Beda dengan yang Dibatalkan MK, Pasal Penyerangan Harkat-Martabat Presiden dan Wapres di RUU KUHP jadi Delik Aduan

Rabu, 25 Mei 2022 | 16:16 WIB
Beda dengan yang Dibatalkan MK, Pasal Penyerangan Harkat-Martabat Presiden dan Wapres di RUU KUHP jadi Delik Aduan
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej. (Suara.com/Novian)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan kembali keberadaan pasal tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden di RUU KUHP. Adapun aturan yang tertuang di Pasal 218 itu, ditegaskan Eddy merupakan delik aduan.

Hal tersebut ditegaskan Eddy dalam rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dan tim pemerintah terkait RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan

"Terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, jadi kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat tadinya delik biasa menjadi delik aduan," kata Edward, Rabu (25/5/2022).

Edward menegaskan bahwa pemerintah tidak ada keinginan membangkitkan kembali pasal penghinaan presiden yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Diketahui sebelumnya MK pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di KUHP melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006.

Baca Juga: KUA Banjarsari Siap, Pernikahan Adik Jokowi dengan Ketua MK Tinggal Satu Tahapan

Ia menjelaskan pasal yang ada di RUU KUHP berbeda dengan pasal yang dihapus oleh MK.

"Jadi sama sekali kami tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi, justru berbeda. Kalau yang dimatikan Mahkamah Konstitusi itu adalah delik biasa, sementara yang ada dalam RUU KUHP ini adalah delik aduan," tutur Edward.

Edward berujar dalam RUU KUHP juga ditambahkan penjelasan bahwa pengaduan terkait pasal tersebut harus dilakukan langsung oleh presiden maupun wakil presiden secara tertulis.

"Kami menambahkan itu bahwa pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden. Dan juga ada pengecualian untuk tidak dilakukan penuntutan apabila ini untuk kepentingan umum," kata Edward.

"Ini memang berbeda dengan yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi," tandasnya.

Baca Juga: Belum Klarifikasi Data, Persiapan Penikahan Adik Presiden Jokowi dengan Anwar Usman Masih Kurang Satu Tahapan

Sebelumnya pada Juni 2021, Wamenkumham Edward menjelaskan mengapa ancaman hukuman pidana penjara dalam pasal penghinaan presiden dibuat 3,5 tahun. Menurutnya hal itu agar kepolisian tidak bisa melakukan penahanan.

Seperti diketahui polisi bisa melakukan penahanan jika ancaman pidana di atas 5 tahun. Karena itu agar tidak terjadi penahanan, ancaman pidana penjara dalam Pasal 218 ayat 1 di draf RKUHP dibuat 3 tahun 6 bulan.

"Oh tidak, tidak lima tahun. 3,5 tahun. Mengapa karena agar tidak ada alasan bagi kepolisian untuk melakukan penahanan. Penahanan itu kan lima tahun," kata Eddy di Kompleks Parlemen DPR, Jakarta, Rabu (9/6/2021.

Edward menegaskan pasal penghinaan presiden dan wapres itu merupakan delik aduan. Sehingga presiden dan wapres diwajibkan membuat laporan sendiri bilamana merasa harkat dan martabatnya diserang.

"Betul, harus presiden. Cuma formulasinya adalah delik aduan dan di situ ada penjelasan yang menyatakan dengan tegas bahwa berkaitan dengan kritik terhadap pemerintah tidak dapat dijatuhi pidana atau tidak dikenakan pasal," kata Edward.

Untuk diketahui draf RKUHP terbaru memuat ancaman bagi orang-orang yang menghina Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui media sosial diancam pidana maksimal 4,5 tahun penjara.

Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 218 ayat 1 dan Pasal 219 yang bunyinya sebagai berikut:

Pasal 218
(1) Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk
kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI