Suara.com - Alih-alih menghemat anggaran BBM subsidi, rencana pemerintah membatasi pembelian Pertalite dan solar yang disubsidi pemerintah justru membuat anggaran membengkak karena adanya "biaya tambahan" untuk pengawasan, kata pengamat.
Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengusulkan pemerintah menempuh kebijakan subsidi langsung, atau menaikkan harga BBM subsidi secara berkala, agar subsidi BBM lebih tepat sasaran.
"Kalau memang tidak ada ruang lagi untuk memberikan subsidi dan kompensasi, ya sederhana saja, dilakukan penyesuaian harga dalam rentang tertentu yang masih di batas toleransi daya beli masyarkaat. Jadi itu yang harus dilakukan pemerintah.
"Kalau pembatasan yang akan dilakukan, kira-kira kegaduhan nanti yang akan menyertainya sementara belum tentu target penghematan itu diterima pemerintah," ujar Komaidi kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni, Senin (30/05).
Baca Juga: Pemerintah Akan Terbitkan Perpres untuk Atur Pembelian Pertalite dan Solar
Baca juga:
- Harga Pertamax naik: ‘Semua harga naik berbarengan, sudah susah jadi makin susah'
- THR 2022 dianggap tak setimpal dengan kenaikan harga, 'Percuma, karena apa-apa naik'
- Premium dan Pertalite akan dihapus, Walhi: 'Motif ekonomi dibungkus alasan lingkungan'
Kenaikan harga BBM non-subsidi Pertamax pada April lalu, memicu migrasi besar-besaran konsumen Pertamax ke Pertalite yang disubsidi pemerintah.
Kendati telah mengusulkan tambahan kuota Pertalite sebanyak 5,45 juta kilo liter (kl) menjadi 28,5 juta kl dan tambahan kuota solar subsidi 2,28 juta kl menjadi 17,39 juta kl untuk mengantisipasi kelangkaan, pemerintah kini ancang-ancang untuk melakukan pengaturan konsumsi Pertalite dengan pembatasan pembelian.
Sebab, penambahan kuota Pertalite tak hanya membuat belanja subsidi energi membengkak, tapi juga kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah kepada Pertamina atas BBM subsidi tersebut.
Hingga kini pemerintah masih merumuskan kebijakan teranyar tentang BBM subsidi tersebut, tapi Komaidi mengatakan alih-alih penghematan, langkah ini justru memicu "biaya tambahan".
Baca Juga: Anggota DPR Usul Mobil Mewah-Dinas Dilarang Gunakan Pertalite dan Solar Subsidi
"Karena di konteks pembatasan, itu butuh pengawasan, mungkin nanti akan melibatkan Polri, TNI, BPH Migas, Pemda, yang itu tentu ada additional cost yang harus dikeluarkan."
Kebijakan pembatasan pembelian Pertalite ini diharapkan bisa diimplementasikan pada dua hingga tiga bulan mendatang, dengan alokasi subsidi BBM difokuskan sesuai kriteria masyarakat yang berhak mendapatkannya.
"Enggak usah khawatir, karena ini aturannya belum selesai, yang jelas pemerintah itu berkewajiban memenuhi kebutuhan masyarakat yang sesuai dengan pemanfaatannya atau konsumennya."
"Masyarakat yang berhak dapat, ya dapat. Intinya begitu aja lah," kata Djoko Siswanto, Sekjen Dewan Energi Nasional - lembaga yang merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional.
'Akan berpengaruh ke mana-mana'
Pemerintah tengah menggodok aturan terkait penunjukan teknis pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan solar.
Langkah pembatasan pembelian Pertalite dan Solar ini agar penyalurannya dapat lebih tepat sasaran.
Namun sejumlah pihak, termasuk asosiasi pedagang pasar - salah satu konsumen BBM subsidi - menentang kebijakan ini.
Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, jika konsumsi Pertalite - BBM khusus bersubsidi yang dijual dengan harga Rp7.650 per liter - dibatasi, dampaknya akan dirasa tak hanya oleh pedagang, tapi juga rakyat banyak.
Pembatasan konsumsi Pertalite, menurutnya, akan berdampak pada operasional pedagang pasar, yang kemudian berimplikasi pada kenaikan harga barang dan kebutuhan yang dijual ke masyarakat.
"Memang yang banyak memakai [Pertalite] sekarang boleh dikatakan orang kecil, buruh-buruh atau pegawai rendah, baik untuk motor atau kendaraan angkutan umum dan angkutan komoditi pasar dan hasil tani.
