Suara.com - Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan dengan semakin meningkatnya konsumsi Air Minum Dalam Kemasan atau AMDK, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) melakukan review terhadap standar kemasan dan pelabelan AMDK.
Sebagaimana berlaku di dunia internasional, review yang dilakukan berdasarkan perkembangan hasil pengawasan, ilmu pengetahuan, teknologi, regulasi, serta bukti ilmiah di Indonesia dan di negara lainnya.
Penny pun menegaskan beberapa poin penting dalam pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik antara lain, tidak melarang penggunaan kemasan galon PC sehingga dapat dipastikan tidak ada potensi kerugian ekonomi bagi pelaku usaha. Hal ini semata untuk kepentingan perlindungan konsumen dan juga pelaku usaha.
Penny mengatakan dengan semakin meningkatnya konsumsi AMDK yang disebabkan masih relatif rendahnya cakupan ketersediaan air bersih/minum perpipaan di Indonesia yang baru 20,69 persen (2021) dari total penduduk yang membutuhkan air minum bersih sesuai standar kualitas dan keamanan, BPOM melakukan reviu terhadap standar kemasan dan pelabelan AMDK.
Baca Juga: Vaksin Covid-19 Buatan Dalam Negeri Ditargetkan Dapat Izin Penggunaan Darurat Juli 2022 Ini
"Saat ini, di masyarakat internasional dan dalam negeri telah banyak informasi terkait keamanan Bisfenol A (BPA) pada kemasan plastik polikarbonat (PC) yang berpotensi berdampak pada kesehatan," kata Penny dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (9/6/2022).
BPA merupakan salah satu bahan penyusun plastik PC kemasan air minum dalam galon yang pada kondisi tertentu dapat bermigrasi dari kemasan plastik PC ke dalam air yang dikemasnya.
Saat ini di masyarakat international dan dalam negeri telah banyak informasi terkait keamanan Bisfenol A (BPA) pada kemasan plastik polikarbonat (PC) yang berpotensi berdampak pada kesehatan. BPA merupakan salah satu bahan penyusun plastik PC kemasan air minum dalam galon yang pada kondisi tertentu dapat bermigrasi dari kemasan plastik PC ke dalam air yang dikemasnya.
"Karena menjadi perhatian serius di luar negeri terhadap dampak kesehatan dari BPA ini, pada tahun 2018 Uni Eropa menurunkan batas migrasi BPA yang semula sebesar 0,6 bpj (bagian per juta) turun menjadi 0,05 bpj," ujarnya.
Di Indonesia persyaratan batas migrasi Bisfenol A pada kemasan plastik polikarbonat ditetapkan dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, sebesar 0,6 bpj. Berdasarkan hasil pengawasan kemasan galon yang dilakukan Badan POM pada tahun 2021 dan 2022, baik dari sarana produksi maupun peredaran, ditemukan 3,4 persen sampel tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA yang diperoleh di sarana peredaran.
Baca Juga: Kabar Gembira Vaksin COVID-19 BUMN Masuk Fase Uji Klinis, Bisa Produksi 120 Juta Dosis Per Tahun
Hasil uji migrasi BPA yang mengkhawatirkan (berada pada 0,05 s.d. 0,6 bpj) sebesar 46,97 persen di sarana peredaran dan 30,91 persen di sarana produksi. Hasil pengawasan kandungan BPA pada produk AMDK dengan kandungan BPA di atas 0,01 bpj (berisiko terhadap kesehatan) di sarana produksi sebesar 5 persen sampel galon baru dan di sarana peredaran sebesar 8,67 persen.
"Sehingga dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberikan informasi yang benar dan jujur, Badan POM berinisiatif melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik dengan melakukan revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan” kata Penny.
Menurut dia pengaturan pelabelan BPA pada AMDK ini juga dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, regulasi serta bukti ilmiah di negara lain, dan perlu dipahami bersama bahwa isu BPA dalam produk pangan olahan ini bukan masalah kasus lokal atau nasional tetapi merupakan perhatian global yang harus disikapi dengan cerdas dan bijaksana untuk kepentingan perlindungan kesehatan konsumen.