Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai ada indikasi untuk memasifkan wacana daerah otonomi baru (DOB) dibalik penunjukan Komjen (Purn) Paulus Waterpauw sebagai Penjabat Gubernur Papua Barat. Bahkan, dikhawatirkan hal tersebut menjadi berbahaya dalam konteks keamanan di Papua.
Pasalnya, gelombang penolakan terkait DOB oleh masyarakat sedang tinggi. Bahkan, aksi unjuk rasa yang berlangsung di sejumlah titik dibubarkan aparat dengan tindakan represif.
"Kami mengkhawatirkan hal itu menjadi satu hal yang berbahaya. Kita tahu sendiri bahwa DOB masih ditolak masyarakat Papua, walaupun ada klaim dari pemerintah bahwa masyarakat Papua surveinya menerima DOB," kata Staf Divisi Hukum Kontras, Adelita Kasih di kantor Ombudsman RI, Jumat (3/6/2022).
KontraS menilai kehadiran Waterpaw sebagai Penjabat Gubernur Papua Barat dapat membikin masif wacana DOB yang nyatanya ditolak oleh masyarakat. Kata Adelita, tidak menutup kemungkinan potensi pengamanan terkait penolakan tersebut akan semakin kuat lantaran Penjabat Kepala Daerah mempunyai latar belakang Polri.
"Kami khawatirkan akan memasifkan DOB itu sensiri dan juga tidak menutup kemungkinan karena preseden presedebln yang lalu, kita bisa melihat bahwa ketika TNI dan Polri menjabat legitimasi keamanannya akan semakin kuat. Itu hal yang kami khawatirkan," beber dia.
Laporkan Mendagri ke Ombudsman
KontraS bersama Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melaporkan Menteri Dalam Negeri ke Ombudsman RI pada hari ini.
Laporan tersebut terkait adanya dugaan Maladministrasi proses penentuan Penjabat Kepala Daerah yang tidak diselenggarakan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Adelita menyampaikan, pihak Kemendari melakukan penyimpangan prosedur dan pengambilan kewajiban hukum dalam proses penentuan Penjabat Kepala Daerah. Dalam hal ini, ada sejumlah hal yang menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil.
"Proses ini kami nilai maladministrasi karena adanya penyimpangan prosedur dan pengambilan kewajiban hukum yang dilakukan pihak Menteri Dalam Negeri," ucap Adelita.
Sorotan pertama, mengenai adanya tata kelola yang tidak transparan, akuntabel, dan partisipatif. Kedua, soal penunjukan perwira TNI/Polri aktif sebagai Penjabat Kepala Daerah.
Sorotan ketiga adalah potensi konflik kepentingan dalam penunjukan Penjabat Kepala Daerah yang sudah berlangsung beberapa waktu lalu. Selain itu, koalisi masyarakat sipil juga menilai, penunjukan Penjabat Daerah melanggar asas profesionalitas.
Sebelum melapor ke Ombudsman RI, koalisi masyarakat sipil terlebih dahulu mengirim surat keberatan ke pihak Kemendagri pada akhir Mei 2022.Hanya saja, hingga kini hal tersebut tak kunjung di respons.
"Surat keberatannya terkait dengan penentuan Penjabat Kepala Daerah yang tidak transpaean, akuntabel, dan partisipatif. Secara formil memang Ombudsman menghendaki adanya uoaya keberatan dahulu kepada instansi terkait, baru melakukan pelaporan," beber Adelita.
Selain surat keberatan, koalisi juga sudah mengirimkan surat permohonan informasi. Surat tersebut berkaitan dengan proses, assesmen, proses penentuannya penunjukan Penjabat Kepala Darah.
"Kalau surat keberatan per akhir Mei lalu, kalau permohonan informasi masih dalam rentang waktu seminggu," pungkas Adelita.