Suara.com - Hari Raya Galungan merupakan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat umat Hindu di Bali. Seperti apa sejarah Hari Raya Galungan hingga jadi peringatan sakral bagi umat Hindu?
Galungan identik dengan Penjor yang dipasang di tepi jalan dan menghiasi jalan raya. Penjor adalah bambu yang dihias untuk perayaan Galungan. Di masa kini, hari raya Galungan merupakan salah satu tujuan pariwisata. Pulau Bali disorot sebagai pulau yang indah sekaligus religius.
Sejarah Hari Raya Galungan adalah ketika umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta. Oleh karena itulah Hari Raya Galungan identik dengan hiasan yang terbuat dari alam. Masyarakat mensyukuri perayaan ini untuk bersyukur atas terciptanya alam semesta.
Baca Juga: Sembahyang Hari Raya Galungan Usai, Mangir Lor Langsung Diguyur Berkat lewat Hujan
Selain itu, perayaan ini juga merayakan kemenangan bahwa kebaikan telah mengalahkan kejahatan. Galungan merupakan kata dari bahasa Jawa Kuno yang berarti bertarung. Galungan bisa disebut dengan dungulan yang artinya menang. Perbedaan penyebutan Wuku Galungan di Jawa dengan Wuku Dunguan di Bali adalah memiliki arti yang sama yakni yang ke sebelas.
Belum diketahui kapan Hari Raya Galungan pertama kali dilaksanakan. Menurut Drs I Gusti Agung Gede Putra selaku Mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddhe dari Departemen Aama RI memperkirakan perayaan Hari Raya Gulungan sudah dirayakan oleh umat hindu di seluruh Indonesia sebelum populer di Pulau Bali.
Pendapat lain yakni berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa. Menurut lontar tersebut, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan di hari purnama Kapat atau Budha Kiwon Dungulan tahun 882 Masehi atau tahun saka 804. Lontar tersebut berbunyi “Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.”
Artinya: “Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.”
Lontar merupakan daun yang diibaratkan sebagai pustaka suci yang disucikan atau kitab pedoman dan disimpan oleh umat Hindu.
Baca Juga: Perayaan Hari Raya Galungan di Sejumlah Daerah
Galungan dikaitkan dengan legenda peperangan Bhatara Indra yang melambangkan Dharma melawan Mayadenawa yang melambangkan kebatilan. Mayadenawa adalah raksasa yang sangat ditakuti masyarakat. Ia ingin semua orang tunduk dengannya dan menyembahnya.
Masyarakat dilarang sembahyang ke Pura untuk menyembah Dewa. Dewa-dewa pun geram dengan perilaku Mayadenawa yang sewenang-wenang dan akhirnya mengutus Bhatara Indra untuk melawannya dan turun ke dunia.
Ketika Bhatara Indra bertemu Mayadenawa, Bhatara mengatakan bahwa tindakan Mayadenawa salah. Mayadenawa tidak terima dan terjadilah peperangan. Namun kesaktia Bhatara Indra membuatnya menjadi pemenang. Mayadenawa pun tewas. Hari kemenangan tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Raya Galungan.
Hari Raya Galungan dirayakan dua kali dalam satu tahun. Jarak antara Galungan dan Kuningan sendiri adalah 10 hari. Perhitungan tanggal perayaan tersebut berdasarkan kalender Bali. Galungan dilaksanakan setiap hari Rabu pada Dungulan, sementara Kuningan setiap hari Sabtu pada wuku Kuningan. Contohnya seperti Galungan pada tahun 2012 dirayakan pada 1 Februari 2012 dan 29 Agustus 2012. Kuningan di tahun 2012 telah dirayakan pada 11 Februari dan 8 September 2012.
Demikian sejarah Hari Raya Galungan yang saat ini populer dan identik di Bali. Perayaan ini sebagai bentuk rasa syukur masyarakat karena alam semesta dan seluruh isinya. Oleh karena itulah, perayaan ini identik dengan alam.
Kontributor : Annisa Fianni Sisma