"Kalau itu dibatasi, terus bagaimana nanti mereka? Katakanlah sehari mengangkutnya bisa kali dua kali bolak-balik. Apa kalau dibatasi terus hanya boleh ngangkut sekali? Itu kan akan berpengaruh ke mana-mana," kata Ngadiran.
Sekjen Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto, yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Migas di Kementerian ESDM, mengusulkan agar pengaturan itu akan dibuat "sesederhana mungkin" dan tidak memberatkan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
"Sebagai contoh, yang berhak kendaraan motor, kendaraan umum, angkutan barang dan orang. Udah itu aja. Itu akan lebih mudah dalam pelaksanaannya di lapangan," ujar Djoko Siswanto lewat sambungan telepon kepada BBC News Indonesia.
Sementara anggota Komisi VII DPR dari Partai PKS, Muyanto, "mendorong agar mobil mewah dan mobil dinas tidak diperkenankan membeli Pertalite"
Baca juga:
- Imbas konflik Rusia-Ukraina bagi Indonesia - Harga mi instan hingga bunga kredit bisa naik
- Pertamina 'review' penjualan Premium dan Pertalite, ekonom: 'langsung lompat ke Pertamax' akan jadi masalah
- Penjualan Premium kembali digenjot, antara keadilan energi dan kerugian Pertamina
"Nah, revisi Perpres akan mengatur definisi mobil mewah, agar mudah implementasinya di lapangan," imbuh Mulyanto.
Perpres yang dimaksud Mulyanto adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sedang digodok revisinya oleh BPH Migas dan Pertamina.
Revisi Perpres - dan petunjuk teknis yang menyertainya - menjadi dasar dari kebijakan teranyar tentang BBM subsidi Pertalite dan solar.
Mulyanto menganggap kebijakan ini "sudah cukup bagus" guna menjaga kuota Pertalite agar lebih tepat sasaran, "agar beban APBN tidak bertambah".
'Pilihannya hanya dua'
Konsumsi Pertalite melonjak setelah kenaikan harga Pertamax - BBM non-subsidi - menjadi Rp12.500 hingga Rp13.000 per liter, dari sebelumnya Rp9.000-Rp9.400 per liter berlaku sejak Jumat (01/04) silam.
Harga Pertamax yang naik drastis membuat penggunanya beralih menggunakan Pertalite, yang disubsidi pemerintah, dengan harga Rp 7.650 per liter.
Akibat disparitas yang lebar antara harga Pertalite dan Pertamax, Pertamina mencatat terjadi migrasi pembelian BBM dari Pertamax ke Pertalite sebanyak 25%.
Lonjakan konsumsi Pertalite, membuat Kementerian ESDM mengajukan rencana penambahan kuota tak hanya Pertalite, tapi juga solar subsidi, pada awal April lalu.
Kuota Pertalite ditambah 5,45 juta kl menjadi 28,50 juta kl, sementara kuota solar subsidi ditambah 2,28 juta kl menjadi 17,39 juta kl.
Dalam rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR pada 19 Mei lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan bahwa tingginya harga komoditas dan energi menyebabkan adanya selisih antara asumsi harga minyak atau Indonesia crude price (ICP) yang tercantum dalam APBN, yakni US$63 per barel.
Padahal, rata-rata harga ICP saat ini telah mencapai US$99,4 per barel.
Hal tersebut menyebabkan adanya kekurangan kebutuhan anggaran untuk subsidi BBM dan pembayaran kompensasi kepada Persero.
Sri Mulyani menyebut bahwa kebutuhan biaya subsidi akan melonjak dari Rp134 triliun menjadi Rp208,9 triliun dan kompensasi melonjak dari Rp18,5 triliun menjadi Rp234,6 triliun.
"Pilihannya hanya dua, kalau ini [anggaran subsidi dan kompensasi] tidak dinaikkan harga BBM dan listrik naik, kalau harga BBM dan listrik tidak naik ya ini yang naik. Tidak ada in between, pilihannya hanya dua," ujar Sri Mulyani, Kamis (19/05)
Baca juga:
- Harga minyak mentah meroket, apa peran OPEC?
- Harga BBM tak kunjung dinaikkan pemerintah, ekonomis atau politis?
- Harga minyak dunia anjlok, harga BBM dalam negeri belum tentu bisa turun
Sebagai langkah antisipatif, DPR sudah menyetujui usulan Pemerintah terkait APBN Perubahan tahun 2022 yang mengakomodasi penambahan kuota Pertalite dan Solar bersubsidi untuk tahun 2022.
Namun demikian dikhawatirkan, bila tanpa pembatasan pengguna BBM bersubsidi, maka penambahan kuota BBM ini tetap akan jebol.
