Suara.com - Tim Hukum Koalisi Masyarakat Sipil tengah menunggu putusan Majelis Hakim PTUN DKI Jakarta terkait dengan pengangkatan Mayjen TNI Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya. Sidang perlawanan itu dengan perkara No. 87/PLW/2022/PTUN.JKT.
Pada 27 April 2022 lalu, tim koalisi yang terdiri dari KontraS, PBHI, LBH Jakarta, dan AMAR Law Firm & Public Interest Law Office, yang mewakili Para Penggugat yaitu korban penghilangan paksa 1997-1998, Imparsial, dan YLBHI, telah melayangkan perlawanan atas Penetapan Dismissal PTUN Jakarta tertanggal 12 April 2022.
Sebab, penetapan dari PTUN Jakarta itu dianggap memberikan perlindungan terhadap praktik impunitas di Indonesia, khususnya terhadap Mayjen Untung. Diketahui, Mayjen Untung terbukti bersalah dalam kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998 ketika tergabung dalam Tim Mawar Kopassus.
Dalam siaran pers tim koalisi yang termaktub dalam laman kontras.org, Ketua PTUN Jakarta menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena Keputusan Panglima TNI yang mengangkat Pangdam Untung Budiharto dianggap bukan kewenangan PTUN untuk mengadili.
Baca Juga: Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya Tinjau Arus Mudik di Bandara Soekarno-Hatta
Hal itu merujuk pada Pasal 2 huruf f UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, melainkan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Militer berdasarkan UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
"Padahal, Koalisi meyakini bahwa TNI masuk dalam struktur pemerintahan eksekutif sesuai dengan perluasan makna KTUN di Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara," tulis tim koalisi sebagaimana dikutip Suara.com, Sabtu (11/6/2022).
Tidak sampai situ, koalisi juga telah mengajukan gugatan terkait Keputusan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa terkait pengangkatan Mayjen Untung sebagai Pangdam Jaya ke Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.
Hanya saja, gugatan tersebut ditolak tanpa adanya proses pengadilan yang berlangsung dengan alasan Peraturan Pemerintah mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer hingga saat ini belum tersedia.
Koalisi menilai, gugatan terkait keputusan Panglima TNI itu harusnya dijadikan bahan refleksi dan perbaikan. Dalam konteks ini, pengambilan keputusan dalam tubuh TNI tidak dapat diuji dan tidak transparan.
Baca Juga: Tok! PTUN Jakarta Tolak Gugatan Keluarga Korban 98 Soal Pengangkatan Mayjen Untung Jadi Pangdam Jaya
"Sehingga apabila terdapat Keputusan Tata Usaha Militer yang sewenang-wenang dan merugikan masyarakat banyak seperti yang ada saat ini, kemanakah masyarakat bisa mencari perlindungan hukum dan keadilan?" tegas tim koalisi.
Agenda sidang perlawanan ini, lanjut tim koalisi, akan ditutup dengan agenda utusan pada 16 Juni 2022 pukul 13.00 WIB mendatang. Diharapkan, putusan tersebut dapat menjadi ajang pembuktian majelis terkait keberpihakan atas penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia.
"Sebab, pengangkatan penjahat kemanusiaan menjadi Panglima Kodam Jaya merupakan preseden buruk bagi penghormatan HAM, reformasi personel sektor keamanan, serta penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat."
Koalisi memandang, pejabat publik yang terlibat pelanggaran HAM telah menunjukkan ketiadaan integritas yang mendasar dan merusak kepercayaan warga negara. Akan menjadi preseden buruk yang merugikan banyak pihak.
"Bukan hanya merugikan penyintas, korban, dan keluarga korban penghilangan paksa 1997 – 1998 melainkan juga seluruh warga negara Indonesia dan masa depan bangsa."
Koalisi juga menilai, pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha Militer di kamar Pengadilan Tata Usaha Negara juga akan menjadi salah satu penemuan hukum yang baik terhadap kemajuan penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Khususnya untuk mendobrak kekebalan hukum bagi tubuh TNI serta merobek tirai eksklusivitas di antaranya.