Perang Ukraina: Cerita Mahasiswa yang Menjadi Prajurit di Garis Depan

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 01 Juni 2022 | 15:10 WIB
Perang Ukraina: Cerita Mahasiswa yang Menjadi Prajurit di Garis Depan
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Maxsym Lutsyk kini terlihat lebih tua, menjadi lebih serius, dan jarang bercanda, berbeda dibandingkan saat saya melihatnya saat awal-awal invasi Rusia ke Ukraina. Ketika itu, remaja berusia 19 tahun itu baru saja memutuskan menunda kuliah dan mengajukan diri untuk berperang.

Pekan lalu, ia melakukan perjalanan yang berat dari garis depan wilayah Donbas, menggunakan jalan belakang pada malam hari menghindari tembakan senjata artileri untuk mengambil persediaan pasokan bagi unitnya dan memberi tahu bagaimana rasanya berperang melawan tentara Rusia.

Kami bertemu di Bakhmut, kota kecil yang masuk dalam jarak tembak senjata artileri Rusia. Beberapa bangunan di kota itu kini menjadi reruntuhan dan hampir kosong ditinggalkan warga sipil.

Selama tiga pekan, Maxsym dan rekannya telah berperang untuk mengontrol sebuah posisi yang mereka sebut "Serber", sesuai dengan nama seekor anjing kecil yang mereka adopsi. Tempat itu adalah bekas pabrik yang hancur di Rubizhne, kota yang akhirnya jatuh ke Rusia.

Baca Juga: Drone Bayraktar Turki Laku Keras Setelah Dikerahkan dalam Perang Ukraina

Baca juga:

"Di sana seperti neraka. Tidak ada posisi baik untuk dipertahankan. Kami bertahan di parit-parit, kadang di penampungan sejak era Soviet dan di stasiun pemadam kebakaran."

Unitnya menjadi target penembakan oleh tank sekitar 25 kali sehari, katanya.

"Salah satu teman saya terbunuh di sana dan mungkin ada 10 atau 15 prajuirt yang terluka serius."

Awal Maxsym mendaftar

Kini, musim panas hampir tiba dan tanah hitam subur Ukraina dipenuhi dengan kehidupan, namun perang paling mematikan masih terjadi di Donbas.

Baca Juga: Petinggi Militer dan Politikus Rusia Masuk Daftar Penjahat Perang Ukraina

Jenderal-jenderal Rusia terus belajar dari kemenangan-kemenangan musuhnya di sekitar Ibu Kota Kyiv dan Kharkiv, kota terbesar kedua Ukraina.

Pasukan Rusia dan kekuatan senjata yang mematikannya terkonsentrasi di wilayah sempit Ukraina timur. Kini, Rusia hampir memaksa tentara Ukraina keluar dari Luhansk, satu dari dua wilayah di dalam Donbas.

Yang lain, Donetsk, tempat Ukraina bertahan, telah dipukul oleh artileri Rusia.

Saya pertama kali bertemu dengan Maxsym, seorang mahasiswa jurusan biologi, pada awal Maret. Dia dan teman kampusnya Dmytro Kisilenko, berusia 18 tahun dan belajar ekonomi, telah mendaftar untuk berperang tak lama setelah Rusia meluncurkan invasi.

Di tengah udara dingin yang menusuk, mereka menunggu bersama orang-orang lain yang mendaftar untuk memasuki bus menuju pusat pelatihan. Mereka tampak seperti anak remaja yang akan berlibur ke festival atau perjalanan berkemah.

Menyaksikan remaja masih berusia 18-19 tahun, yang penuh semangat menggebu dan tak terkalahkan, pergi berperang di Eropa adalah pemandangan yang memilukan, menyedihkan dan mengkhawatirkan. Itu adalah sebuah tanda bahwa perang besar akan datang.

Pada Maret lalu, Maxsym, Dmytro dan seluruh rakyat Ukraina beradaptasi dengan keadaan, seperti yang dilakukan manusia dalam perang. Setelah serangan pertama yang mengejutkan, kehidupan dan rutinitas sehari-hari masyarakat Ukraina memudar dan berubah menjadi kehidupan nyata baru yang memakan semuanya.

Selama pelatihan singkat mereka di awal Maret, kami berbicara tentang bagaimana perang mengubah segalanya. Kata-kata Maxsym terdengar tua dibandingkan usianya.

