Suara.com - Jaringan Nasional International Day Against Homophobia, Biphobia, Intersexism and Transphobia (IDAHOBIT) mendesak agar pemerintah mencabut segala produk-produk hukum dan perundang-undangan yang mendiskriminasi dan berpotensi mengkriminalisasi minoritas seksual serta gender.
Hal tersebut diminta karena selama ini masih terjadi adanya penyangkalan dan pengekangan kebebasan hak sipil khususnya bagi kelompok minoritas seksual serta gender.
Salah satu bagian dari Jaringan Nasional IDAHOBIT, Ryan, mengatakan bahwa kelompok minoritas seksual dan gender di Indonesia di Indonesia belum seutuhnya dapat menikmati kebebasan sipil sebagai individu maupun kelompok.
Kebebasan sipil fundamental yang dimaksud diantaranya adalah hak atas kebebasan berpendapat, hak atas privasi, dan hak atas perlindungan dan hak atas ruang politik.
Baca Juga: Wacana Kriminalisasi LGBT, Indonesia akan Jadi Negara Paria
"Kondisi di atas diakibatkan karena terjadinya kekosongan jaminan perlindungan hukum, sehingga menyebabkan terjadinya pengekangan, dan penyangkalan kebebasan sipil dan Hak Sipil Politik kelompok minoritas seksual dan gender melalui deretan tindakan diskriminasi yang secara terus menerus dialami oleh kelompok minoritas seksual dan gender berbasis orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan karakteristik biologis," kata Ryan dalam konferensi pers virtual, Selasa (31/5/2022).
Lebih lanjut, Ryan menjelaskan bahwa berdasarkan data global Equality Index tahun 2020, Indonesia memiliki skor 40 dari 100 terkait hak-hak minoritas seksual dan gender.
Secara kualitas, skor tersebut merepresentasikan bahwa Indonesia adalah negara yang masih secara terus menerus melakukan pengekangan dan penyangkalan atas kebebasan sipil minoritas seksual dan gender serta masih cukup jauh dalam memastikan adanya perlindungan hukum atas penikmatan dan pemenuhan kebebasan sipil dan hak sipil politik kelompok minoritas seksual dan gender.
"Pengekangan dan penyangkalan ini juga melahirkan deretan kasus-kasus kekerasan dan persekusi terhadap minoritas seksual dan gender di Indonesia," ujarnya.
Menurut catatan Arus Pelangi pada 2018, sebanyak 1.850 individu minoritas seksual dan gender di Indonesia menjadi korban persekusi sepanjang 12 tahun.
Baca Juga: Bicara Soal LGBT, Tokoh NU Minta Hormati Mereka: Dosa atau Tidak Urusan Mereka dengan Allah
Menurut data terbaru Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM) ada 51 kasus kekerasan, diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas seksual dan gender sepanjang November 2020 hingga September 2021.
Sementara itu, anggota Jaringan Nasional IDAHOBIT lainnya yakni Chacha menegaskan kalau pengekangan dan penyangkalan terhadap kebebasan sipil dan hak sipil politik terhadap minoritas seksual dan gender menimbulkan dampak yang meluas yaitu meningkatnya kerentanan, pembatasan akses dan pelanggaran atas hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pada aspek pekerjaan misalnya yang ditunjukkan oleh angka pengangguran pada kelompok minoritas seksual dan gender yang mencapai 17 persen pada 2017. Angka tersebut mencapai tiga kali lipat dari angka pengangguran nasional tahun tersebut yakni 5,8 persen.
"Hal ini menyebabkan 31 persen minoritas seksual dan gender hidup dibawah garis kemiskinan," ucapnya.
Chacha menerangkan bahwa meskipun terkadang akses pekerjaan dapat diakses oleh kelompok minorita seksual dan gender, tetapi stigma, diskriminasi dan kekerasan masih cukup tinggi di ruang kerja.
Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian ILO pada 2016 di mana sebanyak 70,59 persen responden pekerja memiliki sentimen negatif terhadap kelompok minoritas seksual dan gender di pekerjaan.
Melihat kondisi tersebut, Chacha menilai salah satu penyebabnya ialah dikarenakan adanya kekosongan perlindungan hukum terkait kebebasan sipil dan hak sipil politik individu dan atau kelompok minoritas seksual dan gender.
"Hal ini adalah bentuk kegagalan Indonesia dalam menjalankan mandat dan prasyarat sebagai negara hukum," tuturnya.
"Khususnya kegagalan dalam produksi produk hukum (law making) yang memastikan perlindungan atas Hak Asasi Manusia secara menyeluruh dan juga kegagalan dalam aspek penegakan konstitusi," sambung Chacha.
Oleh sebab itu, Jaringan Nasional IDAHOBIT menilai kalau kegagalan tersebut mesti segera diatasi dan direspon dengan cara melakukan pemulihan kebebasan sipil dan hak sipil politik minoritas seksual dan gender di Indonesia.
Adapun langkah konkrit yang bisa ditempuh adalah adanya produk hukum nasional anti-diskriminasi untuk perlindungan kelompok rentan termasuk minoritas seksual dan gender dari diskriminasi sebagai upaya penegakan, pemajuan, perlindungan, pencegahan, dan pemulihan hak-hak kelompok rentan.
Setidaknya ada empat poin yang dianggap Jaringan Nasional IDAHOBIT bisa dimasukkan ke dalam produk hukum tersebut. Empat poin yang dimaksud ialah:
- Jaminan secara eksplisit bahwa orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan karakteristik biologis (SOGIESC) adalah salah satu dasar yang dilarang untuk didiskriminasi.
- Akses keadilan terhadap minoritas seksual dan gender dari diskriminasi dan kekerasan dengan menguatkan mekanisme akuntabilitas pemulihan yang efektif dan mudah diakses oleh minoritas seksual dan gender di Indonesia
- Jaminan adanya upaya-upaya memadai yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan aparat penegak hukum untuk mencegah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap minoritas seksual dan gender. Upaya ini dapat dilakukan namun tidak terbatas pada pengintegrasian pendidikan terkait penghormatan HAM, toleransi, dan inklusivitas dalam kurikulum pendidikan.
- Mencabut segala produk-produk hukum dan perundang-undangan yang mendiskriminasi dan berpotensi mengkriminalisasi minoritas seksual dan gender