Suara.com - Hujan deras mengguyur kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada Selasa (31/5/2022) siang. Seorang pemuda berusia 20 tahun mengenalkan dirinya dengan sebuah kalimat: "Namaku manusia, tapi tidak ada yang peduli dengan kami."
Pemuda itu berdiri di depan Kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), bergabung dengan puluhan pengungsi asal Afghanistan lainnya untuk bertanya soal nasib mereka.
Namanya adalah Kemran. Tubuhnya basah, tak ada tempat untuk berlindung dari rintik deras yang jatuh ke jalan raya. Cuma ada megafon, dan suara yang tak pernah habis berteriak:
"We are human, we are human."
Baca Juga: Sebut Pemerintah Indonesia Tidak Peduli, Pengungsi Afghanistan: Kami Tunggu Sampai UNHCR Menjawab
"Help us, help us."
Sejak pukul 10.00 WIB, puluhan pengungsi asal Afghanistan telah berkumpul di bagian belakang Kantor UNHCR. Tujuan mereka masih sama seperti kesempatan sebelumnya, berunjuk rasa menuntut agar segera dikirimkan ke negara ketiga atau negara penerima suaka pengungsi.
Kemran adalah satu dari pengungsi asal Afghanistan yang tidak bosan menyambangi kantor UNHCR. Sedari pagi, Kemran sudah ambil bagian menjadi tim dokumentasi. Ketika para pengungsi yang tinggal di berbagai daerah mulai berdatangan, tangan Kemran telah menggenggam ponsel genggam--juga menggengam harapan agar suaranya dapat didengar.
Kemran lantas meyapa saya yang sedang duduk di trotoar, yang menunggu para pengungsi menyampaikan aspirasinya. Percakapan kami singkat, hanya betukar salam seperti kebanyakan orang.
"Assalamualaikum," sapa Kemran.
Baca Juga: Hujan Deras Mengguyur Kuningan, Massa Pengungsi Afghanistan Tetap Aksi di Kantor UNHCR
"Waalaikumsalam," jawab saya.
Kemran kemudian berlalu. Dia menyapa para pengungsi lain yang mulai berdatangan. Anak-anak, ibu-ibu, perempuan dewasa, hingga pria dewasa. Hingga akhirnya, waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB.
Para pengungsi telah berada pada posisi masing-masing. Ada yang berdiri memegang spanduk di dekat trotoar, ada yang memegang megapon, dan ada sosok Kemran yang memegang ponsel, merekam sejumlah peristiwa yang bertumpuk pada hari ini.
Semula saya belum mengetahui namanya, hanya penampilannya saja yang terekam jelas dalam ingatan. Kaos hitam, celana hitam, running shoes, dan masker hitam. Kemran lantas merekam/memotret para demonstran yang berdiri di sepanjang bagian belakang kantor UNHCR.
Spanduk protes dibentangkan. Tulisannnya seperti ini: UNHCR WAKE UP", "10 YEARS ENOUGH", hingga "UNHCR & IOM! STOP KILLING REFUGEES GRADUALLY".
Tidak lama berselang, Kemran berukar posisi. Kini, megapon berada di genggamannya. Dalam beberapa tarikan nafas, perkara hidup yang terus begini terjadi dilantangkan pria 20 tahun tersebut.
"Hari ini kami di sini hanya minta bantuan kepada pemerintah indonesia. Sudah 17 pengungsi sudah bunuh diri, banyak pengungsi sudah sakit. Kenapa kami di Indonesia sudah 10 tahun tidak ada yang tangggung jawab. Masalah HAM itu yang pertama harus ditangani."
"UNHCR, UNHCR. Proses, proses," ucap Kemran dan kemudian diikuti oleh massa aksi.
"UNHCR, UNHCR, Wake up. Wake up."
Waktu memasuki pukul 12.00 WIB. Azan Zuhur berkumandang. Para pengungsi mengambil sedikit jeda. Para ibu-ibu menyiapkan makanan seadanya. Sayuran dengan olahan khas timur-tengah berbalut tortilla menjadi santapan untuk mengisi tenaga.
Kemran tampak mondar-mandir. Dia tampak sibuk berjalan ke arah rekannya yang sudah menunggu di ujung jalan. Dia mengambil kardus air mineral untuk kemudian dibagikan kepada massa aksi. Kira-kira, para pengungsi Afghanistan mengambil jeda satu jam untuk kembali memulai aksinya.
Aparat dari Polres Metro Setiabudi -- yang jumlahnya tidak banyak -- bersama security gedung hanya bersiaga. Tidak ada pengamanan khusus berkaitan dengan aksi ini lantaran jumlah massa tidak terlalu banyak.
Langit Kuningan mendung memasuki pukul 13.30 WIB. Serangkaian orasi tetap berkumandang. Para pengungsi silih berganti meneriakkan resah. Lima menit berselang, gerimis menyapa. Petugas keamanan gedung mulai menutup penuh gerbang yang sebelumnya sedikit terbuka.
Para ibu-ibu membuka payung, mengajak anak-anak untuk berlindugan dari hujan. Massa aksi lainnya kemudian menggunakan spanduk-- yang ukurannya tidak terlalu besar-- sebagai pelindung hujan. Namun, Kemran tidak. Dia tetap memimpin aksi dan terus berteriak.
Tapi usaha itu tidak membuahkan hasil. Tidak ada perwakilan UNHCR yang datang menemui massa aksi. Hanya pihak pengola gedung yang mendekat dan berdialog dengan para pengungsi. Kemran mendekat, dan bertanya.
"Apakah pihak UNHCR bisa turun menemui kami?" tanya Kemran.
"Kami hanya pengelola gedung. Kami hanya bisa menjembatani kalian dengan pihak UNHCR," jawab pengelola gedung.
"Kami manusia, kami manusia. Sudah hampir 10 tahun nasib kami tidak ada kejelasan," sela pengungsi lain.
"Jadi seperti ini, kami hanya memfasilitasi dan hanya perwakilan saja yang bisa masuk untuk bertemu," jelas pengelola gedung.
"Masalah kami berbeda-beda. Ini pengungsi punya masalah masing-masing. Apakah kami bisa masuk semua," tambah Kemran mencoba menjelaskan.
"Di Indonesia, kalau aksi seperti ini, hanya beberapa perwakilan saja yang bisa masuk untuk berdialog," ucap pengelola gedung.
"Kalau begitu, apakah Bapak bisa membantu kami agar pihak UNHCR dapat turun menemui kami?" tanya Kemran.
"Tidak bisa, mereka punya prosedur sendiri. Saya hanya bisa menjembatani, bagiamana perwakilan lima orang naik ke atas?" ucap pengelola gedung memberikan penawaran.
Tawaran tersebut, bagi para pengungsi bukan menjadi solusi. Sebab, dalam aksi sebelumnya, perwakilan yang berdialog dengan pihak UNHCR hanya menemui jalan buntu terkait permintaan suaka ke negara ketiga.
"Pak, sudah 17 pengungsi bunuh diri karena masalah ini. Kami di sini tidak punya kepastian nasib," ucap pengungsi lain.
Perbincangan antara para pengungsi dan pihak pengelola gedung tidak menemukan titik temu. Tidak ada perwaklian UNHCR yang turun dan tidak ada pula perwakilan pengungsi yang masuk untuk bertemu.
Hujan makin deras. Saya berteduh di balik gerbang gedung. Kemran berada di balik gerbang, mencoba mencari tempat berteduh seadanya di atap-atap gedung. Tubuhnya sudah basah. Sesekali, dia mengusap air yang membasahi wajahnya.
Saya pun mendekat dan bertanya kepada Kemran.
"Apakah masih tetap di sini meski hujan tambah deras?"
"Kami akan bertahan sampai UNHCR menjawab tuntutan kami," jawab Kemran.
"Kalau boleh tahu, nama anda siapa?" tanya saya.
"Namaku manusia, tapi tidak ada yang peduli dengan kami," ucap Kemran.
Kemran datang ke Indonesia ketika masih remaja. Usinya baru 15 tahun ketika tahun 2017. Saat itu, kampung halamannya bergejolak. Ribuan warga berlarian mencari perlindungan. Kemran memilih Indonesia.
Namun, Kemran tidak banyak bicara mengenai latar belakangnya. Pasalnya, aksi unjuk rasa masih berlangsung. Bukan waktu yang tepat untuk bertukar kisah tentang pelariannya saat ini.
Kemran kemudian menjelaskan terkait aksi unjuk rasa yang dilakukan terus menerus. Ketika saya menyodorkan perekam suara, Kemran berpendapat kalau UNHCR Indonesia tidak mempu mejalankan tugas-tugasnya.
Dalam usaha memberikan perlindungan kepada pengungsi, Kemran menyebut bahwa UNHCR bertugas memulangkan sukarela ke negara asal. Namun, Afghanistan sedang tidak aman. Pasalnya, Taliban baru saja berkuasa sehingga banyak warga enggan untuk kembali.
"Kalau negara kami aman, artinya bisa kembalikan ke negara kami, tapi sekarang Afghanistan tidak aman. Pemerintah Indonesia tidak bisa mengembalikan kami ke negara sendiri," jelas Kemran.
Tugas UNHCR yang kedua, beber Kemran, adalah intregasi lokal ke negara suaka. Pada kenyataannya, Indonesia bukan peserta Konvensi Jenewa tahun 1951 tentang pengungsi.
Oleh sebab itu, Kemran berpendapat UNHCR bisa menjalankan opsi ketiga berupa pemukiman kembali ke negara ketiga. Jika opsi tersebut tidak bisa dijalankan, lanjut dia, sudah seharusnya UNHCR menutup kantornya.
"Kalau tidak bisa, tutup kantornya seperti di Srinlanka dan Turki," ucap Kemran.
Kemran pun berharap agar pemerintah Indonesia untuk mengetahui masalah apa saja yang terjadi terkait para pengungsi di Indonesia. Kata dia, sudah banyak pengungsi yang hidup dalam ketidakpastian. Bahkan, ada 17 pengungsi yang telah bunuh diri.
Kemran mengaku sudah lelah dengan ketidakpastian semacam ini. Tidak ada hak hidup layak. Seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hingga tempat tinggal.
"Kami cuma minta bantu Pak Jokowi dan Pak Maruf Amin bahkan MA. Mereka harus cari apa masalah pengungsi di Indonesia. Kenapa mereka banyak masalah di sini," tutup dia.
Hujan perlahan reda. Para pengungsi akhirnya memilih kembali ke tempat masing-masing menjelang pukul 16.00 WIB. Begitu juga dengan Kemran, yang berlalu meninggalkan lokasi dengan kekecewaan yang sepenuhnya sama.