"Kami tidak bisa bertemu istri, pacar, dan anak. Kami tidak bisa melakukan usaha, dan kehidupan sehari-hari seperti sebelum invasi. Tapi, setiap orang mengerti bahwa kami memiliki misi yang lebih penting sekarang. Dan, kami akan terus melanjutkan usaha kami, membesarkan anak-anak kami. Kami akan mencium istri kami dan pacar kami berkali-kali, tapi setelah perang usai."

Kehidupan mereka, dan rakyat Ukraina lain, menjadi hancur dan berantakan ketika Rusia menginvasi pada 24 Februari. Begitu juga dengan kehidupan kita semua yang bukan rakyat Ukraina.

Terlepas dari serangan-serangan Rusia, Maxsym tetap bertekad kuat untuk ikut berperang. Temannya Dmytro, yang bertempur untuk mempertahankan Kyiv, tetap berada di ibu kota. Karena mereka masih mahasiswa, jasa mereka di Donbas tidak wajib.

"Sepanjang dibutuhkan untuk bertahan, kami siap membeku di parit hingga kehilangan pendengaran kami. Kami bahkan siap untuk mati di sana, tapi kami akan memenangkan waktu sebanyak yang diperlukan bagi seluruh dunia beradab untuk mengalahkan Rusia di jalur bukan perang."

Dia tidak setuju kepada mereka yang menyebut diri sebagai sekutu Ukraina, namun mengatakan Ukraina harus menukar wilayahnya sebagai jalan tengah dengan Rusia Vladimir Putin.

"Saya pikir tidak ada cara untuk membuat kesepakatan dengan Putin. Putin hanya memahami bahasa peluru, darah, kejahatan perang dan sesuatu yang lain. Tidak mungkin dengan mengatakan ambil bagian wilayah ini dan perang akan berakhir."

Saya bertanya kepada Maxsym bagaimana perang ini mengubahnya. Ia bercerita, di awal tahun, ia telah merencanakan konser yang melibatkan politikus muda di Kyiv.

"Bahkan sekarang saya tidak bisa menjawab Anda dengan tepat karena sangat sulit untuk memahami bahwa beberapa teman, mereka meninggal di pelukan saya."

"Sulit untuk hidup dengan fakta itu ... dan ketika kami meninggalkan Rubizhne, sulit untuk kami untuk memahami bahwa kami telah kalah dalam pertempuran mempertahankan pabrik ini; untuk salah satu kota utama di wilayah Luhansk."

'Perang Terang dan Kegelapan'

Kembali ke bulan Maret, Maxsym dulu bercanda bahwa ia tidak memberi tahu orang tuanya, tugas apa yang akan dilakukan dengan seragam ini.

"Sekarang orang tua memahami saya 100%. Saya mencoba menelepon mereka setiap kali saya bisa. Ibu mengirim beberapa seragam untuk saya dan saudara -saudara (prajurit) saya."

Ayahnya mencoba bergabung dengan pasukan pertahanan teritorial di kota asal Maxsym, Sumy.

"Tapi dia berusia 65 tahun dan terlalu tua untuk berperang. Jadi ketika mereka menolaknya, dia menelepon saya dan berkata 'Maxsym, bisakah aku menjadi bagian dari unitmu?'

"Mereka (orang tua) mengerti saya. Mereka mendukung saya secara mental dan finansial."

Baca juga:

Di Donbas, kini penuh dengan tanda -tanda bahwa Ukraina diperkirakan akan kehilangan lebih banyak wilayah akibat serangan bertubi Rusia.

Garis parit baru telah digali di belakang. Konvoi traktor besar dan mahal sedang didorong ke barat. Senjata berat canggih yang perlu mereka kuasai dan bahkan mengalahkan daya tembak Rusia akan tiba, tetapi belum cukup cepat untuk memaksa penjajah itu pulang.

Maxsym, seorang mahasiswa kini telah berubah menjadi prajurit garis depan, yang ia percaya menjadi misi hidupnya.

"Kami berjuang untuk kebebasan di seluruh dunia, dunia yang beradab dan jika ada yang berpikir ini adalah perang Ukraina-Rusia, mereka salah. Ini adalah perang cahaya dan kegelapan antara Rusia dan seluruh dunia . "

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI