menikmati seks, perempuan juga punya pengalaman seksual, perempuan sebenarnya bisa mencapai kenikmatan seksual secara mandiri," kata penulis buku Sebelum Perempuan Bercinta ini.
Sementara itu, menurut Zoya Amirin ini terjadi karena masih ada "cipratan" dari budaya patriarki di mana laki-laki ketika berbicara seks atau melakukan hubungan seks dengan perempuan-perempuan yang berbeda dianggap sebuah kewajaran.
Ia merujuk pada kasus video selebritas yang bocor satu dekade lalu di mana "perempuan yang ditiduri malah dikatain bintang porno".
Salah satu yang menjadi sorotan netizen dari sejumlah pembahasan perbincangan perempuan dalam program GirlClass Voox terkait dengan friend with benefits (FWB) - istilah yang sudah lama dikenal tentang gaya berhubungan di era kekinian.
Apa itu FWB?
Hubungan FWB secara umum diartikan sebagai hubungan seksual dengan teman tanpa ikatan emosional. Sulit untuk menelusuri awal mula ungkapan FWB ini, tapi istilah ini sering diungkapkan publik dalam beberapa dekade belakangan ini.
Istilah FWB ini juga terdapat dalam lirik lagu Alanis Morissette berjudul "Head over Feet" (1995-1996). Salah satu liriknya adalah "you're my best friend, best friend with benefits."
Selain dari lagu ini, film komedi romantis bertajuk "Friend With Benefits" juga pernah dirilis pada 2011 dengan bintang film Justin Timberlake dan Mila Kunis.
Namun, dalam pelbagai kajian psikologi, FWB dianggap sebagai gaya hubungan baru kasual yang mencampur aspek persahabatan dan fisik secara intim (Owen&Fincham, 2011).
FWB juga ditandai dengan adanya keintiman seksual, keberlanjutan persahabatan, dan kesepakatan mereka yang terlibat di dalamnya untuk menghindari perasaan atau hubungan resmi.
"Ini adalah bentuk relationship yang kasual (bukan jangka panjang,) tidak ekslusif berkomitmen, di mana keduanya memiliki kesepakatan yang mutual dan juga konsensual, bahwa persahabatan ini akan ada seksnya, tapi tidak ekslusif antara dua orang terlibat di sini, dan dua-duanya sama-sama tahu," kata seksolog klinis, Zoya Amirin.
Di Indonesia, istilah ini berkembang di masyarakat dengan sebutan teman tapi mesra (TTM), atau hubungan tanpa status (HTS).
Kenapa hubungan FWB bisa ada?
Hubungan seks konsensual tanpa komitmen jangka panjang dipengaruhi budaya hookup, atau dorongan melakukan hubungan seks secara bebas. Di Indonesia, hal ini merupakan sesuatu yang tabu.
Bagi Zoya, ini bukanlah "budaya Barat", tapi fenomena yang ada karena pengaruh perkembangan teknologi melalui aplikasi atau pun situs kencan.
"Sekarang milih pasangan lewat online dating," katanya.
Dengan adanya aplikasi kencan ini orang-orang mendapat pilihan untuk mencari tahu hubungan seperti apa yang mereka inginkan; mulai dari hubungan resmi sampai sekadar kencan satu malam atau FWB selama terikat dengan konsensual.
"Ini (teknologi) bukan alat yang mengontrol kita, tapi kita yang atur. Untuk memilih," kata Zoya.
Apakah FWB punya risiko?
FWB tetap memiliki risiko terhadap kesehatan, kata Zoya. Risiko FWB antara lain infeksi menular sekusal, berisiko terhadap HIV/AIDS, dan berisiko terhadap kehamilan yang tidak diinginkan.
"Itu besar sekali potensinya," tambah dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Selain itu, antara orang yang terlibat dalam FWB bisa terbawa emosi meskipun hal ini "Bisa didiskusikan. Bisa dinegosiasikan."
Namun, Zoya menekankan FWB harus dilandasi keputusan secara matang dan dilakukan secara dewasa. "Menguntungkannya kalau mereka benar-benar tahu apa yang mereka mau," katanya.