Suara.com - Dalam duplik yang disampaikan saat sidang hari ini, Selasa (24/5/2022), kubu Kolonel Infanteri Priyanto membantah adanya Pasal 340 KUHP dan Pasal 328 KUHP dalam kasus pembunuhan dua remaja di Nagreg, Jawa Barat. Menurut mereka, dua pasal yang menjadi dakwaan itu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Pasal 340 KUHP yang dimaksud adalah soal pembunuhan berencana. Sedangkan, Pasal 328 KUHP yang dimaksud adalah soal penculikan.
"Khususnya tentang pembuktian unsur dakwaan kesatu primer Pasal 340 jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP dan dakwaan kedua alternatif pertama Pasal 328 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP yang menurut kami tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," kata Lettu Chk Feri Arsandi selaku kuasa hukum di Pengadilan Militer Tinggi II, Jakarta Timur.
Tidak hanya itu, Feri juga menyampaikan bahwa replik Oditur Militer Tinggi II Jakarta atas pledoi Priyanto sama sekali tidak menanggapi tentang tidak terbuktinya pembuktian unsur-unsur tindak pidana secara yuridis dan substantif. Dia menambahkan, replik tersebut hanya membuktikan unsur itu berdasarkan literatur elektronik dan pendapat pribadi.
Baca Juga: Anak Usia 5 Tahun Tewas Dianiaya Ayah Kandung, Ibu dan Nenek Tiri, karena Nakal dan Susah Makan?
"Hanya membuktikan unsur berdasarkan literatur elektronik dan kesimpulan pribadi merupakan bentuk pengakuan Oditur Militer atas argumentasi hukum yang kami uraikan dalam nota pembelaan," sambung dia.
Bantah Visum
Dalam dupliknya juga, penasihat hukum Priyanto meragukan hasil visum dokter forensik yang menyatakan penyebab kematian korban Handi Saputra (17) karena tenggelam di Sungai Serayu. Feri menyampaikan, uraian Oditur Militer Tinggi II Jakarta dalam replik sangat berbeda dengan uraian tuntutan terhadap kliennya.
Dalam tuntutannya, lanjut Feri, Oditur Militer Tinggi II Jakarta merujuk pada keterangan dr. Muhammad Zaenuri Syamsu Hidayat.
Zaenuri merupakan dokter forensik yang melakukan visum terhadap jenazah Handi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono, Banyumas, Jawa Tengah. Visum itu dilakukan pada 20 Desember 2021 lalu.
Baca Juga: Pria Pembunuh Mantan Istri Sembunyi Dalam Hutan Sagu Jayapura, Ketahuan Saat Keluar Mencari Makanan
Merujuk keterangan Zaenuri, lanjut Feri, waktu kematian korban Handi Saputra sulit ditentukan. Sebab, jasad korban telah mengalami pembusukan.
"Dalam tuntutannya yaitu dalam keterangan saksi 22, dr. Muahmmad Zaenuri Syamsu Hidayat halaman 47 nomor 6 disebutkan bahwa yang berkaitan dengan waktu kematian sulit ditentukan," kata Feri.
Dengan demikian, Feri berpendapat bahwa saksi 22 atau dr. Zaenuri tidak bisa menyimpulkan kapan korban Handi meninggal dunia. Apakah pada saat terjadi kecelakaan lalu lintas di Nagreg, Jawa Barat atau saat dibuang ke Sungai Serayu, Jawa Tengah.
Ihwal replik yang disampaikan pekan lalu, lanjut Feri, Oditur Militer Tinggi II Jakarta menyampaikan bahwa Handi Saputra meninggal karena tenggelam. Dalam konteks ini, Handi masih dalam keadaan tidak sadar atau pingsan.
Atas perbedaan tersebut, timbul pertanyaan dari penasihat hukum Priyanto melalui duplik yang disampaikan hari ini. Pertanyaan tersebut adalah hasil temuan visum yang menerangkan tampak sedikit pasir halus menempel di dinding rongga tenggorokan korban Handi.
Feri menduga bahwa pasir halus yang masuk ke tubuh Handi mungkin disebabkan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Nagreg. Kata dia, ada kemungkinan korban menghirup debu dan pasir saat tergeletak di tempat kejadian perkara (TKP).
Tabrak dan Buang Sejoli
Kasus bermula saat Kolonel Priyanto dan dua anak buahnya, yaitu Kopda Andreas dan Koptu Ahmad Sholeh menabrak Handi Saputra (17) dan Salsabila (14) di Nagreg.
Mereka tidak membawa korban tersebut ke rumah sakit, namun justru membuang tubuh Handi dan Salsa di Sungai Serayu, Jawa Tengah. Salsa dibuang ke sungai dalam kondisi meninggal dunia, sedangkan Handi masih hidup.
Pada sidang dengan agenda pemeriksaan saksi ini, selain Kopda Andreas dan Koptu Ahmad Sholeh, Pengadilan Militer II Tinggi Jakarta juga menghadirkan tujuh saksi lainnya.
Mereka adalah Letnan Dua (Letda) Cpm Syahril dari Pomdam III/Siliwangi dan enam warga sipil, yakni Sohibul Iman, Saipudin Juhri alias Osen, Teten Subhan, Taufik Hidayat alias Opik, Etes Hidayatullah yang merupakan ayah korban Handi Saputra, dan Jajang bin Ojo.