Suara.com - Kasus korupsi Mantan Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, AKBP Brotoseno menjadi sorotan tajam. Hal ini disebabkan karena Brotoseno tidak dipecat dari jabatannya meski jadi koruptor.
Diketahui, AKBP Brotoseno terbukti menjadi tersangka korupsi pada tahun 2016. Ia diketahui menerima uang suap sebesar Rp 1,9 miliar dari proses penyidikan tindak pidana korupsi cetak sawah di daerah Ketapang, Kalimantan Barat.
Akibat perbuatannya, Brotoseno mendapatkan vonis 5 tahun penjara dan dinyatakan bebas pada 15 Februari 2020 lalu. Namun selama dipenjara, ia ternyata tidak pernah dipecat sebagai anggota Polri.
Hal ini diungkap oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menduga Brotoseno kini sudah kembali aktif sebagai penyidik di Bareskrim Mabes Polri. Bahkan, ICW juga menduga Brotoseno kembali ke Polri dengan jabatan sebagai Penyidik Madya Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri.
Sontak, hal itu langsung menjadi sorotan tajam sejumlah tokoh dan masyarakat. Fenomena koruptor yang tidak dipecat itu juga membuat ICW langsung menyurati Polri.
Tentu saja, kasus Brotoseno menjadi polemik di tengah masyarakat, khususnya mengapa kejahatan luar biasa seperti korupsi dianggap sebelah mata, serta malah menguntungkan bagi pihak koruptor.
Kasus koruptor yang tidak dipecat nyatanya tidak pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya, hal serupa juga sempat dialami oleh tersangka kasus korupsi pengurusan fatwa di Mahkamah Agung, yakni Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Pinangki terbukti melakukan tindak korupsi sebanyak 3 kali. Pertama adalah menerima suap. Lalu kedua ia juga terlibat kasus pencucian uang.
Ketiga, Pinangki terbukti melakukan pemufakatan jahat dengan tersangka Djoko Tjandra, Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya, demi mendapatkan fatwa Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2020 lalu.
Baca Juga: Bupati Bogor Nonaktif Ade Yasin Diduga Palak Kontraktor Untuk Suap Tim Auditor BPK Jabar
Pinangki yang diketahui masih menjabat sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung terbukti bersalah. Ia divonis 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp 600 juta.