Suara.com - Militer Rusia menggiatkan operasi menduduki kota Severodonetsk demi mengamankan Provinsi Luhansk di kawasan timur. Moskow diyakini berpacu dengan waktu sebelum datangnya pasokan senjata dari negara barat untuk Ukraina.
Hingga Senin (30/5), Rusia baru menguasai sepertiga Severodonetsk. Akibatnya, Moskow mengirimkan lebih banyak senjata berat ke kota yang menjadi benteng terakhir Ukraina di tepi Provinsi Luhansk.
Dalam pesan videonya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan stuasi di Donbass "masih sangat sulit,” seiring langkah Rusia memindahkan "kekuatan tempur maksimal” ke kawasan timur Ukraina.
Analis militer barat meyakini Rusia sedang berpacu dengan waktu untuk merebut kota Severodonestk. Kota yang berjarak 145 km dari perbatasan Rusia itu bernilai penting, lantaran posisinya yang strategis di Luhansk.
Baca Juga: Petinggi Militer dan Politikus Rusia Masuk Daftar Penjahat Perang Ukraina
"Kremlin menyadari mereka tidak bisa membuang waktu lagi dan harus memanfaatkan peluang terakhir untuk memperluas wilayah pendudukan kelompok separatis, karena kedatangan senjata berat dari barat akan membuat rencana itu menjadi mustahil,” kata analis militer Ukraina, Oleg Zhdanov.
Walikota Severodonestk, Oleksandr Striuk, mengatakan perang telah "sepenuhnya menghancurkan” kota, dengan kerusakan infrastruktur mencapai 90 persen.
"Angka korban juga bertambah setiap jam, tapi kami tidak bisa menghitung jumlah korban jiwa karena pertempuran di jalanan,” kata dia. Striuk memperkirakan, sebanyak 1.500 warga sipil telah tewas di Severodonestk, sementara 12.000 warga masih terjebak di pusat kota.
Pengiriman senjata Penambahan pasukan Rusia di Severodonesk merupakan bagian dari upaya militer mengamankan wilayah strategis di sekitar Sungai Donetsk, kata Zhdanov.
Menurutnya, intensitas pertempuran dan penambahan jumlah serdadu Rusia mengejutkan militer Ukraina yang berharap pada kiriman senjata dari barat. Pasokan senjata terbaru datang dari Prancis, seperti yang diungkapkan Menteri Luar Negeri Prancis, Catherine Colonna, dalam pertemuannya dengan Menlu Ukraina, Dmytro Kuleba, Senin kemarin.
Kuleba sendiri mengatakan jenis senjata yang dikirimkan sejauh ini terbukti "akurat dan efisien,” namun menegaskan pihaknya membutuhkan senjata yang lebih berat untuk menghalau Rusia.
Pada Senin (30/5), Presiden AS, Joe Biden, mengatakan pihaknya tidak berencana mengirimkan peluru kendali berdaya jelajah tinggi kepada Ukraina.
Isu tersebut sempat berhembus di Washington sejak beberapa hari silam. Hal ini disambut Wakil Kepala Dewan Keamanan Nasional Rusia, Dmitry Medvedev, yang menganggap sikap Biden sebagai "keputusan bijak.”
Karena "jika tidak, jika kota-kota kami diserang, militer Rusia akan terpaksa menyerang tempat di mana serangan itu dibuat,” kata dia.
"Dan sebagian dari mereka tidak berada di ibu kota Kyiv,” imbuhnya.
Oleh Partai Republik AS, Biden dituduh mengorbankan Ukraina karena takut oleh gertakan Rusia. Sementara itu, warga Lithuania secara sukarela mengumpulkan uang untuk membeli pesawat nirawak Turki, TB2 Drone.
Menurut penggagas program, duit sumbangan berhasil terkumpul hanya dalam waktu tiga hari. "Mungkin untuk pertamakalinya dalam sejarah, penduduk sipil di sebuah negara membeli dan menyumbangkan senjata berat kepada negara lain,” kata Andrius Tapinas, pendiri stasiun televisi Laisves TV yang menggagas inisatif tersebut. rzn/hp (afp, dpa)