Suara.com - Pengamat politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menilai, proses penunjukan penjabat kepala daerah dari unsur perwira aktif TNI telah mencederai demokrasi.
Menurutnya, penunjukan perwira aktif untuk menjadi penjabat menggantikan kepala daerah nihil dari prinsip transparansi dan akuntabilitas.
"Kenapa ini saya sebut sebagai kemunduran demokrasi, ya penunjukan-penunjukkan itu lewatkan satu asas penting bersama prinsip kedaulatan rakyat yaitu prinsip transparansi dan akuntabilitas," kata Arif dalam diskusi daring bertajuk 'Pro Kontra Tentara Jadi Penjabat Kepala Daerah', Jumat (27/5/2022).
Arif menjelaskan, kalau prinsip transparansi tidak terlihat pada penunjukkan penjabat kepala daerah karena prosesnya yang memang tertutup. Padahal menurutnya penunjukkan penjabat kepala daerah itu bisa dilakukan melalui mekanisme fit and proper test secara terbuka.
Atau paling tidak, proses penunjukkan itu bisa dilakukan dengan melibatkan beragam institusi terkait untuk memberikan masukan.
"Sedikitnya, ya, melibatkan institusi-institusi yang punya kepentingan langsung dengan pengelolaan pemerintah di daerah dan itu tidak dijalankan," tuturnya.
Selain itu, Arif juga tidak melihat ada prinsip akuntabilitas dalam proses penunjukkan penjabat kepala daerah.
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menerangkan akan pentingnya satu peraturan pelaksana untuk bisa menjadi panduan tentang bagaimana pengisian penjabat kepala daerah.
Namun, hal tersebut tidak pernah dilakukan pemerintah. Arif kembali mengingatkan ketika Mochamad Iriawan yang dilantik sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat pada 2018 silam. Kala itu, Iriawan masih menjadi perwira tinggi Polri serta Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional.
"Saya kira pemerintah perlu berkaca supaya tidak mengulang kesalahan yang sama. Akuntabilitas tidak tampak dalam konteks ini."