Kisah Bidan yang Membantu Persalinan di Zona Perang dan Kamp Pengungsian

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 14 Juni 2022 | 18:12 WIB
Kisah Bidan yang Membantu Persalinan di Zona Perang dan Kamp Pengungsian
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Saya benar-benar merasa bahwa Anda dapat pergi ke suatu tempat yang begitu rumit, seperti zona perang, melakukan peran Anda, dan kemudian Anda akan kembali dengan rasa puas dan merasakan 'bahagia selamanya'," kata Anna Kent.

Tapi impian ideal dari bidan ini tak pernah jadi nyata. Anna membantu persalinan bayi di zona perang, daerah bencana dan kamp pengungsi. Pengalamannya mengubah hidupnya - beberapa di antaranya menghantuinya selama bertahun-tahun.

Anna adalah pekerja bantuan kemanusiaan, perawat dan bidan Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS).

Baca juga:

Dia mengawali karirnya dengan impian "konvensional" seorang perempuan muda tentang kesuksesan: pekerjaan yang bagus dan stabil, hubungan jangka panjang, menuju ke jenjang pernikahan dan kehidupan anak-anaknya terbentang di depannya.

Baca Juga: Arya Aldrin, Perempuan yang Tolak Telantarkan Anjing di Zona Perang Ukraina

Saat Anna berusia 26 tahun, dia bergabung dengan kelompok bantuan internasional, Doctors Without Borders, yang juga dikenal dengan Médecins Sans Frontières (MSF).

Dia baru saja menerbitkan memoirnya dan berbicara pada program radio BBC Outlook tentang pengalamannya.

Pasien yang sakit parah

"Saya pikir pekerjaan di luar negeri memang memberi saya perspektif bahwa kehamilan bisa sangat berisiko dan bisa berbahaya dan bisa berakibat fatal bagi perempuan jika mereka tidak memiliki akses ke bidan," kata Anna kepada BBC.

Pada 2007, Doctors Without Borders mengirimnya ke suatu daerah di Afrika yang kini menjadi wilayah Sudan Selatan.

Dia sangat bungah ketika naik pesawat kargo, mengenakan kaos oblong berlogo 'Pekerja Bantuan'.

Baca Juga: Pinggiran Naypyidaw Myanmar Seperti Zona Perang, Tembakan di Mana-Mana

Namun euforia itu padam ketika seorang pasien dibawa ke atas tandu yang terbuat dari tongkat dan dibaringkan di lantai di sebelah Anna.

"Saya belum pernah melihat penderitaan seperti itu.

"Bayi perempuan itu telah meninggal di kandungan karena tak memiliki akses ke bidan yang terlatih."

Kematian bayi yang belum lahir itu telah menyebabkan luka dalam pada ibu, bahkan ususnya pecah.

Kala itu, Anna belum terlatih menghadapi situasi seperti itu. Untungnya, pasien langsung dibawa ke ruang operasi untuk menjalani operasi darurat, setelah mendarat.

Sehari kemudian, Anna sampai di tempat kerjanya.

Itu adalah satu-satunya fasilitas medis di wilayah seukuran Provinsi Jawa Barat.

Merawat ribuan orang

Klinik itu terbuat dari lumpur dan kayu dengan atap jerami. Siang hari, suhu di dalam ruangan mencapai lebih dari 50C.

"Kami tidak memiliki air bersih dan listrik. Kami tidak memiliki panel surya yang dapat mengisi daya telpon satelit kami."

Sekitar 1.000 pasien dengan beragam penyakit dirawat di klinik itu tiap bulan.

Anna membantu persalinan bayi (tanpa pelatihan kebidanan kala itu), merawat pasien yang sakit parah dan anak-anak dengan gizi buruk, luka akibat ranjau darat, malaria dan infeksi lainnya.

Lahir di tengah badai

Suatu kali, ketika badai petir yang sangat jarang terjadi, seorang perempuan dilarikan ke rumah sakit setelah nyeri persalinannya berhenti.

"Kami melakukan tes gula darah persis seperti yang kami lakukan di rumah, dan gula darahnya sangat rendah. Jadi, kami memasang infus dan memberinya infus dekstrosa."

Syukurlah, ini berhasil.

"Bayi Musa lahir di tengah badai. Jadi, ini menyoroti [bahwa] tidak selalu membutuhkan begitu banyak peralatan medis yang rumit untuk menyelamatkan nyawa," kenang Anna.

Masalah kesehatan pribadi

Anna bekerja 24 jam sehari selama tiga bulan berturut-turut.

"Menstruasi saya telah berhenti selama 18 bulan, rambut saya rontok, saya kehilangan berat badan."

Setelah kembali ke Inggris, dia sulit berinteraksi kembali secara emosional dengan kekasihnya dan hubungan itu berakhir.

Baca juga:

Dia kemudian membuat keputusan untuk mengikuti pelatihan sebagai bidan, dan fokus dengan pelatihan itu.

Pekerjaannya sebagai pekerja bantuan kemanusiaan, membawanya ke Haiti untuk membantu para korban gempa.

