Suara.com - Badai pasir ekstrem, yang sedang menyelimuti Timur Tengah, melumpuhkan kehidupan publik di Irak, Suriah dan Iran, pada Senin (23/5). Ribuan orang dilarikan ke rumah sakit, ketika debu pekat menyusup ke rumah-rumah warga.
Badai pasir, yang menggumpal di langit Timur Tengah pada Senin (23/5), merupakan badai kesembilan sejak kurang dari dua bulan terakhir.
Anomali cuaca ekstrem ini turut menyibukkan ilmuwan iklim karena melihat adanya peningkatan intensitas kekeringan di luar batas normal.
Langit berpendar oranye berbalut debu tebal dari Riyadh hingga Teheran. Angin berhembus dari arah barat dan membawa serta badai pasir yang biasanya tiba di musim semi dan panas.
Baca Juga: Badai Pasir Tak Surutkan Niat Warga Irak untuk Ziarah Makam saat Hari Raya Idul Fitri
Tapi tahun ini, intensitas badai meningkat di setiap pekan sejak awal Maret silam. Sejumlah video yang beredar di kanal media sosial Irak menampilkan warga mengenakan penutup wajah di dalam rumah lantaran udara yang pekat.
Kementerian Kesehatan di Baghdad mengaku sudah mengirimkan tabung oksigen tambahan ke wilayah-wilayah yang paling terdampak.
"Fenomena ini menimpa seluruh wilayah Timur Tengah,” kata Jaafar Jotheri dari Universitas al-Qadisiyah di Baghdad. "Tapi setiap negara punya tingkat kerentanan dan kelemahannya masing-masing,” imbuhnya.
Irak dan kawasan timur di Suriah termasuk yang paling parah terdampak cuaca ekstrem tersebut. Di Provinsi Deir al-Zour yang berbatasan dengan Irak, pemerintah di Damaskus menambah pasokan obat-obatan dan tabung oksigen bagi pengidap asma.
Debu pekat juga menyelimuti sebagian wilayah Iran, Kuwait dan Arab Saudi. Senin kemarin, bandar udara Kuwait harus menghentikan operasi lantaran jarak pandang yang rendah.
Baca Juga: Bisa Dihantam Badai Pasir, Susi Pudjiastuti 'Nangis' Minta Indonesia Segera Ubah Sikap
Sementara pemerintah Arab Saudi melaporkan, jarak pandang yang mendekati nol melumpuhkan lalu lintas di kota-kota besar.
Di Riyadh, sepanjang bulan Mei sudah sebanyak 1.285 pasien dilaporkan harus dilarikan ke rumah sakit, akibat gangguan pernafasan akut lantaran kualitas udara yang buruk.
Adapun Iran menutup sekolah dan kantor-kantor pemerintahan di Teheran saat dilanda badai pasir pekan lalu. Iklim dan kerusakan lingkungan Lonjakan intensitas badai pasir di Timur Tengah sejak beberapa tahun terakhir diyakini berpangkal pada tren deforestasi dan eksploitasi air sungai secara berlebihan.
Kelambatan pemerintah lokal menanggulangi penggembalaan ekseksif yang menggunduli kawasan basah, mempercepat proses desertifikasi di sejumlah kawasan. Situasi ini bertambah runyam dengan adanya anomali cuaca yang kian marak sejak beberapa tahun terakhir.
Musim semi tahun ini tanpa diduga ikut membawa arus udara dingin dan kering yang menggandakan potensi badai pasir, kata Hassan Abdallah, pakar meteorologi di Yordania. Badai yang melemah setibanya di Semenanjung Arab, menciptakan kerusakan yang lebih besar di Iran dan Iran karena rendahnya level air di Sungai Tigris dan Euphrates, minimnya curah hujan dan keringnya lahan basah.
Abdallah menyarankan kepada pemerintah di Timur Tengah untuk "mulai menanggulangi masalah rendahnya level air di Tigris dan Euphrates sesegera mungkin.” Dia juga mengimbau penghijauan kembali lahan basah dan padang rumput.
Jaafar Jotheri, pakar geoarkeologi Irak, mengatakan dampak kerusakan lingkungan selama ini justru diperparah oleh kebijakan pemerintah.
"Lantaran tata kelola air yang buruk dan urbanisasi selama 17 tahun terakhir, Irak kehilangan lebih dari dua pertiga wilayah hijaunya,” kata dia. "Sebab itu warga Irak terdampak lebih parah akibat badai pasir ketimbang penduduk di negara jiran.” rzn/hp (afp, rtr)