Suara.com - Kenaikan kasus penularan Covid-19 di Indonesia dalam dua pekan terakhir tidak bisa diabaikan dan semua pihak diminta waspada, walaupun angkanya belum terlalu tinggi, kata ahli penyakit menular.
Tambahan kasus baru Covid-19 di Indonesia selalu menembus 500 per hari sejak awal bulan ini, dan Senin (13/06) kenaikan itu mencapai 591 kasus, menurut data resmi.
Untuk itulah, pemerintah Indonesia dituntut lebih serius menyadarkan masyarakat agar mengenali resiko terpapar infeksi di tengah kebijakan pelonggaran penanganan Covid-19.
Bagaimanapun, Kementerian Kesehatan menyatakan pertambahan kasus Covid-19 dalam dua pekan terakhir "masih terkendali", namun pihaknya tetap bersikap waspada.
Baca Juga: Kasus Positif Covid-19 Indonesia Tambah Hampir Seribu Orang, 5.298 Pasien Masih Dirawat
Belum diketahui secara pasti penyebab kenaikan penularan, tetapi ini terjadi terutama setelah subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 sudah teridentifikasi ada di Indonesia.
Baca juga:
- Jokowi perbolehkan warga lepas masker di luar ruangan, tak wajib tes PCR atau Antigen saat bepergian
- Omicron masih mengancam Indonesia, apakah segera berakhir? - Dua tahun pandemi dalam data
- Kasus Covid kembali melonjak, pemerintah diperingatkan "jangan terlalu percaya diri"
Apa reaksi pemerintah atas kenaikan kasus?
Data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 pada Senin (13/06) pukul 12.00 WIB, menunjukkan penambahan 591 kasus positif dalam 24 jam terakhir.
Angka terbaru ini menunjukkan bahwa kasus baru Covid-19 di Indonesia selalu menembus 500 per hari sejak awal bulan ini.
Namun, menurut juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, angka kenaikan itu "menurun dalam dua hari terakhir".
Baca Juga: Korupsi Dana Pemanfaatan Covid-19, Negara Merugi Rp 500 Juta, Kades di Bojonegoro Segera Disidangkan
Pada Jumat (10/06), tercatat penambahan 627 kasus positif haruan secara nasional.
"Kemudian kemarin tidak diikuti dengan hospitalisasi yang meningkat. Jadi angka yang dirawat (di rumah sakit) tidak naik," kata Syahril kepada BBC News Indonesia, Senin (13/06).
"Kemudian angka yang meninggal juga tidak tinggi, bahkan di bawah standar dan positivity rate kita masih di bawah 1%," tambahnya.
Dengan demikian, Syahril menyimpulkan, laju kenaikan penularan Covid-19 dalam dua atau tiga pekan terakhir "masih terkendali".
Apalagi, menurutnya, situasi penularan Covid-19 masih berada di level satu dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Baca juga:
- Wajib vaksin booster untuk mudik lebaran, ahli kesehatan sebut 'tidak realistis dan tidak konsisten'
- Bisakah Indonesia bertransisi ke endemi jika masyarakat mulai abaikan Covid-19?
- Kasus Covid kembali melonjak, pemerintah diperingatkan "jangan terlalu percaya diri"
Mengapa subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 'harus diwaspadai'
Walaupun demikian, tambahnya, pemerintah tetap mewaspadainya sebagai "bagian dinamika keadaan pandemi".
Kewaspadaan itu juga dilatari teridentifikasinya subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 di Indonesia pada 9 Juni 2022 lalu.
"Walaupun BA.4 dan BA.5 ini dilaporkan lebih ringan tingkat keparahannya, tetapi kita tetap wasapada, apalagi terhadap orang-orang yang berisiko tinggi [terpapar]," paparnya.
Sejumlah laporan menyebutkan, Jumat (10/06), di Indonesia, ada satu kasus yang teridentifikasi subvarian BA.4 dan tiga kasus subvarian BA.5.
Kedua varian ini disebutkan memiliki tingkat transmisibilitas atau penyebaran lebih cepat ketimbang subvarian Omicron lainnya.
Namun demikian, varian ini tidak memiliki indikasi menimbulkan kesakitan lebih parah ketimbang varian Omicron lainnya.
"Masyarakat diharapkan tidak panik dan tetap beraktivitas seperti biasa sesuai yang disampaikan Presiden Jokowi dengan pelonggaran yang ada.
"Namun diharapkan segera melakukan booster untuk meningkatkan kembali imunitas kita," kata Syahril, Jumat.
Vaksinasi yang dipercepat sebelumnya sudah sering disuarakan para ahli penyakit menular.
Tren kenaikan kasus dan 'alarm agar lebih waspada'
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Profesor Tjandra Yoga, membenarkan kasus kenaikan penularan Covid-19 belakangan ini masih di bawah indikator Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun menurutnya, pemerintah "harus lebih waspada" dengan apa yang disebutnya sebagai "tren kenaikan kasus ini".
"Kita harus lihat ini ada tren. Di dalam ilmu kesehatan masyarakat, yang kita lihat bukan hanya kasus mutlak, tapi juga ada tren kenaikan," kata Tjandra kepada BBC News Indonesia, Senin (13/06).
Semula kenaikan itu sekitar 100 kasus per hari, kemudian naik 200-an, 300-an, hingga 500-an kasus. "Jelas ada tren," katanya.
Demikian pula, positivity rate yang semula di bawah 1%, kemudian naik menjadi 1% dan saat ini "satu koma sekian".
"Memang masih di bawah 5%, tetapi ada tren kenaikan. Jadi kenaikan tren ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Saya setuju agar kita tidak panik, karena situasi masih terkendali sampai saat ini, tapi ada tren kenaikan dan itu bisa menjadi 'alarm' agar kita lebih waspada ke depan," ujar Tjandra.
Apakah kebijakan pelonggaran penanganan Covid-19 perlu direvisi?
Menanggapi penilaian sebagian ahli penyakit menular yang mengkritisi kebijakan pelonggaran pengenaan masker, Kemenkes menyatakan "kebijakan pelonggaran didasarkan penanganan kasus Covid-19 sudah terkendali."
"Sudah jelas apa yang disampaikan Presiden dengan pelonggaran, karena data kita menunjukkan ada kestabilan atau terkendali, tapi tetap ada pembatasan dengan kehati-hatian," kata juru bicara Kemenkes Mohammad Syahril, Senin (13/06)
"Ini bentuk dari kebijakan, kearifan seorang pemimpin atau kita semua bahwa kita tidak gegabah, tidak juga panik," tambahnya.
Ahli penyakit menular, Tjandra Yoga, mengatakan, kenaikan kasus Covid-19 belakangan ini tidak serta-merta dengan melakukan pengetatan.
Dia meminta agar pemerintah meneliti faktor penyebab pasti kenaikan kasus penularan ini dan "apakah bisa dikendalikan situasi yang ada sekarang".
Kesimpulan penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk merevisi atau mempertahankan kebijakan pelonggaran yang ditempuh pemerintah.
"Sesudah kita mengetahui secara persis apa penyebab kenaikan ini, baru dilakukan review apakah kebijakan yang ada tetap diberlakukan atau perlu diperketat atau diperlonggar," jelasnya.
Hanya saja, Tjandra mengingatkan, masyarakat "agak kebablasan" dalam menerjemahkan kebijakan pelonggaran yang dilakukan pemerintah.
"Dalam ruangan tidak mengenakan masker, di luar banyak sekali yang tidak bermasker," ujar Tjandra. Dia kemudian meminta masyarakat untuk menahan diri.
Bagi ahli penyakit menular dari Universitas Udayana, Bali, Pande Januraga, pelonggaran pembatasan terkait Covid-19 membuat masyarakat "seperti euforia".
"Masyarakat cenderung abai bahkan untuk kondisi yang seharusnya masih dipandang beresiko tinggi, misalnya pengenaan di dalam ruangan, banyak yang sudah mulai mengabaikan resiko itu," kata Pande kepada BBC News Indonesia, Senin (13/06).
Di sinilah, Pande meminta agar pemerintah meningkatkan kampanye kepada masyarakat untuk mengenali resiko "kapan mereka bisa rileks dan kapan mereka lebih ketat".