Apakah tepat sasaran?
Namun, pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, mempertanyakan mekanisme yang dipilih pemerintah dalam kebijakan pembatasan BBM subsidi.
"Jadi artinya harus dirumuskan dulu bagaimana validasi pendataannya, jangan membuat syarat-syarat sendiri, tapi berbeda dengan pendataan-pendataan lainnya, nanti yang terjadi adalah subsidinya tetap sasaran."
Bhima mewanti-wanti, akibat dari pandemi yang berlangsung selama dua tahun terakhir, membuat banyak masyarakat menengah "jatuh ke bawah garis kemiskinan".
"Jadi kalau pemerintah tidak hati-hati pada verifikasi dan validasi data yang berhak, terutama dalam kondisi yang sekarang, maka yang terjadi adalah kekacauan, yang terjadi adalah chaos.
"Chaos dalam artian banyak yang daya belinya terpukul, kemudian banyak yang akhirnya mengurungkan niat untuk ekspansi bisnis, atau merekrut karyawan baru. Jadi implikasinya cukup panjang," kata Bhima.
Lebih jauh, Bhima menganggap pemerintah semestinya melakukan penyesuaian harga BBM subsidi pada tiga - empat tahun terakhir, ketika disparitas harga antara Pertalite dan Pertamax belum selebar sekarang.
"Jadi pemerintah telah membuang tiga - empat tahun terakhir ini yang harusnya ketika harga mentah sedang rendah, disparitas Pertalite dan Pertamax sedang tipis tidak terlalu lebar seperti sekarang, itu semestinya dilakukan penyesuaian pada saat itu." tegasnya.
Senada, pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, berkata pembatasan BBM subsidi dengan berbagai mekanisme, telah dilakukan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tapi kala itu "penghematan yang diperoleh dalam realisasinya tidak terlalu signifikan".
"Sementara biaya yang sudah dikeluarkan tidak kecil juga. Sehingga perlu diperhatikan pemerintah, kalau memang ingin tepat sasaran semestinya mekanismenya subsidi langsung ke orang, bukan ke barang," kata Komaidi.
Langkah pembatasan yang sedang dirumuskan pemerintah, kata Komaidi, akan menyebabkan "permasalahan turunan" di lapangan.
"Misalkan pemerintah sudah menetapkan pihak tertentu tidak diperboilehkan untuk membeli jenis tertentu, katakanlah jenis pertalite dan solar, dalam penerjemahan konsumen antara yang berhak dan tidak berhak kan masih debatable. Karena pemerintah juga mendefinisikan miskin, sangat miskin, juga cukup variatif."
"Kalau sandainya konsumen tetap memaksa untuk membeli di SPBU, otomatis nanti ujung tombaknya teman-teman yang bertugas di sana, ini tentu potensi konflik di SPBU akan terjadi. Dan ini sebelum-sebelumnya sudah pernah terjadi. Kalau itu yang terjadi, justru kegaduhan yang akan timbul," terang Komaidi.
Lebih jauh, Komaidi menuturkan bahwa Indonesia saat ini adalah negara nett importir BBM dengan konsumsi 1,6 juta barel per hari. Sementara produksi BBM Indonesia saat ini hanya 750 ribu barel per hari.
Praktis, ada sekitar 800 - 1 juta barel per hari yang harus diimpor Pertamina dengan harga internasional.
"Nah dari harga internasional kemudian dijual dengan harga yang ditetapkan pemerintah di harga murah, ya tentu pertaruhannya APBN. Subsidinya akan sebesar apa yang bisa ditanggung pemerintah?"
Ia mengusulkan pemerintah mengambil langkah berani melakukan "penyesuaian harga BBM subsidi" jika tidak ada ruang lagi untuk memberikan subsidi dan kompensasi di APBN.
"Sederhana saja, dilakukan penyesuaian harga dalam rentang tertentu yang masih di batas toleransi daya beli masyarkat. Itu yang harus dilakukan pemerintah."
Komaidi tak bisa memungkiri bahwa pemerintah acapkali menempuh kebijakan yang populis dalam hal BBM subsidi, namun menurutnya "kalau ingin meraih citra positif dalam kebijakan harga BBM yang memang bahan bakunya sedang naik signifikan ya agak sulit".
"Ya pasti citra pemerintah relatif tidak cukup positif, tapi kalau itu memang baik untuk jangka panjang, saya kira itulah risiko yang diambil pemerintah atau pemimpin, bahwa pemimpin tidak selalu akan disukai oleh yang dipimpin," cetusnya.