Setelah itu, dia menuju ke Bangladesh untuk bekerja di kamp Kutupalong, yang menampung 30.000 pengungsi Rohingya.

Persalinan yang merusak

Di sana, Anna diberi tanggung jawab atas kesehatan para perempuan dan kehamilan di rumah sakit kamp pengungsian, di mana dia dan rekan-rekannya dari Bangladesh membantu melahirkan bayi.

Seringkali dia dihadapkan pada kasus-kasus yang menyedihkan.

Antara lain, dia berjuang keras menyelamatkan nyawa seorang perempuan yang mengalami aborsi yang gagal.

Sayangnya, perempuan itu meninggal dunia.

Baca juga:

Pengalaman yang akan menghantui Anna selama bertahun-tahun yang akan datang adalah kala dia harus melakukan 'persalinan yang merusak' darurat dari bayi yang meninggal di kandungan.

"Saya pernah bekerja dengan seorang perempuan bernama Maya, yang kehilangan bayinya.

"Karena bayi yang mati itu tersangkut [di tubuh Maya], kami harus memperkecil ukuran kepala bayi itu agar bisa dilahirkan. Dan begitulah sebuah 'persalinan yang merusak'.

"Saya harap tidak ada perempuan di dunia yang membutuhkan itu lagi. Ini mengerikan.

"Tetapi dengan bayi yang sudah meninggal, terkadang [ini] diperlukan dalam konteks di mana tidak ada akses ke perawatan kesehatan lainnya."

Meditasi

Anna merasa beban emosional dari pekerjaannya kian sulit, dan memilih untuk kembali ke Inggris, di mana dia menjadi bidan di National Health Service.

Dia mencapai titik terendah setelah membantu kelahiran bayi yang sehat. Meski berada di sebuah rumah sakit di Inggris, dia mengalami kilas balik pada persalinan destruktif yang dia lakukan di Kutupalong.

"Untuk sesaat saya bisa mencium bau asap di kamp pengungsi. Saya hampir bisa mendengar hujan menerpa beranda di luar unit bersalin. Itu hanya untuk satu atau dua detik. Tapi saya benar-benar takut."

Dia pergi ke pusat Buddhis dan mulai menjalani terapi penyembuhan.

"Dengan mencapai titik nadir itu, saya benar-benar belajar bagaimana menyembuhkan lagi."

Setelah sembuh, dia membeli sebuah perahu kecil dan bertugas selama satu bulan di pelatihan bidan di Bangladesh.

Keguguran di hari pernikahan

Di Bangladesh, Anna bertemu dengan instruktur selancar bernama Ali dan tak lama setelah itu dia hamil.

Pernikahan keduanya disiapkan dengan tergesa-gesa, namun ia mengalami keguguran tepat di hari pernikahannya.

Pasangan itu kemudian pindah ke Nottingham dan tinggal di perahunya. Dia kemudian hamil kembali.

Ketika pemeriksaan di bulan kelima, dokter menemukan tumor otak langka dalam tubuh janinnya.

Dokternya bilang pada Anna bahwa tak ada kemungkinan sama sekali bayinya akan selamat.

Dia pun harus membuat keputusan yang menyakitkan untuk menjalani persalinan ketika bayinya baru berusia enam bulan.

Dia dirawat oleh teman-teman perawat dan bidan dan melahirkan bayi perempuan bernama Fatima.

"Dia adalah bayi yang paling cantik yang pernah saya temui. Saya memiliki masa-masa terindah ketika dia berada di pelukan saya. Dia memiliki tanda-tanda kehidupan, yang sangat saya syukuri, karena saya tahu dia tidak menderita."

Duka

Anna telah menghadapi beragam persalinan dan tragedi sepanjang karirnya di luar Inggris, namun mendapati bayinya meninggal dunia membuatnya diliputi duka.

Anna dan Ali kemudian kembali ke Bangladesh dalam cemas.

Tak lama, dia kembali hamil. Tapi kali ini, dia melahirkan bayi perempuan sehat bernama Aisha.

Baca juga:

Tahun ini, putrinya berumur lima tahun.

Anna kini telah berpisah dengan Ali dan membesarkan Aisha sendirian di Inggris.

"Saya tidak bisa melindunginya dari tekanan dunia, terlepas dari pilihan hidup yang dia pilih. Tapi saya berharap kami dapat berdiskusi tentang bagaimana mengatasinya."

800 kematian ibu per hari

Tantangan yang dihadapi Anna masih sangat relevan.

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut lebih dari 800 perempuan meninggal karena komplikasi kehamilan tiap hari di seluruh dunia.

Di tempat-tempat yang terdampak perang dan bencana alam, akan lebih berbahaya bagi perempuan untuk melahirkan.

Sebuah studi yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kematian ibu di negara-negara berpendapatan tinggi adalah satu dibanding 5.400 orang.

Namun di negara miskin jumlahnya 120 kali lebih banyak - satu dibanding 45 orang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI