Perwira TNI Jadi Penjabat Kepala Daerah: Mencederai Prinsip Demokrasi

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 26 Mei 2022 | 11:50 WIB
Perwira TNI Jadi Penjabat Kepala Daerah: Mencederai Prinsip Demokrasi
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penunjukan perwira TNI aktif sebagai penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku dipandang sebagai preseden buruk yang akan membangkitkan kembali dwifungsi TNI, sekaligus mencederai reformasi dan prinsip demokrasi.

Penunjukan Kepala Badan Inteligen Negera, atau BIN Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As'aduddin sebagai penjabat (Pj) Bupati Seram Barat menuai pro dan kontra sebab dianggap melanggar ketentuan perundangan, salah satunya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut anggota TNI dan Polri aktif dilarang menjadi penjabat kepala daerah.

Menkopolhukam Mahfud MD dan Wakil Komisi II DPR, Junimart Girsang berkukuh bahwa merujuk ketentuan lain, yakni Undang-Undang tentang Pilkada, siapapun yang menjabat sebagai pimpinan tinggi pratama, termasuk anggota TNI, bisa ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah.

Namun pakar hukum dan ilmu politik menyebut bahwa penunjukan perwira TNI dan Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah adalah preseden buruk karena mengembalikan Indonesia pada era dwi fungsi ABRI di era Orde Baru dan memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah.

Baca Juga: Mahfud MD Jelaskan Soal Penempatan Perwira TNI Jadi Penjabat Kepala Daerah: Itu Boleh Dan Dibenarkan

Baca juga:

"Kekhawatiran publik itu bahkan tak hanya tentang dwifungsi TNI yang akan kembali, tapi ada upaya untuk memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah yang ini dimanfaatkan melalui mekanisme penunjukan penjabat itu," ujar Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni, Rabu (25/05).

Penunjukan bupati ini merupakan bagian dari lebih 250, kepala daerah yang habis masa jabatannya dan posisinya diganti sementara sampai Pilkada pada 2024.

Sebanyak 24 gubernur serta 248 bupati dan/atau wali kota masa jabatannya berakhir pada rentang 2022-2024. Menempatkan perwira TNI/Polri sebagai penjabat akan makin menjauhkan profesionalisme TNI/Polri yang berfokus pada pertahanan dan keamanan.

Sebelumnya, pengangkatan Komisaris Jenderal Polisi Mochamad Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat pada 2018, sempat menuai kontroversi serupa.

Baca Juga: Lantik 4 Penjabat Kepala Daerah Jateng, Ganjar Pranowo Beri Wejangan Tegas: Jangan Korupsi!

Apa polemiknya?

Kementerian Dalam Negeri menunjuk Kepala BIN Sulawesi Tengah Brigjen TNI Andi Chandra As'aduddin menjadi penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Ia dilantik pada Selasa (24/05) silam.

Chandra dilantik menggantikan bupati sebelumnya, Timotius Akerina, yang masa jabatannya berakhir pada 22 Mei lalu.

Penunjukkan pria yang berstatus sebagai perwira TNI aktif ini menjadi polemik, karena menuai pro dan kontra.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) sekaligus dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, menegaskan bahwa pengangkatan anggota TNI aktif itu bertentangan dengan sejumlah aturan dan regulasi, yakni bertentangan dengan UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) serta Undang-Undang (UU) TNI dan UU Kepolisian.

Dalam UUD 1945, dijelaskan oleh Feri, bahwa pembentukan TNI dan kepolisian adalah "untuk pertahanan dan keamanan, bukan penyelenggara pemerintah daerah".

Adapun UU TNI dan UU Kepolisian juga melarang anggota TNI dan kepolisian yang aktif untuk mengisi jabatan-jabatan yang tidak ditentukan di dalam ketentuan undang-undang.

"Anggota TNI dan kepolisian yang aktif bisa saja mengisi jabatan di Lembaga negara lain, sepanjang disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan undang-undang itu, misalnya, tim SAR dan BNN," jelas Feri.

"Tetapi dalam ketentuan itu tidak sama sekali disebut soal eksekutif di daerah. Artinya, anggota TNI dan kepolisian, selagi masih aktif tidak diperbolehkan untuk mengisi jabatan atau penjabat kepala daerah," tegasnya kemudian.

Pelarangan itu, sambung Feri, dipertegas lagi dengan putusan MK tekait penjabat kepala daerah, yakni Nomor 67 Tahun 2021, Nomor 15 Tahun 2022, serta Nomor 18 Tahun 2022.

"Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 15 dan 18 Tahun 2022 melarang pengisian penjabat kepala daerah dilakukan oleh anggota TNI dan kepolisian aktif."

"Oleh karena itu memang menteri dalam negeri ketika melakukan pengangkatan ini melanggar putusan MK, UU TNI dan kepolisian, termasuk melanggar undang-undang dasar," terang Feri.

Namun pemerintah memiliki dalih pembenarannya sendiri.

Menteri Koordinasi bidang Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan putusan MK menyatakan anggota TNI/Polri yang ditugaskan di institusi lain bisa menjabat sebagai penjabat kepala daerah.

Dalam hal ini Andi Chandra memiliki jabatan di luar struktur TNI yakni di Badan Intelijen Negara (BIN), kata Mahfud.

Ia menambahkan, anggota TNI/Polri yang alih status juga boleh menjabat sebagai penjabat kepala daerah. Mahfud mencontohkan Komjen (Purn) Paulus Waterpauw.

Panglima tinggi Polri bintang tiga itu kini menjabat sebagai penjabat Gubernur Papua Barat. Ia sebelumnya bekerja di Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

Senada, Wakil Ketua Komisi II DPR, Junimart Girsang menegaskan "tidak ada larangan" perwira TNI/Polri aktif menjadi penjabat kepala daerah.

Ia melandaskan argumennya pada UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur bahwa siapapun pejabat dengan posisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama, menjadi ditunjuk sebagai penjabat bupati/walikota.

"Sehingga berdasarkan aturan tersebut, perwira TNI/Polri aktif yang bertugas di luar struktur organisasi TNI/Polri dan menjabat sebagai JPT Pratama boleh ditunjuk sebagai Pj," ujar Junimart yang berasal dari Partai PDI-P yang mendukung pemerintah.

"Yang dilarang itu apabila dia (perwira TNI/Polri) itu masih aktif dan bertugas dalam struktur TNI/Polri, ini yang dimaksud dalam pertimbangan dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)," kata dia kemudian.

Ia menambahkan, sesuai Perpres Nomor 79 tahun 2020, jabatan kepala BIN daerah adalah jabatan pimpinan tinggi pratama.

Akan tetapi polemik ini pun menuai pro dan kontra di kalangan parlemen.

Anggota Komisi II DPR dari partai oposisi PAN, Guspardi Gaus tidak sepakat dengan pernyataan Junimart.

"Yang jadi persoalan ini adalah ada putusan MK yang menyatakan meminta kepada pihak pemerintah agar dalam pengisian jabatan kepala daerah yang bersifat penjabat ini untuk tidak, bukan menghindari, untuk tidak menunjuk mereka yang berstatus TNI/Polri aktif. Yang dimaksud dalam hal itu berarti personalnya, bukan jabatannya," terang Guspardi.

Diakui politisi Partai PAN ini bahwa dalam Undang-Undang Pilkada membenarkan TNI/Polri aktif yang berada dalam jabatan ASN bisa ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah.

Namun jika menimbulkan perdebatan, "kenapa harus dipaksakan? Kan masih banyak tenaga pratama untuk diberi amanah sebagai penjabat kepala daerah itu sehingga tidak menimbulkan pro dan kontra?," tegas Guspardi.

Sementara Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benny Irwan mengatakan pemerintah memiliki "dasar sendiri" dan "memperhatikan aturan-aturan dan regulasi yang berlaku".

"Kemudian melalui mekanisme yang berjalan panjang. Bukan hanya pada penujukkn atau penugasan penjabat kepala daerah kali ini, tapi sudah dimulai sejak 2017, 2018, dan 2020," kata Benny.

Kembali ke dwi fungsi era Orde Baru

Penunjukan perwira TNI sebagai penyelenggara pemerintah daerah, kata Guspardi, tak ubahnya dwi fungsi ABRI selama 30 tahun pemerintahan Soeharto di era Orde Baru.

Salah satu agenda Reformasi pada 1998, menurut Guspardi, adalah "mengembalikan TNI/Polri pada porsi sesuai dengan tupoksi TNI/Polri".

"Jadi ranah jabatan politis harus dipegang oleh sipil. Kalau seandainya ada TNI/Polri ingin maju, silakan mundur dari jabatan TNI/Polri-nya itu. Sama seperti ASN (aparatur sipil negara) yang ingin jadi kepala daerah," tegas Guspardi.

Pakar hukum tata negara Feri Amsari juga menganggap bahwa insiden ini akan "memaksa dwi fungsi terulang kembali".

"Padahal konsep itu jelas melanggar reformasi yang kita gadang-gadangkan di tahun 98," kata dia.

Lantas, apa yang terjadi jika dwi fungsi terulang kembali?

Sederhananya, kata Feri, jika nilai-nilai konstitusional dilanggar - termasuk dilakukannya dwi fungsi TNI dan kepolisian, itu akan berdampak pada penurunan nilai demokrasi dan semakin mempersempit ruang demokrasi.

"Pasti nilai-pasti nilai demokrasi kita akan menurun, ruang-ruang demokrasi akan tertutup, dan paling penting nilai konstitusional kita dengan terlalu mudah dilanggar oleh penyelenggara negara," cetusnya.

Merujuk pada laporan bertajuk Generals gaining ground: Civil-military relations and democracy in Indonesia menyebut bahwa selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, tampak militer mendapatkan pijakan yang lebih besar dalam peran sipil-militer, ditandai dengan pengangkatan beberapa tokoh Orde Baru dalam politik.

Laporan itu juga mengungkap meningkatnya ketergantungan pada sistem teritorial Angkatan Darat, dan semakin berperannya pensiunan perwira militer dalam membentuk wacana publik.dan kebijakan.

Menurut indeks Demokrasi Freedom in the World 2020 dari Freedom House, Indonesia dianggap sebagai "partly free" (sebagian bebas) dengan skor kebebasan 61 (dari 100). Peringkat ini turun selama pemerintahan Jokowi, dari 65 pada 2017, menjadi 64 pada 2018, dan menjadi 62 pada 2019.

Sementara skor kebebasan sipil negara saat ini adalah 31 (dari 60), kemunduran lain dari 34 pada 2018 dan 32 pada 2019.

Sentralisasi dan campur tangan pusat ke daerah

Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menyebut selain melanggar sejumlah perundangan dan mencederai reformasi, penunjukan ini juga memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah.

"Kekhawatiran publik itu bahkan tak hanya tentang dwifungsi TNI yang akan kembali, tapi ada upaya untuk memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah yang ini dimanfaatkan melalui mekanisme penunjukkan penjabat itu," katanya.

Hurriyah juga menegaskan pentingnya "keterbukaan" dan "transparansi publik dalam penunjukan penjabat kepala daerah.

"Jangan sampai muncul persepsi bahwa mekanisme penunjukkan kepala daerah dimanfaatkan untuk memperkuat sentralisasi dan campur tangan pemerintah pusat," tutur Hurriah.

Baca juga:

Feri Amsari dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas menduga "visi sentralistik" ini yang mendasari penunjukan Andi Chandra sebagai penjabat kepala daerah.

"Saya pikir ada unsur kesengajaan penempatan ini dengan visi kurang lebih sentralistik di pemerintahan kita," kata dia.

"Ada upaya untuk memperpanjang tangan-tangan pemeritah pusat di daerah, padahal konsep konstitusional kita adalah otonomi yang seluas-luasnya."

Akan tetapi Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benny Irwan, menegaskan bahwa penunjukan perwira TNI aktif sebagai penjabat kepala daerah itu "tidak serta merta diputuskan oleh menteri dalam negeri".

"Keputusan ada di pimpinan sidang TPA (tim penilai akhir yang diketuai oleh Presiden Joko Widodo)."

"Kewenangan ini sepenuhnya adalah prerogeratif-nya presiden. Untuk bupati dan walikota, untuk penerbitan keputusannya memang didelegasikan pada Menteri Dalam Negeri," terang Benny.

Ia juga beralasan, Andi Chandra ini adalah "pejabat tinggi pratama yang tepat" untuk ditugaskan menjadi penjabat Bupati Seram bagian barat.

"Kita memahami dari pemetaan kondisi di wilayah itu beberapa kabupaten di Maluku perlu mendapatkan perhatian khusus, ada karakteristik yang perlu diperhatikan secara spesifik di Seram bagian barat, sehingga persoalan-persoalan yang potensi menimbulkan konflik bisa diatasi," katanya.

"Untuk bisa menjalankan tugas-tugas seperti itu sangat diperlukan sosok penjabat bupati dengan kemampuan intelijen untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang potensi terjadi di tengah masyarakat, baik di kabupaten itu sendiri, atau di wilayah yang bersebelahan dengan kabupaten itu," ujar Benny.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI