Suara.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). Langkah tersebut dilakukan sebelum persidangan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Paniai.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut, seharusnya kasus tersebut tidak membutuhkan waktu lama untuk disidangkan, apalagi sampai berjarak sekitar delapan tahun dari peristiwa kejadiannya, yakni pada 7-8 Desember 2014 silam.
"Pembentukan Pengadilan HAM di Papua sejatinya dapat direalisasi dalam waktu yang ringkas. Berkaca dari preseden, keempat Pengadilan HAM yang ada saat ini pun dibentuk melalui instrumen Keputusan Presiden (Keppres)," kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar kepada Suara.com, Rabu (25/5/2022).
Namun, KontraS mendesak Kejagung untuk melibatkan korban dan keluarga korban yang tewas agar proses peradilannya berperspektif korban.
"Dimulai dengan memberikan informasi terkini yang rutin dan mulai mendengarkan masukan dari mereka," katanya.
Kemudian, Kejagung diminta menyiapkan skema kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi seluruh para korban dan keluarga korban, dengan memperhatikan masukan dari mereka.
Tak hanya itu, Kejaksaan Agung juga diminta untuk bekerja sama dengan lembaga lainnya, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Untuk menyediakan pemulihan hak (reparasi) mendesak bagi para korban atau keluarga korban yang membutuhkannya, termasuk dukungan psikososial atau pelayanan medis lainnya," ujar Rivanlee.
Tunjuk 34 Jaksa
Sebelumnya, Penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah melaksanakan serah terima tanggung jawab tersangka dan barang bukti Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai ke Tim JPU. Perkara kasus ini akan segera disidangkan ke pengadilan.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana, menyebut pihaknya telah menunjuk 34 JPU. Penunjukan 34 JPU ini tertuang dalam Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: 147 Tahun 2022 tanggal 23 Mei 2022, dan Surat Perintah Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PRIN-41/A/Fh.2/05/2022 tanggal 23 Mei 2022.
"Telah ditunjuk Penuntut Umum sebanyak 34 orang yang terdiri dari Penuntut Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Papua, dan Kejaksaan Negeri Makassar," kata Ketut dalam keterangannya, Selasa (24/5/2022).
Ketut menyebut, Tim JPU memiliki waktu 70 hari menyusun surat dakwaan untuk selanjutnya diserahkan ke Pengadilan HAM.
Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 45 a Ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Juncto pasal 2 Ayat (4) Keputusan Presiden Nomor Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pensiunan TNI jadi Tersangka
Sebagaimana diketahui, Penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat pada Jampidsus Kejagung telah menetapkan satu tersangka dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai yang terjadi di tahun 2014. Tersangka merupakan purnawirawan TNI berinisial IS. Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah menyebut, IS ketika itu merupakan perwira penghubung di Kodim Paniai.
“(IS) Purnawirawan TNI. Dia perwira penghubung di Kodim di Paniai,” kata Jampidsus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah, saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu (2/4/2022).
Penetapan tersangka ini merujuk Surat Perintah Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Print-79/A/JA/12/2021 tanggal 3 Desember 2021 dan Nomor: Print-19/A/Fh.1/02/2022 tanggal 04 Februari 2022 yang ditetapkan oleh Jaksa Agung RI selaku penyidik.
Tersangka IS dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 42 Ayat (1) Juncto Pasal 9 huruf a Juncto Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kemudian, Pasal 40 Juncto Pasal 9 huruf h Juncto Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Kasus Paniai Pelanggaran HAM Berat
Penetapan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat dilakukan usai Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020 lalu.
Peristiwa kekerasan Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Dilaporkan sebanyak 4 orang warga sipil meninggal dunia akibat luka tembak dan tusukan. Sedangkan 21 orang menjadi korban penganiayaan.
Dari laporan Komnas, peristiwa kekerasan itu terjadi tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut. Ketua TIM Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Berat HAM Peristiwa Paniai, Choirul Anam, menyebut, kekerasan yang terjadi memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan.
"Peristiwa Paniai tanggal 7 - 8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan elemen of crimes adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi," kata Anam dalam keterangan pada 14 Februari 2020.
Anam mengemukakan, timnya telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa pada tanggal 7–8 Desember 2014 tersebut.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut disimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Tim Penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri.