Suara.com - Sejak seminggu terakhir, prajurit marinir Amerika Serikat berlatih di sebuah pulau di sebelah utara Darwin, Australia. Mereka mengantisipasi pengepungan dan evakuasi Kedutaan Besar AS jika terjadi konflik.
Latihan bernama Darrandarra ini diikuti prajurit-prajurit marinir untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengamankan dan mengevakuasi aset AS di negara asing.
Latihan ini diadakan setiap tahun di lokasi terpencil di wilayah Northern Territory sebagai bagian dari penempatan marinir AS selama enam bulan di wilayah itu.
Meski latihan di Pulau Bathurst Tiwis hanyalah skenario rekaan, menurut Sersan Robert Robinson, marinir kemungkinan akan dikerahkan dalam operasi nyata yang serupa sepanjang karier mereka.
Baca Juga: Forum Negara-negara Pasifik Terancam Pecah, Australia Turun Tangan Membantu
"Saya pikir kami mungkin melakukan latihan evakuasi non-kombatan setahun sekali," kata Sersan Robinson kepada ABC News.
"Kami selalu siap diterjunkan. Kami tidak pernah tahu kapan itu akan terjadi, jadi kami harus siap," katanya.
Para marinir ini dilatih hampir 24 sehari selama seminggu dalam cuaca terik siang hari dan lembap pada malam hari.
Dalam latihan ini digambarkan, gerbang "Kedutaan Besar AS Tiwi" dikepung pengunjuk rasa. Mereka berbagi peran, ada yang menjadi pengunjuk rasa dan yang lainnya menjadi penjaga Kedubes.
Penembak senapan mesin, petugas medis, dan bahkan perwakilan resmi dari Kedutaan Besar AS di Canberra ikut serta dalam pelatihan tersebut.
Baca Juga: China Ingin Teken Pakta dengan 10 Negara Pasifik. Tapi Prosesnya Tak Mudah
Setelah satu minggu berlalu, skenario yang dihadirkan bagi prajurit marinir yang rata-rata berusia 21 tahun menjadi lebih rumit.
Dari penanganan demo di Kedubes, mereka kemudian dilatih menghadapi aksi bom bunuh diri dan peristiwa yang menimbulkan korban massal.
Dalam latihan bahkan dihadirkan paket mencurigakan dan tindakan penyusupan Kedubes.
Setiap malam, saat marinir beristirahat sejenak, komandan mereka sudah sibuk menyiapkan tantangan baru yang akan mereka hadapi.
"Kami mulai dari yang sangat kecil kemudian mengembangkannya hingga ke skenario terburuk," jelas Letnan Tess Miller.
"Kami membunuh pimpinan mereka atau memutuskan komunikasinya. Kemudian mereka harus menghadapi situasi ini," katanya.
Sersan Robinson mengatakan ujian utama bagi para marinir muda di lapangan adalah memastikan mereka tetap tenang.
"Kami sengaja mendesak dan menekan mereka dengan tujuan apakah mereka ini bisa terprovokasi," jelasnya.
Sersan Jacob Sullivan, yang mengawasi tim penembak mesin selama latihan, mengatakan operasi keamanan dan evakuasi mengharuskan marinir untuk memiliki pola pikir yang berbeda dari yang mereka lakukan dalam situasi pertempuran biasa.
"Dalam situasi seseorang memukul-mukul pagar Kedutaan dengan tongkat, ada seorang marinir bertanya apakah kita harus terlibat," ujar Sersan Sullivan.
"Jawabannya tidak, karena orang itu berada di balik pagar. Dia warga sipil dan Anda akan menghadapkan senjata dengan tongkat," katanya.
"Anda harus memikirkan kekuatan yang Anda gunakan dan kekuatan yang mereka gunakan," tambah Sersan Sullivan.
Kelompok marinir paling siap tempur
Pelatihan ini merupakan kegiatan tahunan Marine Rotational Force-Darwin (MRF-D), yakni pelatihan enam bulan yang merupakan implementasi kesepakatan antara AS dan Australia yang kini memasuki tahun ke-11.
Pada tahun 2022, prajurit marinir yang ambil bagian adalah kelompok yang paling cakap dan paling siap tempur yang pernah dikerahkan.
"Resimen Marinir Kelima yang membentuk MRF-D sudah menjadi resimen tetap, sehingga kami dapat terlibat dalam misi ini karena sudah kredibel dalam pertempuran," kata Sersan Robinson.
"Kami siap untuk terus berlatih di sini bersama Australia dan mitra lainnya di kawasan ini. Kami juga siap untuk menanggapi krisis di mana pun di kawasan Pasifik," tegasnya.
Ketika ketegangan di kawasan Indo-Pasifik terus memanas, peningkatan marinir yang sekarang berbasis di Australia Utara adalah perubahan yang halus namun signifikan.
Hal itu dikemukakan oleh Dr John Coyne dari Institut Kebijakan Strategis Australia yang menyebut peningkatan kehadiran AS ini menandakan pentingnya kawasan strategis bagi kedua negara.
"Ada bukti yang jelas bahwa Pemerintah AS akan berinvestasi lebih besar dalam memastikan bahwa rantai pasokan dan fasilitas logistik pertahanan hadir di Australia Utara dan siap mendukung berbagai kemungkinan di Pasifik," katanya.
Sekitar 2.000 marinir berbasis di wilayah Top End (semenanjung paling utara Benua Australia) sebagai bagian dari rotasi 2022.
Sebagai perbandingan, hanya 200 marinir yang dikerahkan pada tahun 2012.
Dr Coyne memperkirakan jumlah tersebut akan terus meningkat.
"Penempatan mereka di Darwin dan Australia Utara memberikan akses kedekatan dengan kawasan, menyediakan kapasitas bagi AS untuk menjalankan operasi," katanya.
Tapi Dr Coyne mengatakan dia yakin AS akan berhenti membangun pangkalan militer formal permanen di Australia Utara.
"Akan ada peningkatan kunjungan kapal dan peningkatan kunjungan pasukan di tahun-tahun mendatang," katanya.
"Konsep pangkalan seperti yang kita pahami dalam Perang Dingin — kini sangat sedikit negara yang menyambut pangkalan AS seperti itu," katanya.
Mengenai apakah peningkatan militer AS di Darwin membuat Australia Utara menjadi target konflik, Dr Coyne mengatakan dia yakin kehadiran pasukan Amerika sebenarnya merupakan penghalang.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News.