Suara.com - Tasnim Upama tidak pernah membayangkan harus menghitung setiap sen pengeluarannya ketika pindah ke Australia untuk belajar.
Namun ini harus dilakukan mahasiswa akuntansi Universitas Charles Darwin tersebut, demikian halnya bagi para mahasiswa internasional lain di tengah masalah kenaikan biaya hidup di Australia.
"Sebelum datang ke Darwin, saya tidak menyangka akan sebanyak ini biaya [yang ditanggung]," kata Tasnim.
Biaya hidup yang harus dibayarkan Tasnim antara lain adalah biaya sewa, listrik, bensin, kebutuhan bayi, kebutuhan umum, dan uang kuliah.
Baca Juga: Semahal Apa Hidup di Australia? Cari Tahu dengan Melihat Harga Bahan Pokok
Karena banyaknya pengeluaran, dia merasa kesulitan untuk bertahan.
"Kenaikan biayanya semakin parah, tetapi pendapatan kami tidak bertambah," katanya.
Dua pekerjaan tidak cukup untuk membayar tagihan
Untuk mengurus bayinya yang berumur tujuh bulan, Tasnim harus mengambil cuti kerja.
Suaminya, Mohammad Islam bekerja sebagai sopir kendaraan berbasis aplikasi sembari bekerja paruh waktu di supermarket.
"Kami sudah menitipkannya ke penitipan anak tapi harganya sangat mahal karena kami tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, jadi kami harus mengurusnya sendiri," katanya.
Baca Juga: Biaya Hidup di Australia Makin Mahal, Pemerintah Berikan Bantuan Tunai
Mohammad mengatakan pekerjaannya di dua tempat masih tidak dapat mengimbangi jumlah pengeluaran mereka.
"Sebagian besar pendapatan kami tergantung pada Uber [tetapi] karena kenaikan harga bensin, pendapatan saya tertahan," katanya.
Kini, pasangan tersebut masih berharap agar di masa depan kehidupan mereka menjadi lebih mudah.
"Saat istri saya sudah menyelesaikan gelarnya, mudah-mudahan kondisi kami lebih baik," kata Mohammad.
Siswa di Australia 'tidak dapat mengatasi' masalah biaya hidup
Hingga Desember tahun lalu, terdapat 300.000 pemegang visa pelajar di Australia, dengan 2.000 di antaranya kuliah di Universitas Charles Darwin.
Staf Internasional Persatuan Mahasiswa di Australia, Dhruv Sabharwal, mengatakan seluruh mahasiswa internasional di seluruh Australia khawatir dengan adanya kenaikan biaya hidup.
"Biaya meningkat sangat cepat saat ini … sehingga mahasiswa internasional tidak mampu mengatasinya," katanya.
"Yang peningkatannya paling tajam adalah biaya sewa ... bahkan makanan dan hal lain juga naik semua, ongkos naik kendaraan umum juga.
"Tujuan utama mahasiswa internasional adalah untuk menyelesaikan tugas kuliah mereka di sini, tapi kami tetap terpuruk karena kenaikan biaya."
Seluruh warga Australia berusaha bertahan di tengah kenaikan harga, tetapi Georgie Beatty, presiden Persatuan Mahasiswa di Australia, mengatakan hal ini terutama "sangat menyulitkan bagi siswa".
"Mereka memiliki pekerjaan yang tidak pasti, pekerjaan kasual dengan upah minimum dan pendapatan mereka sangat-sangat kecil dibandingkan dengan negara lain," katanya.
'Tidak ada penyangga' dalam menghadapi tekanan biaya hidup
Pelajar internasional, khususnya di kawasan Australia Utara, termasuk yang terkena dampak paling parah.
Laporan Layanan Sosial Dewan Kawasan Australia Utara (NTCOSS) baru-baru ini melaporkan kenaikan biaya di beberapa daerah jauh di atas rata-rata nasional.
Staf kebijakan NTCOSS Sarah Holder mengatakan mereka yang berpenghasilan rendah, seperti kebanyakan mahasiswa internasional, adalah yang paling terpukul.
"Biaya hidup di Kawasan Australia Utara telah naik secara signifikan untuk hal utama dan biaya hidup, termasuk perumahan, transportasi, dan bahan bakar," katanya.
Sarah mengatakan indeks harga konsumen (CPI) Darwin secara signifikan lebih tinggi daripada bagian negara lainnya.
"Misalnya, CPI untuk perumahan naik sekitar 16 persen di Darwin dibandingkan dengan empat persen secara nasional, dan bahan bakar naik lebih dari 41 persen di Darwin dibandingkan dengan sedikit di atas 32 persen secara nasional," katanya.
"Untuk mahasiswa internasional, mereka sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan pendapatan, jadi mereka sebenarnya tidak memiliki penyangga untuk dapat mengatasi kenaikan biaya hidup ini."
Australia menjadi 'kurang menarik' bagi siswa internasional
Tasnim mengatakan masalah keuangan ini telah mempengaruhi kesehatan mentalnya.
"Jika saya mempertimbangkan biaya kuliah saya, dan kemudian biaya hidup, produk bayi, bahan makanan … semuanya sangat menegangkan bagi kami saat ini," katanya.
"Saya merasa sangat stres setiap kali saya memikirkan bayi saya."
Dhruv Sabharwal dari Persatuan Mahasiswa di Australia mengatakan dampak kenaikan biaya memiliki dampak "drastis" pada kesehatan mental siswa internasional.
"Semua orang sangat stres … Saya menyaksikan sendiri orang-orang mogok kuliah," katanya.
Ini terjadi karena mereka tidak dapat menghidupi diri sendiri, tidak memiliki cukup waktu untuk belajar, harus bekerja berjam-jam dan terkadang dipaksa bekerja di bawah upah minimum. Semua ini menyebabkan kondisi kesehatan mental para siswa menurun.
"Kami menjadi beban keluarga kami, kami tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum yang kami butuhkan secara finansial," katanya.
Dia mengatakan penghasilan yang didapat dari mahasiswa internasional mereka bisa mengering jika tidak ada langkah yang diambil untuk memperbaiki kondisi mereka.
"Australia menjadi semakin tidak menarik bagi siswa internasional sekarang karena biaya pendidikan dan biaya hidup yang terlalu tinggi," katanya.
"Kami ditinggalkan dan diabaikan."
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris